Cahaya menyelinap, seakan menyambut Sudewi dari tidurnya. Sekuat tenaga, dirinya membuka mata. Usahanya membuahkan hasil, ia menyapa dunia yang berulang kali melenyapkannya. Namun, tiada yang sanggup menyalahi janji yang belum ditunaikan, juga pengabdian yang tak usai. Ajakan sang Dewi nyatanya tak mampu meluluhkan sang ibunda. Sri Ratih menolak menggapai tangan putrinya. Akhirnya, tinggallah Sudewi seorang diri di pinggir pantai nan indah, sedangkan Sri Ratih bersatu dengan lautan. Lagi-lagi, ia harus melepaskan ibunya pergi. Jujurlah, sang Dewi kehilangan arah. Ia berada di persimpangan, antara hidup dan mati. Kematian mengengganinya, tetapi kehidupan tak memberi jaminan bahagia.
Jari jemari yang perlahan bergerak, menyentak Keswari dari lamunan. Dayang senior itu tersadar dan melihat ke arah mata yang mengerjap. Lentiknya yang menghanyutkan membuat Keswari tertegun. Paricaraka tersebut mencerna situasi yang terjadi. Detik berikutnya, angin segar menyapanya, bibirnya melengkung ke atas. Kebahagiaan Keswari kian membuncah kala akhirnya dapat bertukar tatapan dengan sang Parameswari. Dayang itu mengatupkan mulutnya. Oh, Wilwatikta diberkati oleh Acintya, Keswari mengucapkan syukur dalam diam.
"Gusti Paduka Sori." Untaian kata terucap, gagap gempita dirasakan langsung oleh Keswari. Ia menyeka air mata bahagia. "Hamba akan memanggil Ki Jiwatrisna," ucapnya kemudian.
"Mbok," gumam Sudewi lirih. Mati-matian ia mengeluarkan suara untuk menghentikan pergerakan Keswari. Beruntunglah, sekat tak menjadi penghalang, dayang itu segera membalikkan tubuhnya, seraya membungkuk. Sudewi hendak bangkit, tetapi sakit yang mendera sisi perutnya menghalangi. Sang Dewi meringis pelan. "A-anak-anakku?" Hanya itulah yang lolos dari mulutnya.
Keswari mengerti, kekhawatiran seorang ibu kepada anaknya melebihi nyawanya sendiri. "Hamba mendapatkan kabar bahwa Gusti Rajakumari dan Pangeran Aji Rajanatha telah sampai di Daha dengan selamat. Gusti Parameswari tidak perlu risau karena Paduka Rajadewi menjamin keselamatan mereka," sahutnya tanpa menyembunyikan apa pun. Ya, jauh sebelum Sudewi sadarkan diri, surat balasan menjadi pertanda bahwa suksesi Majapahit tetap terjaga. Di satu sisi, Keswari turut bahagia mendengarnya. Akan tetapi, di sisi lain, dirinya dihantui ketakutan akan kehilangan sang Dewi. Bukan tidak mungkin sang Permaisuri menyerahkan kehidupannya demi kelangsungan Wilwatikta. Oh, memanglah sejak awal, nama Sudewi tak pernah didengungkan oleh para petinggi. Keswari sudah membuktikannya saat mereka berada di Keraton Singhasari. Semua orang hanya berfokus pada raja mereka saja.
Sudewi mengulas senyumannya. Pawarta yang dikirimkan dari Daha lebih dari cukup meyakinkannya bahwa keputusan untuk terus hidup adalah yang terbaik. "S-syukurlah."
Berat hatinya meninggalkan Sudewi, Keswari justru enggan pergi. Ia mengambil gelas yang berisi air untuk diberikan kepada sang Dewi. "Mohon untuk diminum, Gusti Parameswari," pintanya tulus.
Sudewi langsung menerimanya. Jujur saja, ia tengah dilanda dahaga. Untunglah Keswari menyadarinya. Air itu tandas dalam waktu singkat. Sudewi mengusap bibir keringnya. Tubuhnya masihlah kaku. Oh, sudah berapa lama dirinya terlelap? Sudewi mengarahkan pandangannya ke jendela yang terbuka. Ia rindu akan kehangatan sang surya. Mata indah itu mengerjap beberapa kali, terpukau akan pesona matahari seperti pertama kali melihatnya. Sang Dewi bahkan tak mengindahkan saat beberapa dayang muda memasuki kamarnya atas perintah Keswari. Dayang senior itu menyuruh mereka untuk mengabarkan kondisi Sudewi kepada waidya dan juga Keraton Wanguntur.
Bayang-bayang kematian masihlah melekat. Kenangan buruk itu singgah dalam ingatan dan menetap selamanya. Satu tetes air mata meluruh kala Sudewi menyadari bahwa kuasa Sang Hyang Agung melebihi segalanya. Yang memberi kehidupan, yang menjemput kematian. Sudewi meremas ranjangnya pelan. Rasa sakit yang merangsek masuk tak sebanding dengan keselamatan putra-putrinya. Oh, mungkin inilah keinginan Biyung. Ya, Sudewi harus membersamai Kusumawardhani dan Aji Rajanatha lebih lama lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
APSARA MAJA : SANG PARAMESWARI
Ficción histórica-Historical Fiction- {Apsara Majapahit II} Tidak, ini bukanlah sebuah dongeng, melainkan kisah klasik abad ke-14 di sebuah kerajaan digdaya Jawadwipa antara permaisuri dan tingginya tembok istana yang bernama pengabdian. Dibalik kemahsyuran seorang...