"Gusti Prabu tidak akan senang apabila mengetahui hal ini, Paduka Permaisuri."
Keswari menahan lengan Sudewi, membuktikan bahwa peringatannya tidaklah main-main. Namun, sang Dewi tak menggubrisnya, ia melepaskan cengkeraman tanpa menyakiti itu. Sudewi tahu, apa yang ia lakukan akan berpotensi menimbulkan kekacauan di masa mendatang. Cepat atau lambat, Hayam Wuruk akan mengetahui perbuatannya. Ya, ia adalah raja, semua yang ada di istana dalam kendalinya.
Namun, Sudewi tak bisa menahannya lagi. Hatinya teriris kala mendengar tangisan Aji Rajanatha. Bayi mungil itu nampaknya tengah merindukan sang ibunda. Memanglah dalam peraturan kerajaan, Sudewi adalah ibu bagi putra-putri raja. Akan tetapi, bukanlah dirinya yang membawa sang pangeran lahir ke dunia. Ikatan batin antara Sudewi dan Aji Rajanatha tak akan pernah sedekat Bawita. Darah yang mengalir antara selir itu dan putranya adalah sama, dan memang itu adanya. Oleh karena itu, sang Dewi memahami bahwa tak ada yang bisa memisahkan tali penyatu antara ibu dan anak.
Sudewi melangkahkan kaki menuju bagian belakang Kaputren. Disibakkanlah tirai yang menutupi cahaya rembulan, juga menampakkan seorang wanita yang bersimpuh. Wanita itu mendongak dengan linangan air mata. Tak memedulikan sinjang yang mulai kusut, wanita tersebut merangkak dan tepat di hadapan sang Permaisuri, ia menenggelamkan kepalanya. Dirinya memeluk kuat kaki Sudewi. Tentu saja, sang Dewi terkejut dibuatnya. Buru-buru, ia menyuruh wanitu itu untuk berdiri. Oh, ia bukanlah orang suci yang berhak memberi ampunan.
"Bawita," ujar Sudewi tak nyaman. "Berdirilah," sambungnya, ia mengisyaratkan Keswari agar membantunya. Akhirnya, Bawita mampu berdiri tegak, walau dengan badan bergetar. Mengingat hawa dingin yang menusuk kulit, Sudewi meminta Keswari untuk menuntun Bawita memasuki bangunan Kaputren, sekaligus berjaga-jaga.
Rasanya, air swargaloka menyirami sanubari Bawita yang mengering. Lihatlah, hari ini ia dipertemukan kembali dengan sang putra. Tangisan Aji Rajanatha bagaikan seloka merdu yang mampu menyentuh hati para apsara. Tangannya terulur, ingin menggapai putranya yang menggeliat tak nyaman. Bawita menoleh, sorot mata penuh pengharapan itu berpendar dan sang Parameswari-lah tujuannya. Mendapat anggukkan dari Sudewi, Bawita segera menggendong putranya dan mendekapnya bersama kasih sayang ibu. Oh, ia sungguh merindukan Aji Rajanatha. Malam-malam bagaikan kutukan dengan ratapan yang tak berujung. Kini, Sudewi mengabulkan doanya, keinginannya, dan harapannya. Air mata semakin meluruh, tak henti-henti laksana air terjun abadi. Katakan, hati ibu mana yang sanggup berpisah dengan putranya?
Sudewi mendekati Bawita dan menyentuh seraya menyentuh bahunya. Tubuh sang selir yang lebih tinggi darinya membuat sang Dewi sedikit kesusahan. Beruntunglah rambut hitam panjang milik Bawita disanggul membentuk gelung kekendon, meski anak rambut menyelinap keluar. Dapat sang Dewi rasakan getaran dari tubuh Bawita. Isakannya tertahan, seakan sungkan membangunkan malam dan menggantinya dengan siang. "Tenanglah, Bawita." Sayangnya, hanya itu yang sanggup Sudewi ucapkan. Bibirnya seketika kelu mendapati tatapan sarat kerinduan dari kedua mata Bawita dan anaknya. Ah, apakah ini yang dirasakan Biyung saat harus meninggalkannya? Jujur saja, Sudewi tak bisa menyangkal bahwa dirinya pernah berada di posisi Aji Rajanatha. Ya, walau bayi kecil itu belum bisa berbicara, tetapi melalui kedua matanyalah ia berucap. Sudewi tahu, keduanya merindu. Tak masalah, itu adalah perasaan yang sah dimiliki oleh setiap manusia.
Kini, Bawita menjelma sebagai Biyung dan Sudewi-lah yang menjadi Rajadewi Maharajasa.
Sudewi membiarkan Bawita bersama putranya. Perlahan, senyumnya mengembang. Ingatan membawa pada masa lalu, di mana ia dapat merasakan hangatnya rengkuhan Biyung. Ah, ternyata Sudewi pun merindu. Dengan kedua netra yang berperang melawan gulita, sang Dewi memerhatikan keduanya. Kini, rengekan Aji Rajanatha berganti gelak tawa, persis seperti Kusumawardhani. Sang Dewi mengalihkan pandangannya ke sebuah kamar dengan pintu tertutup. Di kamar itulah, putrinya terlelap. Lalu, Sudewi menatap ke arah jendela, tak ada pergerakan mencurigakan di luar.
KAMU SEDANG MEMBACA
APSARA MAJA : SANG PARAMESWARI
Historical Fiction-Historical Fiction- {Apsara Majapahit II} Tidak, ini bukanlah sebuah dongeng, melainkan kisah klasik abad ke-14 di sebuah kerajaan digdaya Jawadwipa antara permaisuri dan tingginya tembok istana yang bernama pengabdian. Dibalik kemahsyuran seorang...