48 | Locita Pati

903 76 24
                                    

"Rahayu, Kanda Prabu."

Sudewi memasuki kediaman suaminya. Namun, sunyi yang menyapanya. Pastilah, mereka hanya berdua di sana. Kedua tangannya menekan kampuh. Entah mengapa, rasa sesak kian menyiksa. Sudewi mati-matian menjaga kewarasan. Lemparan pujian urung dirinya lakukan. Mulutnya terkatup, terkunci rapat. Ah, ia lupa cara berbicara saat melihat sang suami. Alih-alih mengenakan Mahabhusana Rajakaputran Wilwatiktapura yang menampilkan keagungan, Hayam Wuruk memakai wdihan berwarna hitam. Tidak salah, memang, karena mereka tak sedang berada pada pertemuan resmi kerajaan.

Bukankah itu pemberian darinya bertahun-tahun yang lalu?

Tanpa disadari Sudewi, Hayam Wuruk berjalan mendekat. Bau wewangian dan pasta cendana menyapa sopan indra penciuman. Terlebih lagi telinganya mendengar dengan jelas gemerincing binggel saat sang Dewi melangkah. Sungguh, apa pun yang istrinya kenakan, nampak sempurna di matanya. Tepat di depan Sudewi, alis Hayam Wuruk terangkat. Istrinya bergeming, dengan tatapan yang menyorot kepadanya. Tentu saja sang Maharaja keheranan.

"Bagaimana, Dewi?" Hayam Wuruk melontarkan pertanyaan yang hanya dibalas kedipan mata oleh sang istri. Lantas, sang Maharaja kembali mengulangnya, berusaha menyeret Sudewi yang terperangkap dalam lamunannya sendiri. "Dewi?" Hayam Wuruk menggapai jari jemari istrinya yang tak berhias apa pun.

Namun, sentakanlah yang menjadi jawaban, sang Dewi menunjukkan gelagat yang di luar perkiraan. Wanita itu melangkah mundur. Pikirannya tercerai berai, logika menamparnya. Menjauhlah, Sudewi, begitu peringatnya. Lantas, ia menggeleng, meniti pada pandangan sang Prabu yang keheranan dan terkejut dalam waktu yang bersamaan. Mau tak mau, Sudewi mengulas senyuman demi menyukseskan sandiwara yang akan dimulai. Tidak terlalu sulit, bukan? Ah, ia pernah mengelabuhi para penyamun dengan pemeranan yang dirinya tampilkan.

"Katakan, ada apa kau menyuruhku kemari?" Tanpa membuang banyak waktu dan demi memuluskan langkahnya untuk menjauh, sang Dewi melontarkan pertanyaan kepada suaminya. Tanpa sempat memberikan jawaban.

Hayam Wuruk cukup tersentak. Ah, sang istri enggan memberinya respon. Apakah ia kurang tampan tanpa memakai busana keagungan beserta kirita mahkuta? Tidak, Sudewi bukanlah wanita yang gila harta. Jauh di dalam hati, Hayam Wuruk pun bertanya. Apa gerangan yang membuat sang Dewi membangun benteng megah yang membatasi mereka? Begitu tinggi, hampir menyamai tembok istana. Katakan, apa Hayam Wuruk sedang memetik buah dari kesalahannya di masa lampau pada Sudewi? Oh, permintaan maaf pun tak akan pernah cukup.

Hayam Wuruk memilih memendamnya sendiri. Bergulat dalam pikiran nampaknya jauh lebih baik, daripada membuat kekeliruan yang membuat Sudewi tak sudi membersamainya lagi. Hayam Wuruk tak berusaha mendekat, juga tak menjauh. Ia tetap pada posisinya. Ya, Hayam Wuruk selalu ada di sana untuk terus mencintai Sudewi.

"Ra Banyak memberitahuku bahwa kau mengadakan pertemuan secara rahasia dengan Bawita. Dan ... ini menyangkut Aji Rajanatha."

Seketika, raga Sudewi mematung, sekejap saja berubah menjadi arca. Ia pun tahu, menyimpan segalanya dari Hayam Wuruk cukup mustahil. Namun, apa daya, ia sungguh tak tega mendengar tangisan Aji Rajanatha yang merindukan ibunya. "Ya, kau benar, Kanda," akunya. Percuma saja berkata dusta, justru semakin menariknya masuk ke dalam jurang.

Hayam Wuruk menarik napas panjang, pertanda ucapannya kali ini juga memberatkannya. "Jauhi Bawita, Dewi."

Sudewi menautkan kedua alisnya. Setelah memisahkan seorang ibu dan anak, apakah pria itu benar-benar memutus hubungan darah antara keduanya? Bagaimana nanti jikalau Aji Rajanatha menuntut jawaban? Apa yang bisa sang Dewi berikan selain keterbungkaman? Sudewi tak bisa menjawab segala pertanyaan yang silih berganti.

"Apakah kau ingin menyulut kebencian, Kanda Prabu?" Wajah Sudewi berganti, merah padam karena ulah suaminya. Jika dahulu ia bisa memperjuangkan Kusumawardhani, mengapa tidak dengan Aji Rajanatha? Keduanya adalah anak-anaknya. Ya, mau tak mau Sudewi harus mengakui bahwa putra Bawita turut memberinya warna dalam hidup. Oh, ini kali pertama sang Dewi mengasuh seorang putra. Itu mengingatkannya pada Raden Gagak Sali.

APSARA MAJA : SANG PARAMESWARITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang