24 | Sang Amawabhumi

1K 117 13
                                    

Peringatan! Cerita ini fiksi.

Siang memanas. Gerah mengusik manusia-manusia yang menghadiri persidangan hari ini. Mereka ialah penegak tumpu keadilan di Kerajaan Majapahit. Di aula utama Istana Trowulan, beratus-ratus pasang mata menjadi saksi persidangan yang menyeret adik tiri sang Prabu dan tangan kanannya. Dhyaksa menempati posisinya. Begitu pula dengan Sang Pamegat. Mereka bersiap untuk menuntut pertanggungjawaban atas tindakan yang tergolong sebagai pengkhianatan kepada para tersangka.

Raden Sotor, putra dari Raden Cakradhara dan selirnya tak menyangkal tuduhan yang dilayangkan oleh Dhyaksa maupun Sang Pamegat. Pria tersebut mengakui perbuatannya, entah itu merencanakan pembunuhan kepada sang Prabu maupun aktivitas ilegal di Hutan Nandawa. Para dewan kerajaan dan Puruhita berjengit kaget. Mereka tak menyangka bahwa Raden Sotor mampu berbuat hal yang tergolong dalam kejahatan berat, yaitu pengkhianatan. Saat Dhyaksa memberi kesempatan kepada Sotor untuk membela diri pun, pria itu tak melakukannya. Tidak ada alasan bagi dirinya untuk mendapatkan keringanan.

Di deretan kursi petinggi Majapahit, Raden Cakradhara hanya bisa tertunduk lesu. Ia tidak dapat menyuarakan pernyataan agar penegak hukum memberi keringanan kepada putra bungsunya. Di samping ayahanda sang Prabu, Dyah Gitarja pun memilih bungkam. Ia meremas kuat sinjang miliknya. Sungguh, ia kesal tak terkira. Perbuatan Sotor tidak termaafkan. Bisa-bisanya putra selir itu berniat untuk melukai putranya. Tidak tahu diuntung! Dyah Gitarja menyesal telah memberikan kasih sayang kepada seseorang yang tak pantas mendapatkannya. Tidak hanya itu, ia juga menyimpan amarah kepada Cakradhara karena pria tersebut lengah dalam mengawasi Sotor.

Ya, memang sejak dahulu Cakradhara tutup mata akan tingkah laku putranya. Hal tersebut yang membuat Dyah Gitarja geram. Apa pun yang terjadi, Sotor tidak berhak atas takhta Majapahit. Hanya anak dari permaisuri-lah yang berhak mendudukinya. Apalah arti selir rendahan itu. Dyah Gitarja tak akan diam apabila terdapat pihak-pihak yang berniat untuk mengusik ketentraman kerajaannya. Ah, kejadian ini mengingatkan dirinya akan sang kakak, Raden Kalagemet yang bergelar Prabu Jayanagara. Saat itu, ia hanya berstatus putra dari seorang dukan. Dewan kerajaan memaksa Permaisuri Tribhuwaneswari untuk mengangkatnya sebagai anak. Alhasil, dengan mudahnya putra dari Indreswari yang tak mumpuni itu mendapatkan gelar yuwaraja. Kebungkaman Cakradhara seolah menjadi saksi bahwa ia bukanlah menjadi yang utama. Oh, Dyah Gitarja kini semakin memahami arti dari Eka Patni Vrata.

Di bawah sana, Dhyaksa dan Sang Pamegat memulai persidangan untuk Adiwilaga. Sama seperti Sotor, Adiwilaga mengakui semua tuduhan yang ditujukan kepadanya. Pria itu juga tidak berkelit saat Dhyaksa mengatakan bahwa dirinya-lah tangan kanan Sotor yang membantu aktivitas ilegal di Hutan Nandawa dengan menggelapkan mesiu dan persenjataan dari Yuan Raya. Tidak ada keringanan ataupun saksi yang mampu meringankan hukuman yang menantinya. Ah, Adiwilaga adalah pengikut setia Sotor. Bahkan, ia tak mengeluarkan sepatah kata pun untuk membela diri. Ya, lagi-lagi, sama seperti Sotor.

Dhyaksa beranjak dari posisi duduknya. Dengan sigap, Upapatti menyerahkan Kitab Kutaramanawadharmasastra. Sebelum berbicara, ia menunduk hormat kepada sang Prabu yang menjadi saksi jalannya persidangan. "Salam hamba untuk Gusti Prabu. Maharaja Majapahit adalah Sang Amawabhumi, seseorang yang berkuasa dan penegak hukum yang tegas, sehingga kerajaan ini kini mencapai masa kejayaannya. Dalam Kitab Kutaramanawadharmasastra, terdapat sembilan belas bab, salah satu di antaranya membahas mengenai Astadusta atau delapan macam pembunuhan pada bab dua. Pasal 3 menyatakan bahwa membunuh orang yang tidak berdosa, menyuruh membunuh orang yang tidak berdosa, dan melukai orang yang tidak berdosa, maka pelaku yang melakukan salah satu atau tiga kejahatan tersebut dikenakan tebusan pati."

Seketika, aula utama Kadatwan Trowulan pun riuh. Orang-orang yang menghadiri persidangan itu menyumpahserapahi kedua tersangka. Ya, mereka patut berbahagia karena dua orang pengkhianat dituntut dengan hukuman mati. Jika tidak, maka dapat membahayakan kelangsungan Majapahit di masa mendatang.

APSARA MAJA : SANG PARAMESWARITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang