Peringatan 18+
Rombongan bergerak ke arah Timur, meninggalkan daerah Palumbon menuju ke Sadeng. Wilayah tersebut pernah mengalami pergolakan saat pemerintahan Rajaputri Tribhuwana Wijayatunggadewi. Sebelum itu, mereka melintasi muara sungai Rabut Lawang. Beruntunglah air tengah surut kala rombongan lawatan akan menyeberang. Memang, menjelang musim kemarau merupakan waktu terbaik untuk melakukan perjalanan jauh.
Setelah sampai di daerah Balater, sang Maharaja memutuskan untuk bermalam. Mereka tidak membangun tenda karena pagi harinya harus melanjutkan perjalanan menuju Sadeng. Sesampainya di Sadeng, rombongan lawatan disambut oleh para pejabat yang memerintah daerah tersebut. Pendeta Siwa dan Buddha menghaturkan persembahan kepada sang Maharaja. Penyambutan keluarga Kerajaan Majapahit ternyata tidak sedingin dan sekaku yang Hayam Wuruk kira. Adapun, rakyat di Sadeng tahu bahwa tujuan raja mereka di sana adalah untuk melakukan kunjungan.
Hayam Wuruk mengundang para pejabat, perwakilan rakyat, para pendeta, dan guru-guru untuk bertandang di perkemahan. Sebagai Maharaja yang agung, Hayam Wuruk tak bisa serta merta memercayai apa yang dikatakan oleh pemimpin daerah begitu saja. Pun, laporan mereka hanyalah berdasarkan dari ucapan para wiyasa. Kedatangan Hayam Wuruk memberikan angin segar bagi rakyat untuk mengeluarkan keluh kesahnya. Dengan hadirnya Maharaja Majapahit di sini, mereka tidak harus bertandang ke Kotaraja Trowulan dan menunggu giliran untuk menghadap raja di Bale Tajuk. Tak mudah bagi rakyat biasa untuk mencapai Wilwatiktapura karena mereka juga harus bersaing dengan para bangsawan yang ingin menemui sang Maharaja di Witana wilayah jaba.
Pertemuan berjalan serius, nampak wajah ketegangan di raut pejabat yang tak suka dengan penuturan rakyat. Dari kejauhan, Sudewi melihat diskusi tersebut dengan seksama. Mimik wajah suaminya amat berbeda ketika berhadapan dengan kalulanya. Tidak ada emosi apapun yang ditunjukkan, tetapi sesekali pria itu mengangguk saat lawan bicaranya selesai menyampaikan laporannya. Laki-laki tersebut juga mempersilakan Gajah Mada untuk memberikan pendapat karena dirinyalah lakon utama dalam pemadaman pemberontakan di Sadeng.
Tewasnya Nambi memberikan noda hitam dalam sejarah berdirinya Majapahit. Tokoh tersebut merupakan tangan kanan Prabu Kertarajasa. Akibat dari fitnah yang dilayangkan oleh Dyah Halayuda, Nambi berselisih paham dengan penerus Dyah Wijaya, yaitu Prabu Jayanagara. Begitu juga Darmaputra bentukan Dyah Wijaya hancur lebur saat pemerintahan putranya.
Gajah Mada mengingat sosok pendekar tangguh dari Sadeng yang bernama Wirota Wiragati. Ketika dalam perjalanan menuju Sadeng, Gajah Mada membawa pesan diplomasi atas saran dari Mahapatih Arya Tadah, tetapi rencananya digagalkan oleh Ra Kembar. Secara membabi buta, Ra Kembar dan pasukannya menumpas pemberontakan yang dilakukan rakyat Sadeng, berlawanan dengan misi damai Gajah Mada.
Sang Mahapatih menghembuskan napas dalam, untuk kedua kalinya ia menginjakkan kaki di tanah yang sempat memberontak. Sebagai Maharani Wilwatikta, Dyah Gitarja mendapat saran dari Gayatri Rajapatni untuk mengatasi sendiri persoalan di Sadeng. Apabila Rajaputri Tribhuwana Wijayatunggadewi tidak turun tangan, maka ketegangan antara Gajah Mada dan Ra Kembar masihlah terjadi. Andai saja Gajah Mada lebih dahulu sampai di Sadeng, maka Wirota Wiragati tak menjadi korban dari keganasan Kembar. Kejadian tersebut membawa dirinya menjadi Mahapatih Majapahit menggantikan Arya Tadah yang kala itu tengah sakit-sakitan, sedangkan Ra Kembar menjadi bekel mantra araraman.
Penuturan Gajah Mada tak lepas dari perhatian Sudewi. Sang dewi mengetahui bahwa kiprah Mahapatih kebanggaan Majapahit sangatlah besar jasanya, sehingga tak mampu menggoyahkan posisinya walau dirinya menjadi dalang dari Perang Bubat. Kehidupan memanglah tampak semu, tidak ada yang benar-benar hitam, begitu juga putih. Seseorang memiliki kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Tidak ada yang sempurna, bahkan seorang raja pun.
Lihatlah, Hayam Wuruk memosisikan dengan baik bagaimana raja yang bijaksana menyikapi segala huru hara kerajaannya. Akan tetapi, kalah dengan ego yang membumbung tinggi ketika berhadapan dengan persoalan hati. Pria itu tidak bisa memahami bagaimana cara kerja cinta yang tak terlepas dari kehidupan manusia. Ya, antara pria dan wanita. Begitulah Sudewi menyimpulkannya. Keagungan suaminya terlampau tinggi jika disandingkan dengan kepercayaan dan ketulusan hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
APSARA MAJA : SANG PARAMESWARI
Ficção Histórica-Historical Fiction- {Apsara Majapahit II} Tidak, ini bukanlah sebuah dongeng, melainkan kisah klasik abad ke-14 di sebuah kerajaan digdaya Jawadwipa antara permaisuri dan tingginya tembok istana yang bernama pengabdian. Dibalik kemahsyuran seorang...