Pasukan yang dipimpin Sudewi bergerak ke selatan, beradu kecepatan dengan sang surya yang akan menampakkan wujudnya. Sungguh, waktu benar-benar tak memberi ampun. Sudewi yang berada di barisan depan memacu kudanya cepat. Matanya menatap awas, sesekali melihat ke arah Kusumawardhani yang nampak ketakutan. Sementara Aji Rajanatha, ia berada di dalam pelukan Garini. Pangeran kecil itu menyembunyikan wajahnya, berbanding terbalik dengan Kusumawardhani. Kekhawatiran terlukis jelas pada wajahnya yang ayu. Tangannya terayun maju, seakan ingin menggapai sang ibunda. Mulutnya bergumam, sayang tak tertangkap oleh indra pendengaran Sudewi.
Langkah kaki kuda memenuhi telinga, panji-panji berkibar tertiup angin. Bagai tiada pembatas, rombongan tersebut melaju. Mereka berpacu dengan waktu, terus menatap ke depan demi menyelamatkan pewaris sah bumi Majapahit. Keduanya meringkuk dalam dekapan emban. Sudewi mengayunkan tangannya, berpegangan kuat pada tali. Di sisinya, terdapat Rarasati dengan anak panah yang berada di punggung. Tangannya setia memegang busur sembari menjaga keseimbangan. Lajunya tak melebihi sang Permaisuri. Keberadaannya adalah untuk melindungi tuannya. Ah, selamanya Rarasati adalah abdi sejati.
Sementara itu, Ra Kebo berada sedikit berada di belakang. Telik sandi itu awas akan keadaan sekitar. Ia juga yang mengobarkan jiwa kesatria para prajurit. Pun, para bekel tak meragukan kemampuannya. Benarlah, Ra Kebo adalah telik sandi kebanggaan Wilwatikta. Pria yang membawa tombak itu seolah menantang semesta, membakar semangat mereka yang pergi bersama bakti. Pasukan dengan jumlah yang banyak itu melesat jauh. Persenjataan yang mumpuni menjadi perbekalan apabila terdapat musuh yang menghadang.
Pijakan tanah berhias kaki kuda, embun pun tak lagi terasa. Pohon-pohon mengikuti arah yang dibawa sang pawana. Begitulah, dahsyatnya fajar yang akan mereka sambut nanti. Pasukan yang luar biasa hebat menggetarkan Jawadwipa. Tak gentar, sebelum mencapai Daha. Oh, mengapa perjalanan itu terasa panjang? Sudewi mengembuskan napasnya berulang kali. Desiran angin seakan mengajaknya berhenti. Ada sesuatu yang tertinggal, yang tak mengizinkannya melalang buana. Pandangannya menyapu pada ratusan prajurit yang membersamainya.
Sudewi menoleh sebentar untuk memastikan. Jangan sebut pemimpin apabila meninggalkan pasukannya. Sang Dewi melihat Ra Kebo yang memacu kudanya cepat, jauh lebih cepat daripada yang lain. Merasa itu adalah sebuah isyarat, Sudewi pun memelan. Sampai akhirnya, Ra Kebo benar-benar berada di sampingnya. Raut wajahnya terbaca oleh sang Dewi. Sontak, ia melempar tatapan ke belakang. Matanya memicing, samar-samar, terdapat panji lain yang mengikuti mereka. Oh, ini bukanlah pertanda baik.
"Gusti Parameswari, terdapat pasukan musuh yang mengintai kita." Ra Kebo sedikit berteriak agar suaranya tak tertelan kebisingan. "Mohon untuk mempercepat laju pasukan," pintanya, dari hati terdalam, ia pun dirundung ketakutan.
Sudewi mengalihkan pandangannya pada kereta yang dinaiki putra-putrinya. Kendaraan itu tak mungkin melaju lebih cepat lagi. Apabila memaksanya, bukan tak mungkin akan terjadi kerusakan parah. Pun, Aji Rajanatha masihlah kecil untuk mengajaknya menaiki kuda. Beribu pertimbangan memenuhi pikiran sang Dewi. Ia kenal betul Adiwilaga dan ambisi yang pria itu bawa. Pasukan yang dipimpin oleh Adiwilaga tak akan menyerah begitu saja, meski yang ditantangnya adalah pasukan tiada tanding sekalipun. Disaksikan langit dan ibu pertiwi, keputusan besar telah sang Dewi ambil. Di arahkannya salah satu tangan ke angkasa.
Sebuah pertanda yang mustahil diabaikan, para prajurit menghentikan laju kuda mereka. Perintah pemimpin tak terbantah dan Sudewi adalah pemimpin mereka. Ra Kebo terkejut setengah mati, apalagi setelah melihat Sudewi tak lagi berada di atas kudanya. Kalang kabut, Ra Kebo pun menuruni kudanya dan membungkukkan badannya di hadapan sang Dewi. Sungguh kurang ajar apabila seorang bawahan memerintah tuannya. Akan tetapi, hanya itu yang bisa Ra Kebo lakukan agar sang Dewi tak mengambil keputusan yang dapat membahayakan nyawanya. Sedikit yang Ra Kebo tahu, jika seorang pemimpin turun tangan, maka peperangan tak lagi terelakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
APSARA MAJA : SANG PARAMESWARI
Historical Fiction-Historical Fiction- {Apsara Majapahit II} Tidak, ini bukanlah sebuah dongeng, melainkan kisah klasik abad ke-14 di sebuah kerajaan digdaya Jawadwipa antara permaisuri dan tingginya tembok istana yang bernama pengabdian. Dibalik kemahsyuran seorang...