14 | Hanya Sudewi

1.4K 141 113
                                    

"Sudewi."

Panggilan yang mengalun lembut di telinga Sudewi pun mendengung, seakan mengetuk si empu untuk membuka matanya. Perlahan, ia mengerjap. Ah, mengapa suasana ini amat asing baginya. Desiran angin yang cukup kuat menyisir bulu roma sang Dewi. Dengarlah suara sayup-sayup yang seolah mengajaknya untuk bergabung. Oh, persis seperti lantunan sheng yang dimainkan oleh Sagara. Bahkan pria itu pernah mengajarinya untuk mengenang sang Ibunda. Sudewi pun beranjak dari posisi duduknya. Dahinya mengernyit. Bukankah telapak kakinya tengah terluka? Mengapa ia dapat berdiri dengan sempurna? Bahkan tanpa keluhan apa pun. Sudewi mengangkat salah satu kakinya. Benar, lukanya secara ajaib menghilang begitu saja.

Demi menuntaskan rasa penasarannya, sang Dewi melangkahkan kakinya maju. Suara berisik itu semakin gaduh. Terdengar seperti deburan ombak yang menerjang karang. Ah, karang yang malang. Ia tak memiliki satu kesalahan pun, tetapi harus menerima takdirnya sedemikian rupa. Burung-burung saling berkicau, bersahutan memamerkan suara merdunya, seakan menyambut kedatangan Sudewi. Permaisuri itu terperangah. Semuanya nampak nyata, pantai, ombak, buih, dan laut yang membiaskan biru. Mereka berpadu padan, memanjakan kelereng cokelat yang bersarang di wajah jelita sang Dewi. Oh, Sudewi amat mengenali situasi ini. Namun, mengapa ia bisa sampai di pantai, sedangkan dirinya baru saja berbincang dengan Ra Kebo di pinggir aliran air yang amat kecil. Semua hal terasa tak masuk akal.

"Sudewi."

Panggilan itu merangsang sang Dewi untuk menolehkan wajah. Namun, ia tak melihat satu manusia pun selain dirinya. Sudewi tergugah untuk menemukan pemilik suara lembut itu. Sang Dewi mengikuti alunan yang pernah ia mainkan. Bibirnya bersenandung ria. Tak lama, tidak jauh dari posisinya, terdapat seorang wanita yang menggunakan busana serba putih membelakangi dirinya. "Kau memanggilku?" Pertanyaan itu seketika Sudewi lontarkan, bahkan ia tak menyadari itu. Semuanya terkesan tiba-tiba. Pikiran Sudewi seakan berhenti.

Wanita itu menoleh. "Benar, Putriku."

Napas Sudewi tercekat. Wajah yang sangat ia kenali terpampang jelas di matanya. "Bi-biyung," lirihnya terbata. Tanpa pikir panjang, ia mendekati sosok yang dirindukannya. Sudewi merengkuh tubuh ibundanya. Rasanya masih sama, hangat dan menenangkan. Dahulu, ketika terakhir kali bertemu, tinggi sang Dewi hanya sebatas lengannya saja, tetapi saat ini, mereka dapat saling menenggelamkan kepala di antara lekukan leher. Sudewi mendekapnya erat. Ah, mengapa ibunya terasa nyata, bahkan sangat nyata untuk sebuah mimpi. Isakan muncul di bibir sang Dewi. Ia sungguh tidak tahan apabila harus menahannya.

Sri Ratih mengurai pelukannya. Ia menangkup wajah sang Putri yang saat ini telah sejajar dengannya. "Mengapa kau menangis?" Ia menyeka air mata Sudewi yang mengalir deras. "Adakah yang melukaimu? Katakanlah padaku," pintanya dengan tenang. Ya, setenang karang walau diancam oleh ganasnya bena.

Sudewi mengangguk. "Ya, Biyung." Ia menggigit bibir bawahnya agar suara yang dikeluarkan tidak bergetar. "Takdir, ia begitu kejam terhadapku," adunya layaknya seorang putri kecil yang terluka kepada ibunya. "Katakan padanya, Biyung, bahwa putrimu tidak sanggup untuk menopangnya."

Sri Ratih menggapai tangan sang Putri. Ah, mengapa bisa sedingin ini? Ia menatap Sudewi lamat-lamat, terpancar sebuah kejujuran yang tidak bisa sang Dewi tutupi. "Dahulu ada seorang putri yang dengan berani menantang anak laki-laki badung di Keraton Wengker sembari berteriak, 'aku Sudewi, tak akan pernah takut denganmu, akulah putri Raden Wijayarajasa Bhre Wengker!' Begitulah ucapannya. Bagaimana bisa aku tak terpukau dengan tekadnya yang setegar karang?" Sri Ratih berbicara dengan menirukan gaya khas anak-anak. "Di mana Putri Sudewi yang pemberani itu?" Ia menggoyang-goyangkan tubuh sang Dewi.

Sudewi tersenyum miris. "Nampaknya ia telah mati, Biyung," gumamnya kecil, bahkan angin pun sanggup menerbangkannya.

Sri Ratih menggeleng sembari meremas kuat tangan Sudewi. "Tidak, Putriku. Kau masihlah Sudewi, sampai kapan pun, kau tetaplah dirimu. Kau adalah putriku," sanggahnya. Ia melayangkan tatapan tidak setuju kepada sang Dewi.

APSARA MAJA : SANG PARAMESWARITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang