27 | Sepercik Cahaya

1.3K 137 129
                                    

Lantunan sheng yang terdengar familiar menyambut Sudewi bangun dari tidurnya. Sang Dewi menyapu pandangan. Tidak asing. Ya, ia pernah berada di tempat ini. Pepohonan hijau dipadukan dengan langit biru berawan semakin memesona. Sudewi beranjak. Ah, akhirnya, ia bisa menghirup udara sebanyak mungkin. Sungguh, ia ingin serakah kali ini. Persetan orang-orang ataupun hewan mengatainya nanti dengan sumpah serapah. Setelah lama menanti dalam tembok-tembok kokoh yang tak mengenal ampun itu, Sudewi mendapatkan kebebasan yang dirinya dambakan.

Sudewi menajamkan pendengaran, mengikuti ke mana alunan terindah yang ingin membawanya pergi. Sang Dewi tersenyum sumringah ketika mendapati pemandangan yang menakjubkan. Deburan ombak yang memecah karang menyambutnya. Kicauan burung seolah mengajaknya turut bersenandung. Tak henti-hentinya, Sudewi menyunggingkan bibir. Oh, apakah ini yang dinamakan swargaloka?

Sudewi menunduk, menyatukan telapak tangan, kemudian mengusapnya pelan. Benar, sangat nyata. Ia bisa merasakannya sendiri. Ah, ternyata kematian tak semenyeramkan itu. Justru hiduplah yang jauh menyedihkan. Sejenak, Sudewi teringat dengan orang-orang yang dikasihinya. Ya, ia belum sempat berpamitan. Akankah mereka memaafkan dirinya? Sungguh, Sudewi tak bermaksud begitu. Dengan busana putih bersih, Sudewi mendekati bibir pantai. Kakinya yang tak beralaskan gamparan sekarang berhiaskan oleh pasir putih. Sesekali, ombak-ombak kecil menghampirinya dan merendam kaki sang Dewi. Sudewi terkekeh pelan.

Alunan itu terdengar kembali. Kali ini, semakin nyaring, seakan memaksa Sudewi untuk mendatanginya. Sang Dewi menoleh, dilihatnya seorang wanita yang berbusana serba biru berdiri tak jauh darinya. Sudewi yang kadung penasaran pun berniat mendekatinya. Oh, ia mengingat momen ini. Ya, wanita itu tak lain adalah Biyung. Apakah Biyung menjemputnya? Bintang yang tak bersinar tadi malam bukan berarti Biyung melupakannya.

Sudewi setengah berlari. Ah, hatinya lebih dari sekadar bahagia. Penantiannya berbuah manis. Sudewi menubrukkan tubuhnya, memeluk erat sang ibunda dari belakang. "Aku merindukanmu, Biyung." Gumaman Sudewi disertai air mata yang tak bisa ia bendung. "Sungguh, putrimu sangat merindukan ibunya."

Setelah cukup lama berpelukan, Sri Ratih berbalik, menatap lekat putrinya yang beruraian air mata. Tangannya terulur untuk mengusap pipi memerah Sudewi. "Aku juga merindukanmu, Nak."

"Jika akhirnya bertemu dengan Biyung, maka kematian amat indah bagiku," ungkap Sudewi. Benar, ia tidak akan menyalahkan siapa pun atau memendam dendam kesumat. Sang Dewi mengikhlaskan hidupnya demi bersatu dengan sang ibunda. Oh, ia akan menghadapi kematian dengan tangan terbuka. Persetan dengan istana sialan yang melindungi para bedebah dengan dalih sebagai adyah mulia. Mati lebih baik daripada hidup dalam kepalsuan. Ya, Sudewi akan egois. Bukankah pengabdiannya telah usai?

Sri Ratih menempelkan jari telunjuknya di depan bibir Sudewi. "Jangan berkata seperti itu. Hidup adalah anugerah yang tidak ada duanya," sanggah wanita tersebut. "Kau adalah Sudewi, putriku yang pemberani. Kau bukanlah orang yang mudah menye-"

"Bisakah Biyung menerimaku? Perkataan Biyung terdengar seperti Ibu Suri Dyah Gitarja dan Gusti Mahapatih Gajah Mada. Jangan ... jangan seperti itu, Ibu," sela Sudewi, mengadu kepada ibunya. Ia melangkah mundur. Menolak fakta bahwa ibunya berada di pihak lain. "Jangan menyuruhku untuk bertahan. Aku tidak sanggup lagi. Aku sudah memenuhi keinginan Biyung menjadi wanita utama, tetapi aku tak mampu menyangga tanggung jawab besar itu. Pun, aku bukanlah apsara yang kalian maksud. Aku hanyalah Sudewi," tandasnya. Sesekali, Sudewi menarik napas berat, menyamarkan sesenggukkan agar tidak semakin keras.

Sri Ratih menghela napas panjang. Ia membiarkan putrinya menenangkan diri. Ya, ia mengizinkan Sudewi untuk menumpahkan keluh kesahnya, walau berupa air mata. Setelah dirasa cukup, Sri Ratih kembali membuka suara. "Setiap orang sudah digariskan sesuai suratan. Tidak ada manusia yang bisa menolak takdir yang sudah ditentukan, Nak. Jika kau lelah, maka beristirahatlah. Kau tahu, tidak selamanya bintang menerangi malam bersama sang candra. Tetapi, bukan berarti mereka berhenti bersinar. Mereka akan tetap menyinari marcapada kala malam, menyangga sang surya yang lelah. Ada kala, sinarnya meredup. Namun, sepercik cahaya cukup untuk menerangi kehidupan kecil." Sri Ratih menggenggem tangan putrinya, kemudian membawanya mendekat.

APSARA MAJA : SANG PARAMESWARITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang