Lawatan Prabu Sri Wilwatikta tahun ini akan mengunjungi daerah-daerah di beberapa kerajaan vasal yang berada di timur dan tenggara Kotaraja Trowulan. Pada lawatan kali ini, penguasa Majapahit dibersamai oleh keluarga kerajaan dan beberapa petinggi istana. Oleh karenanya, sedari pagi abdi dalem dan paricaraka Istana Trowulan tengah disibukkan oleh beragam persiapan. Prajurit yang mengiringi rombongan tersebut terdiri dari prajurit istana, Bhayangkara, Janggala, dan Sedah.
Kemarin, Bhre Lasem dan Bhre Matahun telah sampai di pelataran istana dan menuju ke kediamannya masing-masing. Sementara Bhre Pajang dan Bhre Paguhan memasuki Istana Trowulan pagi tadi. Tak hanya itu, anggota Sapta Prabhu tertua, yaitu Bhre Daha, Bhre Wengker, Bhre Kahuripan, dan Bhre Tumapel juga mengambil bagian dalam perjalanan panjang nanti. Mereka turut serta dalam rangka puja bhakti leluhur dan acara diplomatik bagi wilayah yang sempat memberontak.
Di saat penghuni Kaputren tengah menghadapi huru hara menjelang persiapan lawatan, parameswari mereka disibukkan oleh beberapa daluang dan pena yang terbuat dari lidi aren. Ia tengah bergelut dengan rangkaian kalimat di benaknya sebelum menggoreskannya di atas daluang. Setelah menemukan kalimat yang tepat, sang dewi pun menuliskannya dalam bentuk aksara Hànrén. Ah, terlihat indah dengan warna hitam kemerahan. Sudewi tak henti-hentinya memuji mahakaryanya sendiri dengan bibir yang melengkung ke atas.
Dari arah pintu masuk kamar, datanglah Rarasati. Gadis itu menggebrak meja, sehingga Sudewi terperanjat. Ia mendengus kesal karena pena yang dirinya pakai menetes di sembarang bagian daluang. Sebelum Sudewi sempat mengeluarkan protes, Rarasati dengan sigap meletakkan sebuah benda.
"Ambillah, Dewi. Ini milikmu," ucap dayang itu sembari menunjukkan keris kecil milik Sudewi yang tertinggal di Wengker.
Sudewi menatap lekat benda itu, lalu tangannya terulur untuk mengelusnya. Seketika amarahnya pun menguap tak tersisa digantikan oleh kerutan di keningnya. "Bagaimana bisa kau menyeludupkan keris ini?" tuntut sang dewi dengan wajah penuh keingintahuan.
Rarasati mengibaskan tangannya. "Jangan kau panggil diriku Rarasati." Seketika raut Sudewi berubah menjadi merah padam. Ah, sungguh menggemaskan kala berhasil mengerjai permaisuri itu. Gelak tawa dayang tersebut menggema di penjuru ruangan. "Aku menitipkannya kepada Li Zhu."
"Li Zhu?" Alis Sudewi menukik.
Rarasati menganggukkan kepala sebagai balasan. "Kedai yang Li Zhu dan saudaranya sewa di Wengker telah habis masanya. Lagipula, permintaan gerabah tidak terlalu tinggi di sana. Akhirnya mereka memutuskan untuk kembali lagi ke kotaraja," sahut dayang kepercayaan sang Permaisuri Majapahit. "Oh, ya, Arya Maheswara juga menitipkan salam kepadamu. Kabarnya, ia akan meminang putri salah satu wiyasa."
Sontak Sudewi membelalakkan matanya. Rupanya pria idaman asal Wengker telah menemukan tambatan hatinya. Sang dewi penasaran, siapakah yang akan dinikahi oleh tangan kanan romonya? Semoga bukanlah para gadis yang terang-terangan menggoda Arya Maheswara dengan embel-embel kangmas. Mengingat hal tersebut, rasa-rasanya Sudewi kembali pada momen itu. Ah, ia sangat merindu. Rindu tanah kelahiran sekaligus masa-masa lajangnya.
Sudewi memutuskan untuk meletakkan pena pada tempatnya. Kemudian menggulung daluang yang dengan tinta yang telah mengering. Ia tahu, sebentar lagi Keswari akan memintanya keluar. Segera sang Dewi menyimpan keris di tempat tersembunyi, bersama sheng dan lontar. Sebisa mungkin benda-benda penuh kenangan tidak terjamah oleh penghuni Kaputren lainnya, terlebih sampai diketahui oleh suaminya sendiri. Bukan tak mungkin benda-benda itu akan dihancurkan tak tersisa.
Benar saja, tak butuh waktu lama, Keswari memasuki kamar sang parameswari dengan beberapa kain dan perhiasan yang dibawa oleh para paricaraka di belakangnya. Semuanya menghaturkan salam kepada istri raja tersebut. Kemudian, Keswari selaku kepala dayang di Kaputren mengambil langkah maju menuju tempat Sudewi.
KAMU SEDANG MEMBACA
APSARA MAJA : SANG PARAMESWARI
Historical Fiction-Historical Fiction- {Apsara Majapahit II} Tidak, ini bukanlah sebuah dongeng, melainkan kisah klasik abad ke-14 di sebuah kerajaan digdaya Jawadwipa antara permaisuri dan tingginya tembok istana yang bernama pengabdian. Dibalik kemahsyuran seorang...