50 | Harga Kebebasan

792 85 23
                                    

1291 Saka

Bara api yang membumbung menjadi saksi bisu kebungkaman Sudewi. Daluang-daluang terbakar hangus, tak bersisa. Entah, surat keberapa yang ia lenyapkan. Berat, sungguh berat menyembunyikan sesuatu. Tiap malam, meski dalam mimpi pun, kejadian buruk selalu menghantuinya. Dalam pekatnya gulita, Sudewi selalu menyisipkan doa agar romonya berhenti mengikuti angkara murka. Wengker dan Majapahit bukanlah pilihan, keduanya saling melengkapi dalam hidup Sudewi. Untuk itu, ia tak bisa memilih salah satunya. Jujur saja, dirinya tak siap apabila nanti pasukan Wilwatikta menggempur habis-habisan tanah kelahirannya. Terlalu banyak kenangan di sana, juga orang-orang yang ia sayangi. Sebuah ketidakadilan jika rakyat Wengker-lah yang membayar ulah romonya dan Adiwilaga.

Rarasati, nama itu terus membayanginya. Tanpanya, sang Dewi buta akan kondisi di Keraton Wengker dan ambisi ayahnya. Hal yang mengejutkan lainnya adalah Sagara. Sang Dewi pikir, pria itu telah menjauh, membangun kehidupan baru. Akan tetapi, nyatanya Sagara mengambil peran. Pria itu benar-benar nekat melakukan perjalanan panjang hingga timur Jawadwipa. Dari kejauhan, Sudewi hanya bisa mendoakan. Saat ini, teman-temannya bergerak, dengan perannya masing-masing. Justru dirinya yang tenggelam dalam jurang kegundahan, tak berujung dan tak memiliki titik temu. Benarlah, diam tak menyelesaikan masalah.

Sudewi memejamkan mata, membiarkan angin malam menyapanya, menyentuh setiap jengkal lengan yang tak terlindungi kain. Biarlah, dingin pun enggan mengusiknya. Surat terakhir, ia lemparkan ke dalam api, menjadi abulah benda tak bernyawa itu. Oh, bisakah ia berandai? Sebentar saja, Sudewi ingin mengenang masa kecilnya di Wengker. Sungguh, ia rindu segalanya. Tak ada lagi senyuman, tarian, dan gelak tawa yang dahulu menjadi makanan sehari-hari. Pun, rasa-rasanya ia juga merindukan bagaimana dirinya berlatih panah dan menggunakan pedang. Ah, Sudewi tak menyangkal, semua itu berkat Kudamerta. Ayahnya tak melarangnya sama sekali, meski dirinya adalah seorang putri.

Lagi-lagi, persimpangan dipenuhi oleh kabut dan Sudewi terjebak di dalamnya. Satu tetes air mata meluncur bebas pertanda bahwa tak sanggup lagi menahan. Pertahanannya goyah. Benar, ia hanyalah manusia, dirinya memiliki keterbatasan. Menjadi permaisuri tak lantas membuatnya sakti layaknya seorang dewi. Ketakutan mulai menghinggapi, memaksa masuk sekaligus menggerus keberanian. Di titik inilah, Sudewi mulai meragu—sesuatu yang menjadi musuh terbesarnya. 

Sayup-sayup, Sudewi mendengar langkah yang tergesa-gesa, jelas dari binggel yang orang itu pakai. Sontak, sang Dewi membuka matanya, lalu berbalik badan. Ia cukup terperanjat saat mendapati Keswari berada di hadapannya dengan terengah-engah. Nampaknya, dayang senior itu baru saja berlari kencang. Oh, apa gerangan yang terjadi? Jangan katakan hal tersebut kembali menambah beban di pundaknya. Sudewi berjalan mendekat, menyentuh lengan wanita paruh baya yang hampir limbung itu. Keswari terlihat sangat ketakutan, itulah yang mendorong Sudewi untuk bertanya.

"Mbok—"

"Selir Bawita."

Menyadari bahwa kabar buruk yang akan diterima, sang Dewi buru-buru beranjak. Seharusnya malam ini adalah jadwal kunjungan untuk Bawita, tetapi selir itu tak kunjung menampakkan diri. Sudewi berlari serampangan. Persetan dengan tata krama sebagai permaisuri. Ia dilanda beribu kekalutan. Situasi ini mengingatkan dirinya pada Gajah Mada. Para dayang mengekori, mereka cukup kesulitan mengimbangi langkah sang Parameswari. Entahlah, dari mana kekuatan dan kecepatan yang wanita itu dapatkan. Malam gulita itu pun semakin dipenuhi oleh kabut. Tak ada sinar rembulan dan lintang, di atas sana hanyalah langit tanpa hiasan. Firasat buruk terus mengambil alih pikiran sang Dewi. Sebuah bisikan mengisyaratkannya agar bergerak cepat.

Di kediaman selir, paricaraka-paricaraka yang bertugas hanya bisa menunduk, diiringi oleh tangis Garini. Sudewi mencengkeram kainnya, hatinya terusik oleh suara itu. Sampailah pada pemandangan yang tak ia sangka. Bawita yang tak berdaya mengayunkan tangannya agar Sudewi mendekat. Sebuah kekurangajaran apabila menyuruh seorang permaisuri, tetapi hanya itulah yang bisa Bawita lakukan. Sudewi mendekat, tangannya menggenggam sang selir, seperti kala ia menguatkan Bawita sewaktu melahirkan Aji Rajanatha. Tatapan kedua wanita itu beradu, Garini dan Keswari mengambil langkah mundur. Biarlah mereka menyelesaikan apa yang seharusnya ditunaikan.

APSARA MAJA : SANG PARAMESWARITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang