Sudewi mengerjapkan matanya berkali-kali saat melihat sorot sinar sang surya. Ah, benar, ia tak sengaja tertidur di candi pemujaan, sehingga bunga-bunga memenuhi pipinya. Mata sembab itu mengarah pada telapak tangannya yang terluka. Sang Dewi menyobek sedikit kain yang ia pakai. Dunia bisa ia kelabui, tetapi rasa sakit tak pernah berbohong. Oh, luka yang menandakan putusnya hubungan darah. Semesta telah mengutuknya melalui sang ayahanda. Habis sudah air mata, hingga kini mengering. Sudewi meneguhkan hatinya. Benar kata Keswari, kejujuran adalah segalanya.
Bak upacara penyambutan, semua orang berlalu lalang di kediaman permaisuri. Sudewi pun tak paham, apa gerangan? Ia menghela napas, lalu menyembunyikan tangannya yang terluka. Untung saja tak ada darah yang menetes. Sang Dewi melangkah masuk, kedatangannya sontak menjadi perhatian. Tak seperti biasanya, saat ini ia memilih menunduk, menatap tanah yang dipenuhi rerumputan, serta gamparan-nya yang indah. Memanglah sulit bersandiwara, Sudewi khawatir wajah mengenaskannya menjadi tanda tanya.
"Gusti Parameswari," seru Keswari yang langsung mendatanginya. Mau tak mau, sang Dewi mendongak.
Menyunggingkan senyuman ternyata sesulit menyelamatkan dunia, Sudewi mati-matian bersikap baik-baik saja. "Mbok, jangan risau," ucapnya dengan mengusap lengan dayang itu. Sialnya, ia lupa telapak tangannya tengah terluka. Alhasil, Keswari dapat melihatnya dengan mudah.
Dayang senior tersebut tak kalah panik, ketika darah yang berhasil menembus menyebabkan kain putih berganti merah. "A-apa—"
Semesta berpihak pada sang Permaisuri, sebelum ia merangkai dusta, seseorang keluar dari bangunan Kaputren. Hal tersebut patut disyukurinya, tetapi urung ketika yang dilihatnya adalah sang Maharaja. Buru-buru, Sudewi menyembunyikan tangannya di belakang tubung seraya menunduk hormat. "Rahayu, Gusti Prabu," sapanya. Tak elok memanggil panggilan 'kanda' di hadapan banyak orang. Terlebih, mereka menjadi pusat perhatian.
"Semalam, Kaputren tanpa tuannya," seloroh Hayam Wuruk yang menyebabkan Sudewi melebarkan matanya. "Bisa kau jelaskan, Dewi?" Alisnya menukik, menuntut penjelasan istrinya.
Sudewi menganggukkan kepalanya. Ia mempersilakan suaminya kembali memasuki bangunan yang menjadi kebanggaan Permaisuri Majapahit. Selepas Hayam Wuruk, Sudewi berjalan mengekorinya. Teringatlah ia saat penobatan Yuwaraja Wilwatikta di Keraton Wengker. Punggung kokoh itulah yang terbayang di benaknya, lengkap dengan beban berat yang pria itu tanggung. Masa lalu menjawab, dirinyalah yang menjadi penopang sekaligus sandaran. Pria tersebutlah yang ia lihat setiap harinya. Ah, ternyata dunia memiliki caranya sendiri dan Acintya telah menakdirkannya berdiri di samping Hayam Wuruk.
Tanpa dayang dan abdi dalem, heninglah suasana Kaputren. Kusumawardhani dan Aji Rajanatha tengah berada di taman kerajaan bersama para paricaraka. Hendaknya memulai percakapan, tetapi napas sang Dewi tercekat. Kejujuran yang akan ia ucapkan, akan berbuah pada akhirnya. Dan pintu kebencian yang dahulu diketuknya, akan perlahan terbuka. Sudewi tak ingin ada utang, seperti ucapannya di depan arca Dewi Parwati. Dirinya tak ingin terlambat, Hayam Wuruk harus mendengarnya dari mulutnya sendiri.
Mulutnya perlahan terbuka, membuka tabir yang selama ini berselimut rahasia. "Hitunglah," lontar sang Dewi yang membuat dahi suaminya mengernyit. "Berapa kali Wengker bersikap tak patuh?" sambungnya pelan, tetapi menyiratkan ketegasan di sana. Sudewi yang lelah, tak ingin terlihat lemah.
Hayam Wuruk memajukan tubuhnya, raut kebingungan terlukis paripurna. "Apa maksudmu, Dewi?"
"Upeti." Layaknya menghitung hari, begitulah kiranya sang Dewi. "Lukisan," lanjutnya dengan meremas tangannya sendiri. Ah, sebentar lagi, semuanya akan terbuka, hingga buana mengetahuinya. "Pelarian Putri Wengker." Lajunya ucapan Sudewi, seperti rajamarga tanpa halangan. "Paduka Wijayarajasa," pungkasnya dengan mengepal, tak menyadari adanya luka yang menganga di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
APSARA MAJA : SANG PARAMESWARI
Ficción histórica-Historical Fiction- {Apsara Majapahit II} Tidak, ini bukanlah sebuah dongeng, melainkan kisah klasik abad ke-14 di sebuah kerajaan digdaya Jawadwipa antara permaisuri dan tingginya tembok istana yang bernama pengabdian. Dibalik kemahsyuran seorang...