1283 Saka
Siang terik menyengat di penjuru istana. Panasnya menghantarkan hingga ke setiap bilik. Di kediaman sang Maharaja, terdapat perundingan yang memengaruhi kestabilan kerajaan. Wajah-wajah terlukis serius. Sampai detik ini, sang Prabu belum memberikan pengumuman resmi terkait permasalahan barang-barang yang dikirimkan dari Yuan Raya. Hanya segelintir orang yang berkecimpung di sana yang berhak mengetahui polemik tersebut. Di Keraton Wanguntur, Panji Gentala dan Panji Imba menghadap Sri Prabu untuk memberikan keterangan terkait penyelidikan mereka di Tumapel.
Hayam Wuruk dengan seksama mendengar penuturan dari kedua telik sandi itu, Gajah Mada pun sama. Hanya Mpu Prapanca sendiri yang bergelut dengan pena dan daluang. Sementara Ra Kebo? Ia tengah melakoni peran sebagai mata-mata. Tidak mudah memang bagi telik sandi untuk bergerak secara diam-diam. Mereka tak hanya mengandalkan otot, tetapi juga otak agar rahasia tetap terjaga. Maka dari itu, dibutuhkan waktu yang tidak sebentar agar informasi yang didapatkan dipercaya kebenarannya.
"Pembukaan lahan di Sagala bukanlah bualan semata, Gusti Prabu. Paduka Bhre Tumapel benar-benar melakukannya dengan pertimbangan untuk menambah udbhawa gabah. Paduka Kertawardhana juga memerhatikan kesejahteraan petani. Dengan membuka lahan, maka dipastikan bahwa para petani tidak kehilangan mata pencaharian mereka. Selama melakukan pengawasan, kami dapat mengetahui pola yang digunakan oleh Paduka Bhre Tumapel untuk memaksimalkan lahan. Pada warsakala, lahan difungsikan untuk penanaman bahan pokok, yaitu padi. Namun, ketika lahrukangka melanda, petani tidak perlu khawatir karena mereka akan menanam palawija, sehingga lahan tetap terpakai semaksimal mungkin. Maka dari itu, hamba meyakini bahwa Paduka Bhre Tumapel bukanlah dalang dari penyeludupan mesiu dan persenjataan," papar Panji Gentala sesuai dengan pengamatannya. Memang, pembukaan lahan bukanlah hal baru bagi wangsa Rajasa. Dahulu, Prabu Kertarajasa membuka lahan di Hutan Terik yang kemudian diberi nama Desa Majapahit.
Hayam Wuruk tak melepas pandangannya dari telik sandi itu. Ia menilai kejujuran yang pria tersebut tuturkan. Sang Prabu memahami bahwa memisahkan antara prahara hati dan polemik kerajaan perlu bagi setiap penguasa. Jujur saja, Hayam Wuruk tidak begitu condong kepada ayahnya itu. Sedari kecil, ia tidak mendapatkan figur ayah secara menyeluruh. Baginya, panutan yang sebenarnya adalah Rajaputri Tribhuwana Wijayatunggadewi dan Gajah Mada. Akan tetapi, masa lalu tidak bisa begitu saja dijadikan patokan untuk mengambil keputusan untuk masa kini. Sekarang, ia membedakan antara Bhre Tumapel dan Sotor. Harus melalui pertimbangan yang begitu dalam agar ia tidak salah langkah. "Apakah hanya Bhre Tumapel saja yang mengurus Sagala?"
Saat ini, giliran Panji Imba yang mengangguk. "Benar, Sri Prabu." Pria itu menarik napas berat, ia akan mengemukakan fakta baru kepada penguasa Wilwatikta. "Kami sering melihat keberadaan Sotor di Hutan Nandawa. Saat melakukan penyamaran, kami mendapatkan informasi bahwa terdapat seseorang yang membantu penyeludupan mesiu dan persenjataan. Kami juga mendengar bahwa mereka merencanakan sesuatu yang besar dengan barang-barang tersebut. Dapat kami simpulkan bahwa mereka menimbun persenjataan untuk melawan Majapahit. Akan tetapi, tetap diperlukan langkah hati-hati agar tragedi Patih Nambi tidak terulang kembali."
Ya, Gajah Mada memagut-magutkan kepalanya. Pria yang memakai upawita ular dan kain poleng itu menyetujui saran dari Panji Imba. Tragedi kelam di Sadeng tidak lepas dari tindakan gegabah Ra Kembar. Saat ini, menyerang langsung Tumapel adalah tindakan bunuh diri karena mereka memiliki amunisi yang lebih banyak. Satu tembakan dari cetbang, dapat membunuh prajurit dari kejauhan. "Demi menjaga kestabilan Majapahit, maka kita perlu meminimalisir pemberontakan dari kerajaan vasal. Menyerang Tumapel tanpa adanya peringatan adalah tindakan yang sembrono. Tidak hanya rakyat di sana yang menjadi korban, tetapi juga memengaruhi tingkat kepercayaan kerajaan bawahan lainnya. Maka dari itu, daripada kita melakukan penyerangan secara terbuka, alangkah lebih baik jika kita mulai menumpas dari dalam." Gajah Mada menimpali, memberi pertimbangan lain bagi sang Prabu untuk mengambil kebijakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
APSARA MAJA : SANG PARAMESWARI
Historical Fiction-Historical Fiction- {Apsara Majapahit II} Tidak, ini bukanlah sebuah dongeng, melainkan kisah klasik abad ke-14 di sebuah kerajaan digdaya Jawadwipa antara permaisuri dan tingginya tembok istana yang bernama pengabdian. Dibalik kemahsyuran seorang...