54 | Sri Parameswari

959 100 36
                                    

Kabar yang berembus, mengantarkan sang Prabu menapaki medan pertempuran berhias lautan darah. Bau anyir menusuk hidung. Pemandangan yang memilukan pun tersaji saat panji gula klapa berganti merah seutuhnya. Kenangan buruk merangsek masuk, mengguncang sisi terdalamnya. Oh, bubat berdarah. Ya, situasi ini mengingatkan sang Prabu saat pasukan yang dipimpin oleh Gajah Mada menggempur rombongan pengantin dari Sunda Galuh. Lagi, peperangan yang tak seimbang terjadi di bumi Majapahit. Sungguh, Hayam Wuruk harus merasakan peperangan yang menamparnya berkali-kali, seakan menguji kecakapannya sebagai raja. Sang Prabu menggelengkan kepalanya, mengusir pikiran buruk yang akan memperkeruh keadaan.

Bala bantuan yang dikerahkan segera mengepung, melumpuhkan pasukan musuh yang tersisa. Kondisi yang semula dimenangkan oleh Adiwilaga, kini berbalik arah. Dari kejauhan, Hayam Wuruk melihat sosok yang menjadi dalang kerusuhan, juga penyebab Sotor berani berkhianat. Pria itu mengangkat pedangnya tinggi-tinggi. Tidak, sang Prabu menggeram. Lantas, para pemanah menghujani langit dengan anak panahnya. Seketika, tubuh yang menjadi sasaran pun tumbang.

Takdir seolah ingin merebut seseorang yang amat berharga dari hidupnya. Hayam Wuruk berlari sekuat tenaga. Pertempuran usai, tetapi peperangan di dalam hatinya baru saja dimulai. Melihat raga sang Dewi, membuat air matanya berguguran. Sang Prabu hanya menggapai kekosongan. Ia meraung, meneriakkan nama sang istri. Oh, Sudewi yang tidak patuh, ia tak menjawab untaian kalimat nelangsa dari bibir seorang raja yang agung. Wanita itu bergeming dalam dekapan hangat suaminya.

Sudewi yang bermandikan darah, menggugah mimpi buruk Hayam Wuruk bertahun-tahun silam terbangun lagi. Sang Dewi yang saat itu memakai pakaian serba putih, harus meregang nyawa. Dan sang Maharaja, dirinya tak bisa berbuat apa-apa karena terpenjara oleh takhta. Kini, bunga tidur menjadi nyata, bahkan Hayam Wuruk bisa merasakannya langsung. Busananya penuh dengan darah sang Dewi. Ah, ke manakan tatapan indah Sudewi? Demi apa pun, Hayam Wuruk akan mengutuk langit apabila mengambil Dewinya.

Seorang raja besar pantang menangis, apalagi memperlihatkan kelemahan di hadapan kalula-nya. Namun, jujurlah, sebagai seorang manusia, kesedihan adalah miliknya juga, begitupula dengan kebahagiaan. Lagi-lagi, benar kata Sudewi. Sepanjang perjalanan menuju Istana Trowulan, hanya doa yang bisa sang Prabu panjatkan. Tak ada tempat baginya untuk membagi kepedihan. Akhirnya, dipilihlah angin yang menderu bising, tetapi tidak menghakimi. Persetan apabila wajah sembabnya menjadi olokan semesta. Sungguh, ia tak pandai bersandiwara. Saat tak merasakan deru napas Sudewi, di situlah dunianya runtuh.

Wilwatikta dengan segala kemahsyurannya, tersimpan kisah indah di dalamnya, bagaikan epos melegenda yang dituturkan oleh pemuja. Sayang seribu sayang, tak ada lagi yang mengabadikannya, setelah kepergian sang rakawi. Hari demi hari, hingga surya berganti candra, tak memantik niat sang Prabu untuk beranjak dari pembaringan. Laksana padma, permadani indah menjadi tempat bernaung ternyaman. Di sanalah, ia menjaga sang Dewi yang terlelap. Wajahnya pucat pasi, meski begitu, masihlah membuat iri pada bidadari. Oh, Hayam Wuruk sungguh rindu suara Sudewi kala istrinya itu mendongengkan sebuah cerita sederhana. Sang Prabu berani bertaruh, tak ada kehangatan yang mampu menandingi sang Dewi, bahkan mentari sekalipun.

Pawarta baik tak kunjung ia dapatkan. Ki Jiwatrisna—waidya yang ditunjuk langsung oleh sang Prabu—hanya bisa menunduk lesu, segan bersitatap dengan sang Prabu. Berada paling muka, raut wajahnya mengingatkan Hayam Wuruk akan kepergian Gajah Mada. Tidak, sudahi dukacita yang tak berujung, ke mana ia akan pergi apabila sang Dewi dibawa lari? Hayam Wuruk hanyut dalam lamunan, tetapi telinganya tetap setia mendengarkan penuturan waidya ternama itu. Ia mengatakan, luka yang didapatkan Sudewi diperparah oleh kondisi tubuhnya yang melemah. Pun, Ki Jiwatrisna telah berusaha sekuat tenaga dan memberi sang Parameswari pengobatan terbaik. Sepeninggal tabib istana tersebut, Hayam Wuruk kembali menghabiskan waktunya bersama Sudewi. Mengenai urusan kerajaan, sementara ia serahkan kepada Gajah Enggon dan para menteri. Sungguh, tak ada yang bisa menyita perhatiannya selain sang Dewi. Meski begitu, sesekali sang Mahapatih bertandang ke Kaputren untuk melaporkan segala hal, termasuk Sotor dan Adiwilaga.

APSARA MAJA : SANG PARAMESWARITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang