"Ra-rahayu, Gusti Paduka Sori." Ra Banyak dengan gerakan cepat membungkukkan badannya. Sejujurnya, ia terkejut bukan main. Sedikit kesalahan saja, mampu membuat barang-barang bawaannya berceceran. Dan yang lebih menakutkannya lagi adalah menabrak seorang permaisuri.
Tak sengaja, Sudewi melihat ke arah baki yang dibawa Ra Banyak. Oh, mungkin sida itu tengah tergesa-gesa, begitu pikirnya. Dengan segera, sang Dewi menggeser tubuhnya ke samping agar memberi ruang yang lebih luas untuk Ra Banyak. "Apakah saya bisa menemui Gusti Prabu sekarang?" Sudewi sengaja meminta izin kepada tangan kanan suaminya. Toh, belum tentu juga pria itu berada di Keraton Wanguntur mengingat jadwalnya yang padat setiap hari. Terlebih lagi dengan datangnya tamu kehormatan dari Kerajaan Malayapura yang bertandang ke kotaraja.
Ra Banyak mengangguk, mengiyakan pertanyaan sang Permaisuri. "Ten-tentu saja, Gusti Paduka Sori," sahutnya, membungkuk sebagai tanda penghormatan sekaligus salam perpisahan karena ia bergegas meninggalkan tempat tersebut.
"Dewi," panggil sang Maharaja sesaat setelah Ra Banyak meninggalkan Sudewi seorang diri. "Mengapa kau tak memintaku un—"
"Salam, Kanda Prabu." Sudewi menyela perkataan suaminya. Alih-alih menyambut rentangan tangan sang Maharaja yang hendak memeluknya, sang Dewi justru menunduk—persis seperti yang dilakukan Ra Banyak kepadanya. Hal tersebut tentu membuat Hayam Wuruk menatapnya kebingungan. Guratan samar di dahinya menjadi pertanda bahwa pria itu tengah menebak-nebak. "A-Aku tahu dan aku menyadari bahwa aku bersikap kurang ajar," ujar Sudewi pelan, entah mengapa ia sedikit gugup.
Hayam Wuruk menaikkan satu alisnya. "Biarlah semua berlalu, Dewi. Aku sudah melupakannya," sahut sang Prabu. Ia pun tahu, perkataan Sudewi tempo lalu keluar akibat amarah yang membumbung tinggi. Ia mengenali istrinya lebih dari siapa pun. Ya, Sudewi terkadang menjadi wanita bersumbu pendek. Itulah yang membedakannya dengan wanita bangsawan lain. "Kau tak perlu risau," lanjut Hayam Wuruk yang hendak menggapai tangan istrinya.
Namun, penolakanlah yang sang Maharaja dapatkan. Ia kalah cepat dengan pergerakan Sudewi. Wanita itu lagi-lagi memberi ruang hampa di tengah mereka. Perasaan Hayam Wuruk semakin tak karuan. Bukanlah pertanda baik dan tindakan Sudewi merupakan peringatan—lebih tepatnya awal dari keterasingan. Ah, apalagi ini? Akankah mereka harus memulai dari awal? Sungguh, Hayam Wuruk tak tahu harus berbuat apa. "Sudewi ...," desisnya dengan memejamkan mata. Ia perlu menetralisir pikirannya yang kalut. Salah-salah, justru dirinyalah yang menyakiti sang Dewi. "Kita baik-baik saja, Dewi," gumam sang Maharaja lirih.
Mata Sudewi menyorot tajam. Ia membulatkan tekadnya. Memang, jaraklah yang mereka butuhkan. Hanya menunggu sang kala menabuh canang, maka runtuhlah sudah apa yang ia miliki—tentu saja termasuk cinta sang suami kepadanya. Ya, cepat atau lambat, rahasia gelap romonya dan Adiwilaga akan terbongkar. Oleh karena itu, Sudewi harus menjaga agar perasaan ini tak tumbuh kian subur, baik di hatinya maupun sang Prabu. "Mohon maaf, Kanda Prabu. Seorang tuan rumah pantang mengabaikan tamunya, dan aku setuju dengan pernyataan itu. Kedatangan Tuan Ananggawarman dan rombongan Malayapura adalah kehormatan bagimu dan juga kerajaan ini. Aku juga mengerti bahwa kau memberikan perhatian lebih kepada mereka."
Sudewi menarik napas dalam sebelum melanjutkan ucapannya. "Namun, hal itu tak serta merta menggugurkan kewajibanmu. Ada seseorang yang membutuhkanmu sekarang. Bahkan kau belum menemuinya sejak dirinya melahirkan putramu. Jika kau terus bersikap seperti ini, maka ... pantaslah Bawita meminta keadilan kepadamu." Sang Dewi terengah-engah, meski ia tak sedang dikejar oleh musuh. Ada sesuatu yang retak dan tak bisa kembali seperti semula. Ya, kepercayaan. Entah sampai kapan Sudewi sanggup menyimpan rahasia besar itu. Ah, demi Kusumawardhani dan orang-orang terkasihnya di Wengker, Sudewi kembali berdusta. Toh, ia pernah berkorban perasaan sebelumnya. Kali ini, tak akan sulit, bukan?
"Jika kau kemari hanya untuk membahas Bawita, sebaiknya simpan saja perkataanmu, Sudewi," respon Hayam Wuruk, ketidaksukaan terpancar jelas di kedua netranya, juga nada bicara yang tidak bersahabat. Ia berpaling dan hendak meninggalkan sang Dewi.
KAMU SEDANG MEMBACA
APSARA MAJA : SANG PARAMESWARI
Historical Fiction-Historical Fiction- {Apsara Majapahit II} Tidak, ini bukanlah sebuah dongeng, melainkan kisah klasik abad ke-14 di sebuah kerajaan digdaya Jawadwipa antara permaisuri dan tingginya tembok istana yang bernama pengabdian. Dibalik kemahsyuran seorang...