23 | Sri Tanjung

1.8K 169 34
                                    

Sang Parameswari membelah malam dalam kesendirian. Langkah kakinya bergerak cepat, menapaki tanah dengan gamparan sederhana. Ia berpacu dengan waktu yang tidak memberinya kesempatan lebih banyak. Jika dirinya hanya diam, maka sang kala-lah yang akan melumatnya. Sepanjang perjalanan, ia merapalkan doa. Semoga saja Acintya tetap berpihak kepadanya, walau ia tak menampik bahwa dirinya juga menyimpan sebuah dusta berupa surat menyurat rahasia.

Semua hal Sudewi kesampingkan demi keselamatan Rarasati. Sungguh, ia tak berbohong. Menemui Sagara bukanlah sesuatu yang pas untuk saat ini, apalagi Hayam Wuruk menaruh curiga pada pemuda itu. Entah, apa yang akan terjadi nanti. Sudewi ingin mendengar pernyataan langsung dari Sagara. Bukan tanpa alasan sang Dewi memberinya kepercayaan bahwa pria tersebut mumpuni. Bayangkan, dahulu Sudewi hampir saja berhasil melarikan diri berkat bantuan Sagara. Pemuda itu pandai memutar otak, membaca situasi, dan melihat celah sempit. Pastilah ia juga memiliki rencana untuk menghindarkan Rarasati dari hukuman yang menanti.

Menjelang dini hari, para pedagang bermunculan. Mereka datang dari rumah masing-masing beserta atitih dan mapadati. Hal tersebut memunculkan sebuah ide cemerlang sang Dewi. Sagara menginginkan pertemuan mereka di Pelabuhan Canggu. Jika Sudewi memilih berjalan kaki, maka dibutuhkan waktu yang lama. Belum lagi dirinya membutuhkan istirahat. Maka dari itu, sang Dewi mengedarkan pandangannya pada orang-orang yang berlalu lalang di rajamarga.

"Bergegaslah, Tuan sudah menunggu kita di pelabuhan," ucap seseorang yang berada tak jauh dari Sudewi, sehingga wanita itu dapat mendengarnya.

Hal tersebut mendorong sang Dewi untuk mendekati beberapa pria yang tengah memasukkan barang dagangan ke atas kereta kuda. "Kudengar kau akan ke Pelabuhan Canggu. Apakah aku bisa menumpang?" tanya Sudewi tanpa berbasa basi.

Pria itu menatap Sudewi. Bahkan sehelai rambut dan jengkal tubuh pun tak ia lewatkan. Kemudian ia mengelus dagu, sembari berdehem. "Apa kau tak melihat barang-barang yang kami bawa sangat banyak?" Kemudian, ia menunjuk ke arah teman-temannya. "Dan apa katamu ... menumpang? Ah, kami tidak bekerja secara cuma-cuma." Ia memalingkan wajah dari sang Dewi. "Tuan kami adalah salah satu saudagar kaya raya di Trowulan."

Saat hendak pergi, Sudewi sedikit berteriak, "bagaimana dengan setengah tahil emas? Satu keping gobog senilai dengan lima keping kepeng ...," tawarnya. Sang Dewi tak menyerah dengan pintu kesempatan yang hampir tertutup. Baginya, celah masihlah ada untuk ia masuki.

Pria itu berhenti, kemudian berbalik, sehingga tatapannya bertemu dengan sebuah kantong yang berisi kepingan uang logam. Ia mengambilnya dari tangan Sudewi, lalu memeriksanya. Kepalanya memagut-magut setelah memastikan bahwa hitungannya benar. "Apakah kau seorang adyah? Mustahil bagi seorang rakyat jelata menyerahkan harta hanya untuk menumpang." Ia memberi tatapan menilai pada Sudewi.

Lantas, sang Dewi mengangguk mantap. "Benar," sahutnya jujur. "Jadi, apakah aku diperbolehkan naik?"

"Kereta kuda kami penuh. Apakah kau tidak masalah menumpang bersama dagangan kami?"

Lagi-lagi, Sudewi mengangguk setuju. Senyuman cerah ia tampilkan setelah seharian dirinya bergelut dengan keresahan. "Tak apa."

Bersamaan dengan itu, rombongan lawatan telah memasuki pelataran Istana Trowulan. Sang Prabu sengaja tidak membuat pengumuman supaya jalanan menuju istana tak dipenuhi oleh rakyat yang menyambutnya. Tempat yang ia tuju setelah turun dari keretanya adalah Kaputren. Entah mengapa, Hayam Wuruk menjadi was-was setelah mendapatkan mimpi buruk kedua kalinya. Mimpi itu terasa nyata dan berhubungan dengan dunianya. Saat ini, ia hanya ingin memastikan bahwa istrinya baik-baik saja.

Namun, apa yang dibayangkan Hayam Wuruk tak sesuai harapan. Inginnya disambut oleh sang istri dan mendekap tubuh hangatnya, tetapi seketika sirna setelah mendapati kamar tempat Sudewi bermalam tak berpenghuni. Hayam Wuruk sempat bertanya, tetapi tak ada yang mengetahui ke manakah sang Parameswari pergi. Keswari selaku dayang senior hanya bisa tertunduk lesu. Ah, beban pikirnya semakin bertambah. Sudewi menghilang. Entah karena keinginannya sendiri atau hal lain. Oh, apakah istrinya diculik?

APSARA MAJA : SANG PARAMESWARITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang