20 | Bunga Tidur

1.2K 119 84
                                    

Rakyat menepi, lautan manusia pun terbelah. Mereka memberi jalan kepada sosok wanita yang berbusana serba putih. Ketika langkahnya mendekat, harum semerbak terhirup hidung. Wajah-wajah tertoleh. Ah, wangi surgawi. Mereka memejamkan mata sembari menikmati bebungaan yang bersumber dari sang wanita. Lantas, mereka mengerjap. Oh, ia menapaki satu per satu anak tangga. Di atas panggung kayu, di sanalah persembahan dipertontonkan. Ribuan mata tak lepas darinya. Sementara itu, di atas singgasana yang agung, sang Maharaja mengamati wanita itu.

"Sudewi?" Bibirnya berkata lirih.

Sang Prabu memicingkan matanya. Benarkah wanita itu adalah istrinya? Lantas, pertunjukkan macam apa ini? Penguasa Wilwatikta itu dilanda beribu pertanyaan. Terdapat perang tak kasat mata di benaknya. Ia tak salah lihat. Memang benar wanita yang berdiri itu adalah istrinya. Ya, ia adalah Sudewinya. Lantas, tangan sang Maharaja terayun maju, mencoba untuk menggapai. Namun, yang didapatkannya hanyalah kekosongan semata. Sudewi terlalu jauh dari jangkauannya. Lalu, diremasnya telapak tangan yang terbiasa memegang pedang tersebut dengan kuat hingga buku-buku jarinya nampak.

Sudewi mengatupkan kedua tangannya di dada. Ah, Hayam Wuruk hampir lupa. Wanita itu bukan hanya wanita biasa. Ia adalah Parameswari Wilwatikta. Namun, mengapa penampilannya bersih dari pernak-pernik? Tidak ada emas yang menyilaukan, begitu pun berlian yang membuat siapa pun menganga. Sudewinya terlampau sederhana untuk ukuran seorang wanita raja. Oh, tetapi jangan dianggap remeh. Wajah istrinya tetap memesona. Bahkan bunga teratai yang tengah mekar pun iri padanya. Tak hanya penampilan, wajah istrinya pun tak berias. Bukan, bukan berarti pucat pasi, melainkan semakin bercahaya. Sudewi bersinar dalam kesahajaannya.

"Sudewi?" Hayam Wuruk memanggil, tetapi suaranya kalah dengan angin yang menderu. Akan tetapi, nyatanya terbalaskan dengan senyuman di bibir sang Dewi.

Hayam Wuruk ingin beranjak. Akan tetapi, kursi singgasana terlalu kuat menarik tubuhnya. Alhasil, sekeras apa pun ia mencoba, dirinya tak bisa lepas. Ringisan menjadi saksi bahwa ia telah berusaha. Wajahnya mengeras, jengkel sekaligus marah karena tindakannya tak berbuah manis. Akhirnya, sang Prabu pun mengalah. Ia tetap duduk di kursi yang menjadi incaran para penguasa. Ah, benar, singgasana ini memang harus ia jaga.

Seorang pria berzirah baja menaiki panggung. Seketika keriuhan bagaikan guntur. Luar biasa cepatnya hingga menyambar-nyambar pilar dan kubah. Sungguh, Hayam Wuruk pun tercenung dibuatnya. Apa gerangan yang terjadi? Mengapa situasi ini begitu asing baginya. Sang Prabu pun menerka. Aneh sekali pagi ini. Tiba-tiba saja rakyat berkumpul padahal istana sedang tidak menyelenggarakan perayaan. Hayam Wuruk mengangkat tangannya, memberi isyarat agar semua orang di sana tutup mulut. Oh, suara-suara sumbang masihlah terdengar. Sesaat, Hayam Wuruk merasakan telinganya terbakar.

"Aku bukanlah Panchali yang lolos dari penghinaan para Kurawa, bukan pula Dewi Sita yang sanggup melewati Agni Pariksha." Lama terdiam, Sudewi berseru lantang. Suaranya menggelegar, seakan mampu menyapu daratan Jawadwipa. "Surya Majapahit tak akan meredup, peganglah janjiku dan kupertaruhkan nyawaku."

Wajah-wajah terlukis bingung. Apakah maksud dari sang Permaisuri? Mereka saling bersitatap, hanya sang Maharaja saja yang menatap istrinya canggung. Ah, mengapa jarak mereka semakin nyata? Sudewi amat fana, jauh, dan tak tergapai. Hayam Wuruk menggeleng penuh penolakan. Omong kosong! Bahkan Indraloka pun tahu bahwa sang Dewi adalah istrinya, miliknya, dan hanya dirinya yang boleh memiliki Sudewi. Tangan Hayam Wuruk kembali mengayun, tetapi apa daya. Ia tercengkeram takhta. Yang mana antara takhta dan wanita tak selalu berjalan mulus.

Dari kejauhan, Hayam Wuruk melihat Sudewi memejamkan matanya. Oh, sial, ia tak sempat beradu pandang dengan pemilik kelereng cokelat yang jernih itu. Di saat kegundahan sang Prabu, seorang pria berzirah meloloskan pedang yang berada di pinggangnya. Gerakannya amat cepat, hanya sepersekian detik saja, benda tersebut telah menghiasi dada sang Dewi. Busana putih ternoda. Rembesan merah menguar begitu banyak. Sudewi tumbang diiringi oleh suara histeris dari para dayang. Darah menggenang, disertai bau anyir yang menyengat.

APSARA MAJA : SANG PARAMESWARITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang