39 | Tak Terganti

925 68 12
                                    

Penghormatan terakhir untuk Patih Amangkubhumi telah selesai ditunaikan. Mendiang Mahapatih Gajah Mada tetaplah terkenang dalam benak orang-orang yang mengenalnya. Sang Mahapatih yang memulai pengabdiannya di Daha, berakhir damai di Madakaripura. Ya, tempat itu merupakan tanah perdikan yang langsung diberikan oleh Sri Prabu. Terberkatilah sang Mahapatih dengan segala keagungannya. Namun, di sisi lain, Majapahit mengalami kehilangan yang mendalam. Duka menyelimuti kemaharajaan itu. Ah, tiada seorang pun yang pantas menggantikan Gajah Mada. Tidak ... tidak ada orang yang seberani dirinya, dengan keteguhan dan kepercayaan diri melantangkan Amukti Palapa. Tiada yang memercayainya, kecuali Rajaputri terdahulu dan Sri Rajapatni. Memang, sumpahnya terdengar tak masuk akal. Akan tetapi, tekadnya menyatukan Sweta Dwipa terbayar sudah. Keabadian kini menyambutnya.

Hari-hari berlalu, kini Hayam Wuruk harus menjalani tugas kerajaan seorang diri tanpa bantuan mahapatih. Semenjak kepergian Gajah Mada, pria itu enggan membahas mengenai posisi Patih Amangkubhumi Majapahit yang kosong. Jabatan tersebut sangatlah penting karena menaungi kepemerintahan di ibu kota dan kerajaan-kerajaan vasal. Maka dari itu, amatlah riskan apabila kedudukan mahapatih dibiarkan kosong. Namun, Hayam Wuruk belum menunjukkan keberpihakkannya, meski terdapat kandidat kuat yang akan menggantikan Gajah Mada. Dalam rapat penting yang melibatkan dewan kerajaan dan Puruhita, Hayam Wuruk menempatkan dirinya sebagai Sri Prabu sekaligus Mahapatih Wilwatikta dalam waktu bersamaan. Ah, mengenai pertemuan itu, Hayam Wuruk rindu dengan kehadiran Gajah Mada. Pun, kursi singgasananya yang tak berpenghuni serasa menyayat hati. Mirisnya, Hayam Wuruk harus melihat pemandangan menyedihkan tersebut setiap saat.

Berkali-kali, Hayam Wuruk menghela napas panjang. Beberapa waktu lalu, Ra Kebo bersama dengan anak buahnya menyampaikan informasi mengenai keberadaan Sotor dan para pengikutnya. Syukurlah, mereka tak meninggalkan Jawadwipa. Akan tetapi, yang lebih berbahaya adalah mereka mencari dukungan melalui kerajaan bawahan Majapahit. Tujuannya tak lain memantik api pergolakan. Ingatkan tentang masa lalu yang melibatkan Majapahit dalam perang antar petinggi? Ya, hal tersebut karena kesalahpahaman dan adu domba. Oleh karenanya, Hayam Wuruk harus memastikan betul bahwa kerajaan-kerajaan vasal di Jawadwipa setia dalam naungan panji merah-putih. Sumpah mereka bersatu dalam bakti kepada Wilwatikta. Tak terbeli, bahkan oleh harta berlimpah dan kedudukan tinggi sekalipun.

Lagi-lagi, tidak ada yang bisa menjaminnya. Untuk itu, Hayam Wuruk memilih jalan terbaik. Ya, ia harus meminta kesediaan kerajaan-kerajaan bawahannya agar setia kepada Majapahit. Hari ini, ia dengan hormat meminta kepada seluruh bhre beserta pejabat lainnya untuk berkumpul di aula utama Istana Trowulan. Hayam Wuruk mau tak mau menepis perasaan yang mengganjal akibat kepergian Gajah Mada. Tentunya, ia masih berkabung. Dan entah kapan dirinya akan merelakan mendiang paman yang sudah ia anggap sebagai ayahnya sendiri. Ah, tak ada lagi nasihat-nasihat bijaksana dari pria berambut putih itu. Tak ada lagi senyuman yang menenangkan. Juga, tak Hayam Wuruk rasakan lagi pelukan yang menguatkan.

Setelah pertemuan selesai, dewan kerajaan dan Puruhita meninggalkan aula utama Kadatwan Trowulan, sedangkan Sapta Prabhu tetap pada posisinya masing-masing. Bhattara Sapta Prabhu merupakan Dewan Pertimbangan Agung Wilwatikta yang berisi anggota keluarga kerajaan. Maka dari itu, Tribhuwana Wijayatunggadewi selaku Bhre Kahuripan, Rajadewi Maharajasa selaku Bhre Daha, Kertawardhana selaku Bhre Tumapel, Rajasaduhita selaku Bhre Lasem, Rajasawardhana selaku Bhre Matahun, Rajaduhiteswari selaku Bhre Pajang, dan Singhawardhana selaku Bhre Paguhan diminta secara khusus oleh Sri Prabu untuk merundingkan permasalahan akibat kekosongan jabatan. Tak hanya itu, Hayam Wuruk memastikan bahwa mereka adalah orang-orang yang mumpuni untuk menumpas pengkhianat.

"Terlihat tenang di luar, tetapi sungguh rapuh di dalam. Saya tahu, cepat atau lambat, rakyat akan mengetahui situasi kerajaan kita yang sebenarnya. Kejayaan suatu kerajaan berbanding lurus dengan keruntuhannya. Saya tak menampiknya. Akan tetapi, saya bersumpah atas nama Rajaputri terdahulu, Sri Rajapatni, dan Mahapatih Gajah Mada bahwa selama saya hidup, Majapahit tetap berdiri sebagai kemaharajaan agung. Saya tidak akan membiarkan siapa pun mencerai-berai tanah leluhur. Untuk itu, saya meminta kesetiaan kalian sebagai Bhattara Sapta Prabu, pemegang takhta tertinggi di kerajaan vasal hanya kepada Wilwatikta." Hayam Wuruk berkata dengan penuh keyakinan. Terpancar aura seorang raja besar pada setiap kata yang terlontar. Ah, padahal, mati-matian dirinya menyembunyikan luka hati. Sesekali, ditengoknya tempat duduk Gajah Mada, berharap pamannya itu menatapnya dengan penuh kasih sayang.

APSARA MAJA : SANG PARAMESWARITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang