Tiada sempat untuk bersenang-senang, bahkan harus meninggalkan padepokannya. Tiada lagi waktu untuk nyantrik atau sekadar bertemu teman dan gurunya. Gapura yang menjadi batas ibu kota Wengker seakan mengucapkan selamat tinggal. Rajamarga pun menjadi saksi bisu setiap pemuda itu memacu kudanya dan hanya menyisakan debu yang mengepul tinggi. Ya, ialah Sagara. Tidak asing baginya melewati jalanan yang ia lalui untuk mengabdi. Biasanya, Sagara akan meninggalkan Wengker untuk menunaikan tugas menjaga kedaulatan Wilwatikta bersama wwang jaladhi. Namun, saat ini terasa amat berbeda. Beban yang disangganya tak seberat dahulu, tetapi bukan berarti bertambah ringan.
Setidaknya, sekarang Sagara tak menikmati perjalannya menuju kotaraja seorang diri. Li Zhu dengan senang hati menemaninya. Bukan tanpa alasan Sagara mengajak temannya itu. Jika terjadi sesuatu hal yang tidak mengenakkan atau di luar dugaannya, ia bisa meminta Li Zhu untuk memberi kabar kepada Arya Maheswara dan Rarasati. Belum lagi, nantinya di pelabuhan sentra Majapahit itu, Sagara juga berpeluang bertemu dengan Panji Angraksaji dan Panji Margabhaya.
Perjalanan menuju tempat tujuan menghabiskan waktu satu hari satu malam. Memasuki kawasan pelabuhan, mereka disambut oleh hiruk-pikuk orang-orang yang baru saja turun dari kapal dengan barang dagangan mereka. Sagara dan Li Zhu harus menepi ketika prajurit Istana Trowulan membelah kerumunan agar tak menutupi jalan. Sagara tak sengaja menangkap barang-barang yang para prajurit itu bawa. Ah, ternyata dari Yuan Raya. Sagara memberikan kode dengan gerakan kepala kepada Li Zhu. Segera, pria bermata sipit itu menengok ke arah yang ditunjukkan temannya, kemudian mengangguk paham.
Rombongan para prajurit telah berlalu, kini Sagara dapat menyapu pandang ke segala arah, hingga tibalah sorot matanya tertuju pada seorang pria yang melambaikan tangannya. Ya, siapa lagi kalau bukan Satya, teman seperjuangan saat Sagara masih tergabung dalam wwang jaladhi. Bergegaslah Sagara dan Li Zhu menghampiri Satya. Beberapa anggota wwang jaladhi berada di tempat itu. Yang patut Sagara syukuri adalah tak satu pun dari mereka yang menghiraukan keberadaannya.
"Aku tahu kau akan kembali," seloroh Satya saat Sagara berada di hadapannya. Jujur saja, Satya sedikit terkejut melihat pria itu ada di kotaraja.
Sagara mengatur napasnya. Pagi itu terasa lebih panas dari biasanya. Ah, mungkin hujan lebat akan turun sebentar lagi. "Aku tidak pergi ke mana pun, Satya."
Satya mengangkat salah satu alisnya, seolah meminta penjelasan lebih. "Tidak mungkin kau tak memiliki tujuan untuk datang ke mari. Jarak antara Wengker dan Trowulan tidaklah sedekat itu jika kau hanya bersenda gurau di sini," tukas pria tersebut keheranan.
"Aku ingin bertemu dengan Laksamana Nala. Apakah ia sedang berada di Canggu?" tembak Sagara langsung, tanpa tedeng aling-aling.
"Untuk apa?" Sorot mata Satya menyiratkan bahwa ia benar-benar membutuhkan kejelasan.
"Aku tidak bisa memberitahumu sekarang, Satya," ucap Sagara mencoba meyakinkan temannya. "Kau tidak mengenalku sebagai teman kemarin sore. Kau mengerti diriku dan aku percaya padamu. Kumohon, pertemukanlah diriku dengan Rakryan Tumenggung." Sagara tak berniat merahasiakan apa yang terjadi di Wengker. Namun, sebelum Mpu Lembu Nala mengetahui kebenarannya, Sagara harus menutup mulut agar berita simpang-siur tak merebak di ibu kota kerajaan itu.
Satya mengangguk. Perdebatan tak penting tidaklah dibutuhkan. Benar kata Sagara, mereka berteman sejak usia belia. Satya sangat mengenali bagaimana perangai Sagara, begitupun sebaliknya. Ah, terlalu dini menyimpulkan bahwa Sagara berniat bergabung kembali bersama wwang jaladhi. Satya hampir melupakan sifat keras kepala temannya. Kemudian, ia mengantarkan Sagara menemui Mpu Lembu Nala, meninggalkan Li Zhu yang berjaga di pintu masuk pelabuhan.
Sagara melewati beberapa orang wwang jaladhi yang dulunya merupakan rekan kerja. Tak satu pun dari mereka yang sudi menyapa pria tersebut. Sagara memakluminya. Apa yang diharapkan dari seseorang yang hampir saja terseret dalam pusaran para pengkhianat dan dipecat secara tidak terhormat? Oh, Sagara kini melapangkan dada. Tak apa, bukan masalah baginya. Tatapan teman-temannya tak akan menyurutkan niatnya. Sagara tahu, pengabdian tidaklah sekadar bekerja saja, tetapi melakukannya dengan sepenuh hati. Ia yakin, suatu saat nanti, ketika kebenaran benar-benar tersaji di depan mata, maka pandangan mereka pun berubah.
KAMU SEDANG MEMBACA
APSARA MAJA : SANG PARAMESWARI
Tiểu thuyết Lịch sử-Historical Fiction- {Apsara Majapahit II} Tidak, ini bukanlah sebuah dongeng, melainkan kisah klasik abad ke-14 di sebuah kerajaan digdaya Jawadwipa antara permaisuri dan tingginya tembok istana yang bernama pengabdian. Dibalik kemahsyuran seorang...