31 | Biarlah Waktu

1.4K 127 19
                                    

"Raden Gagak Sali sangat tampan."

"Pipinya menggemaskan!"

"Rajasawangsa pastilah menawan."

Begitulah puji-pujian yang dilontarkan oleh wanita-wanita istana. Semenjak kelahirannya, pangeran cilik itu belum pernah menampakkan dirinya di Kadatwan Trowulan. Entah, sudah berapa tangan yang berusaha mencolek pipi lembutnya, tetapi kalah cepat dengan Nertaja yang segera menjauhkan bayinya. Saat ini, Raden Gagak Sali tengah berada di pangkuan Indudewi. Ah, kehadiran buah hati memanglah misteri milik semesta. Entah, kapan ia akan menganugerahi sepasang insan yang dimabuk cinta dengan seorang anak.

Nertaja tahu, sorot mata Indudewi tidak bisa berbohong, meski wanita yang bergelar Bhre Lasem itu berkata tidak apa-apa. Oh, naluri sesama perempuan berjalan dengan semestinya. Orang yang pertama kali dituju oleh Nertaja adalah Indudewi. Ia ingin berbagi kehangatan dengan kakak sepupunya tersebut. "Tidak usah kau dengarkan perkataan orang-orang, Yunda," selorohnya sembari sesekali membersihkan hidung putranya.

Indudewi mengulas senyuman manis. Putri Rajadewi itu memanglah rupawan, seperti ibunya yang merupakan keturunan langsung Sri Rajapatni. Pandangan Indudewi turun, tertuju kepada bayi yang terkikik karena memainkan gelangkana miliknya. Bhre Lasem itu mengelus pelan kepala Raden Gagak Sali yang ditumbuhi oleh rambut-rambut tipis. "Delapan tahun bukanlah waktu yang sebentar, Nertaja," balasnya, langsung menunduk agar tatapan sendunya tak terlihat oleh lawan bicaranya.

Nertaja menepuk pundak Indudewi. "Jangan khawatir, Yunda. Acintya pasti memiliki rencana indah untuk Yunda Indudewi dan Kanda Rajasawardhana." Lantas, ia mengarahkan pandangannya kepada rombongan dari Kaputren yang hendak memasuki Witana wilayah jro. "Akan selalu ada harapan, meski di saat-saat terakhir. Yunda Sudewi telah membuktikannya. Maka dari itu, bukan tak mungkin sekarang Yunda-lah gilirannya." Sungguh, meski Indudewi menyembunyikan kesedihan di balik topeng bahagianya, tetapi kepedihan itu menjalar, mengetuk hati Nertaja untuk melihat ke arah kakaknya.

Menghapus duka di wajahnya, Indudewi terkekeh. "Hampir saja aku memukuli kandamu, Nertaja. Jika tidak ada Ibunda Rajadewi, pastilah aku sudah melayangkan kepalan tangan ini untuknya," katanya sembari memperlihatkan tangan yang terkepal kuat, seperti hendak menyerang seseorang.

"Jangan, Yunda. Kau tidak tahu seberapa seramnya Kanda Hayam Wuruk jika marah." Buru-buru, Nertaja menghalaunya.

Indudewi membalasnya dengan gelengan. "Yang berhak marah adalah aku. Aku yang hampir saja kehilangan adikku, kalau saja-"

Ucapan Indudewi terhenti ketika tandu diturunkan dan menampilkan Sudewi yang berbusana serba merah tua. Perhatian orang-orang di tempat itu segera teralihkan, apalagi melihat seorang bayi perempuan yang berada dalam dekapan sang Permaisuri. Mereka menunduk penuh kehormatan, menyambut wanita yang menjadi istri Raja Majapahit. Sudewi memperhatikan betul tiap langkah yang ia lalui. Ini kali pertama dirinya mengajak Kusumawardhani keluar dari Kaputren.

"Yunda Sudewi!" Nertaja tetaplah Nertaja. Ia berubah menjadi seorang bocah ketika bertemu kakak iparnya, meski dirinya juga telah memiliki anak. "Duduklah, Yunda," pintanya dengan mengarahkan Sudewi di tempat yang telah disediakan.

Hal yang tak Sudewi tangkap adalah tatapan Indudewi yang sulit diartikan. Tak sanggup lagi bagi putri Dyah Wiyat itu menahan gejolak kerinduan. Kalau saja ia tidak mengingat Raden Gagak Sali, mungkin dirinya telah berhambur memeluk Sudewi, seperti ketika adiknya berhasil membantunya terbebas dari bawahan Arya Bagus. Itu hanyalah angan semata. Nyatanya, ia terpaku, walau bibirnya setia tersenyum. "B-bagaimana kabarmu?" Oh, hanya sebuah warta, Indudewi kelu mengatakannya. Benar, rindu mengaburkan segala hal, termasuk kemampuan berbicara yang sebenarnya adalah hal biasa.

Sudewi mengangguk. Jika semua orang langsung tertuju pada bayinya, berbeda dengan Indudewi. Sama seperti kakaknya itu, sang Dewi pun merindu. Oh, waktu berjalan tetapi mereka tak bersua. Kadang kala, jarak memang mendamaikan, tetapi menjadi sumber siksaan bagi dua saudari asal Wengker tersebut. "Aku selalu baik-baik saja, Yunda, apalagi setelah melihatmu dan Nimas Nertaja." Ah, bisakah momen ini berlangsung selamanya? Suasana ini mengingatkan mereka saat berada di Telaga Rawa Kopek.

APSARA MAJA : SANG PARAMESWARITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang