Tidak ada kain yang dirajut tanpa adanya benang. Rajutan menyambung dari satu benang ke benang lain, layaknya perjalanan hidup yang menemui tuju. Ya, hidup ini akan memiliki akhir. Seperti manusia yang mempunyai masa. Ia tidak abadi, karena suatu saat, waktu-lah yang akan menelannya. Namun, lain halnya dengan nama, sesuatu yang dikenang, entah karena baik atau buruknya. Maka dari itu, hal tersebut perlu dipersiapkan matang-matang. Nama yang baik diharapkan membawa kesejahteraan dalam kehidupan si anak.
Ya, begitulah pertimbangan Sudewi sebagai calon ibu. "Kata kdi, kau adalah bayi perempuan, Nak."
Sang Dewi bermonolog ria sembari mengelus perutnya yang melebar ke tengah, dan cenderung lebih condong ke atas. Ya, sekiranya seperti itu ucapan kdi yang menangani masa kehamilan Sudewi. Ia sedikit bergidik kala angin sepoi-sepoi menyambut kulitnya. Saat ini, dirinya tengah menikmati pagi di kolam ikan yang berada di Kaputren. Ah, akhirnya ia bisa merasakan udara bebas setelah berbulan-bulan berdiam diri di dalam kediaman permaisuri itu. Sepi pun menjadi temannya kala sang Dewi tak sempat bersua dengan Nertaja dan Indudewi. Saudari-saudarinya itu langsung bertolak ke kerajaan masing-masing agar tidak memperkeruh situasi di Istana Trowulan. Begitulah saran dari Dyah Wiyat. Sebagai seorang ibu, ia tahu watak asli Indudewi ketika tahu bahwa adiknya tersakiti. Wanita yang berkuasa di Nagari Daha tersebut tidak ingin putri sulungnya bertindak gegabah.
Sudewi menatap kolam yang berhias teratai merah itu lamat-lamat. "Bunga itu ... cantik," gumamnya kemudian. "Apakah kau setuju, Nak? Lihatlah." Sang Dewi terkekeh kecil ketika menyadari kekonyolannya. Ah, anaknya saja belum lahir. Mungkin ia harus sering-sering menceritakan sebuah dongeng kepada buah hatinya. Saat waktu itu tiba, anaknya akan melihat dunia dengan lebih indah. Memang benar dunia menyimpan misteri dan kekejaman, tetapi Sudewi akan berdiri sebagai tameng. "Ibunda Dyah Wiyat sangat menyukai dahakusuma, seperti nama nagarinya, Daha. Begitupun dengan Ibu Suri Dyah Gitarja yang menggunakan sadaliakusuma sebagai lambang Kahuripan. Nampaknya, sebagai seorang wanita, mereka pun menyukai bunga. Kau tahu, Nak, ibumu juga menyukainya," papar sang Dewi dengan sesekali mengulas senyum ketika kupu-kupu beterbangan, mempercantik suasana dan menyejukan hati calon ibu tersebut. Sungguh, amat memanjakan mata.
"Kelak, namamu harum dalam sajak indah yang dirangkai para pujangga. Ya, laksana kusuma." Sudewi mengelus perutnya yang sudah membuncit itu. "Jangan khawatir. Ibu selalu di sini. Jangan pikirkan apa kata orang, Nak. Kau adalah adyah sejati. Dalam darahmu, teralir wangsa-wangsa besar yang mendirikan kerajaan ini." Sudewi berkata dengan penuh keyakinan. Benar, anaknya adalah seorang bangsawan. Tanpa keraguan, semesta akan menyambut buah hati sang Dewi sebagai anugerah yang diturunkan untuk menebar kebaikan. Ia lahir sebagai anak dari permaisuri, maka tiada kesangsian yang dilayangkan kepadanya.
Dari kejauhan, Keswari datang dengan membawa sebuah nampan yang di atasnya terdapat gelas. Setelah sampai, ia mengulungkan benda tersebut kepada Sudewi. "Mohon untuk segera diminum, Gusti Parameswari," pintanya lembut.
Sudewi menjawabnya dengan anggukkan. Diminumlah minuman tersebut hingga tandas. Ia mengernyitkan dahinya setelah menyadari apa isi minuman itu. "Hmm ... jahe?" Sang Dewi menerowong gelas yang sudah kosong dengan menyipitkan mata, lalu mencium baunya. "Benar," terka permaisuri tersebut.
Keswari menganggukkan kepala. "Betul, Gusti Permaisuri. Apakah Paduka Permaisuri masih merasakan mual-mual di pagi hari seperti saat hamil muda?" Keswari mengambil gelas yang sudah kosong dari tangan Sudewi, lalu meletakkannya di meja yang sudah disediakan.
Sudewi membalasnya dengan gelengan. "Tidak." Ia membenarkan posisi duduknya agar lebih nyaman. Kondisi perut yang membesar, membuatnya cukup kesulitan bergerak. "Permaisuri Gi mengirimkan surat kepadaku. Ia mengucapkan selamat atas kehamilan calon penguasa Majapahit di masa mendatang. Selain itu, Permaisuri Gi juga memberikanku rahasia mengatasi mual dan muntah selama kehamilan adalah menggunakan air jahe. Di Yuan Raya, para wanita yang tengah mengandung meminum jahe untuk meredakan mual di pagi hari, tetapi tidak rutin. Ya ... sesuatu yang terlalu banyak, efeknya pasti tidak bagus. Sepertinya kau telah mengetahui itu, Mbok," tutur Sudewi tanpa menyembunyikan apa pun.
KAMU SEDANG MEMBACA
APSARA MAJA : SANG PARAMESWARI
Historical Fiction-Historical Fiction- {Apsara Majapahit II} Tidak, ini bukanlah sebuah dongeng, melainkan kisah klasik abad ke-14 di sebuah kerajaan digdaya Jawadwipa antara permaisuri dan tingginya tembok istana yang bernama pengabdian. Dibalik kemahsyuran seorang...