6 | Tanah Anugerah

1.4K 150 15
                                    

Tiga hari berlalu, rombongan lawatan Maharaja Sri Rajasanagara meninggalkan Bayalangu untuk melanjutkan perjalanan. Pelepasan diiringi dengan tangis tak rela dari penduduk sekitar. Namun, mereka bersyukur karena tempat tersebut telah diberkahi dengan kedatangan sang Maharaja. Para dukuh memberikan gerobak-gerobak yang berisi persediaan makanan, minuman, dan kain-kain. Dharmadhyaksa pun menerimanya dengan tangan terbuka, sesuai titah raja. Setelah itu, gerobak-gerobak tersebut bergabung ke dalam rombongan pertama yang dikomandoi oleh Mahapatih Gajah Mada.

Rombongan pergi ke arah Timur, mereka melewati beberapa desa, di antaranya Desa Kedung Dawa, Desa Bugoro, dan biara pendeta di Pogara. Perjalanan berlanjut hingga tiba di Desa Dadapan. Konon, di desa itulah Raden Inu Kertapati menyamar sebagai putra dari Mbok Rondo Dadapan yang bernama Ande-Ande Lumut. Penyamaran bertujuan untuk mencari istrinya yang menghilang bernama Dewi Sekartaji atau Kleting Kuning dalam Lakon Panji.

Akhirnya, rombongan sang penguasa Wilwatikta sampai di Madakaripura, sebuah padukuhan atau kasogatan kebuddhaan yang memiliki panorama alam memukau. Kedatangan rombongan Sri Prabu disambut hangat oleh para pendeta Buddha beserta murid dan petapa. Mereka menghaturkan puja dan puji, kemudian mempersilakan rombongan memasuki gapura. Sang Prabu memutuskan untuk mendirikan tenda dan bermalam di Pesanggrahan Madakaripura. Tempat tersebut berada di kaki pegunungan Bromo dan Mahameru.

Terdapat empat belas desa di Madakaripura yang merupakan tanah perdikan, sehingga bujangga tidak diperkenankan untuk menarik pajak di wilayah itu. Keseluruhan dukuh yang memimpin desa-desa itu berduyun-duyun menuju ke pesanggrahan. Mereka membawa beraneka jamuan, terutama minuman untuk menghilangkan dahaga para sais, penarik pedati, prajurit, abdi dalem, dan dayang yang mengarungi perjalanan panjang dengan berjalan kaki.

Pendeta Buddha mempersilakan sang Maharaja untuk menempati tempat duduk yang telah disediakan. Lantas, menyuguhkan minuman khas wilayah itu dengan menggunakan gelas emas. "Sebuah berkah bagi Madakaripura untuk menyambut Baginda Sri Rajasanagara di tanah ini," cetusnya dengan wajah penuh kedamaian.

Hayam Wuruk membalas salam hangat itu dengan anggukkan. Lalu, ia beralih menatap mahapatihnya. Seseorang yang menjadi saksi jatuh bangun Majapahit bahkan sebelum pemerintahan Rajaputri Tribhuwana Wijayatunggadewi. "Aku menganugerahkan tanah adiluhung ini untuk Mahapatih Gajah Mada. Beliau telah membaktikan diri sebagai Patih Amangkhubumi yang mumpuni, sehingga Wilwatikta dapat berdiri kokoh dengan kakinya sendiri."

Orang-orang di sana mengamini, termasuk para pendeta. Tanah anugerah yang berada di Tenggara Kotaraja Trowulan tersebut memiliki kekayaan alam yang melimpah. Di samping itu, pemandangan yang disuguhkan pun tak kalah menakjubkan. Lihatlah, air terjun yang elok itu, seakan menarik orang-orang untuk menikmati segarnya air berhulu di Bromo yang merupakan anak dari Kali Lawean.

Setelah mengadakan temu langsung bersama para dukuh dan pendeta di Madakaripura, Hayam Wuruk memutuskan untuk meninggalkan perkemahan. Ia dibersamai oleh Gajah Mada, Ra Banyak, dan beberapa prajurit Bhayangkara pergi ke air terjun yang konon disebut sebagai Air Terjun Abadi karena airnya tak pernah surut. Ya, air terjun tersebut melambangkan bahwa kehidupan akan terus berjalan, selama sumbernya tetap terjaga. Ialah sang air. Hayam Wuruk mencoba mengingatnya. Ia pernah mendengar dari seseorang bahwa air merupakan sumber kehidupan setiap makhluk hidup.

Tak ingin tenggelam dalam pikirannya, penguasa Wilwatikta itu mulai melakukan mandi bhakti. Hal tersebut bertujuan untuk menyucikan diri dengan kemurnian air yang tak ternoda. Saat menengok ke bawah, Hayam Wuruk dapat melihat pantulannya sendiri. Meski air terkoyak karena kibasan tangannya, pantulan itu tetaplah ada, kembali seperti semula.

"Pantulan itu yang menyatakan wujud asli kita apa adanya. Ia tak pernah berdusta dan menyatakan segalanya, tanpa terkecuali."

Sekilas, Hayam Wuruk menangkap ingatan yang perlahan memudar. Nampak tak jelas siapa yang mengatakannya, tetapi pria itu yakin, seseorang itu adalah sosok yang terpelajar dengan keluasan ilmu. Terdengar bijaksana dan mampu menyentuh relung hati terdalam sang Maharaja. Setelah menyelesaikan mandi bhakti, Hayam Wuruk bergegas ke perkemahannya, karena malam akan segera tiba.

APSARA MAJA : SANG PARAMESWARITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang