36 | Duri Sendiri

877 75 18
                                    

Terik matahari menyengat di kala siang. Awan-awan menepi agar tak menghalangi sang surya. Di situlah orang-orang merasakan peluh-peluh yang berlomba-lomba menetes di dahi. Tak lepas pula dari dahaga yang meronta-ronta ingin diguyur dengan segarnya air. Namun, itulah mereka, para pekerja yang tengah menyambung hidup. Badai pun akan mereka lalui demi menyambut hari esok. Di antara para pekerja, terdapat seseorang yang memantau. Ialah Arya Maheswara, sang tangan kanan Bhre Wengker yang mengabdikan diri sebagai pengawas pemeliharaan tempat-tempat umum di wilayah Wengker. Keberhasilan pembuatan dawuhan di Kusmala empat tahun lalu merupakan awalan yang baik untuk kemajuan nagari tersebut dan juga kepercayaan dari pihak Istana Majapahit. Untuk pemeliharaan, Bhre Wengker menyerahkan dawuhan sepenuhnya kepada sang istri, yaitu Dyah Wiyat yang menjabat sebagai Bhre Daha.

Arya Maheswara menyeka keringat dengan lengan, lalu matanya menyapu sekeliling yang dipenuhi dengan pohon-pohon yang siap ditebang dan dibakar. Oh, sangat berdosa rasanya jika dirinya berlindung di bawah pohon rindang, sedangkan para pekerja mati-matian berjuang melawan panas. Hal tersebutlah yang membawa Arya Maheswara untuk bergabung dengan mereka. Kali ini, mereka berada di barat daya Wengker yang sudah masuk ke dalam wilayah Nagari Pajang. Atas izin dari Dyah Nertaja yang bergelar Rajasaduhiteswari, Bhre Wengker memerintahkan untuk membuka lahan di daerah tersebut untuk dijadikan persawahan dan gaga. Hal itu diharapkan dapat mendongkrak hasil panen untuk memenuhi kebutuhan pangan di Pajang sekaligus membayar upeti untuk Maharaja Sri Wilwatikta.

Sebagai orang kepercayaan Bhre Wengker, Arya Maheswara berhati-hati dalam melaksanakan perintah karena pembukaan lahan diatur dalam hukum Majapahit. Teringatlah ia bagaimana Sri Prabu dalam menegakkan hukum tidaklah main-main. Terdapat sanksi yang mengintai apabila Arya Maheswara maupun Bhre Wengke terbukti tidak menaati peraturan. Arya Maheswara mendesah pelan. Sudah hampir satu tahun ia meninggalkan rumah dan keluarganya. Sungguh, ia dirundung beribu rindu. Inginnya memeluk sang putra dan istri tercinta, tapi apa daya. Tugasnya belum usai dan dirinya tak diperkenankan meninggalkan wilayah tersebut. Ah, sejenak Arya Maheswara mengingat Rarasati dan Sagara. Tentunya ia tak sempat bertemu dengan sahabat-sahabatnya karena terhalang jarak. Dan juga, misi yang tersendat-sendat karena kurangnya informasi. Arya Maheswara enggan membicarakan Adiwilaga kepada Kudamerta karena tak memiliki bukti yang cukup, apalagi mantan bekel itu merupakan putra kandung Bhre Wengker sendiri.

Bhre Wengker beberapa kali mengunjungi Arya Maheswara dan pekerja lainnya. Namun, hanya terhitung sedikit dari jumlah biasanya karena penguasa Wengker itu selalu rutin membersamai Arya Maheswara dalam mengerjakan tugasnya. Hanya kali ini, Arya Maheswara dilepas begitu saja. Entah, ia pun tak tahu menahu mengenai kondisi Keraton Wengker. Rarasati pun tak memberinya kabar kecuali jika dayang tersebut menemukan keberadaan Adiwilaga. Sampai saat ini, Arya Maheswara tak memiliki pikiran buruk, tetapi tetap waspada. Adiwilaga merupakan seseorang yang licik dan berbahaya, bahkan ia berhasil menipu Sudewi. Puncaknya, putra Kudamerta itu dan Sotor berhasil melarikan diri dari penjara.

Terdengar gemuruh rombongan berkuda yang mendekat. Debu yang mengepul memperpendek jarak pandang, sehingga Arya Maheswara menyipitkan mata. Sungguh, pedih sekali apabila butiran debu memasuki area mata. Berkali-kali ia mengaduh dan terbatuk. Siapakah mereka? Arya Maheswara dirundung beribu pertanyaan. Begitu pula para pekerja yang menghentikan aktivitas mereka sejenak untuk melihat siapakah yang berkunjung. Sudah lama mereka tak menerima orang baru.

Akhirnya, nampaklah seseorang yang tidak asing, ia yang tak lain adalah penguasa Wengker, yaitu Kudamerta yang bergelar Wijayarajasa. Ia menuruni kudanya yang kemudian diikuti rombongannya. Dengan segera, Arya Maheswara berjalan cepat menuju ke arahnya. Ia membungkuk, memberi hormat kepada mertua sang Maharaja. "Salam, Gusti Bhre Wengker." Tak melupakan tindak-tanduk meski di luar keraton, Arya Maheswara pun memosisikan diri dengan gerakan luwes dan teratur.

APSARA MAJA : SANG PARAMESWARITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang