28 | Tanpa Keraguan

1.3K 145 186
                                    

Sikap tegas diambil oleh Kudamerta dan Dyah Wiyat. Beberapa hari telah berlalu, mereka tetap mempertimbangkan kemungkinan untuk membawa serta Sudewi. Sebelum mereka bertolak ke kerajaan masing-masing, pasangan suami-istri itu meminta menantunya bertemu secara tertutup. Kudamerta sengaja tidak melibatkan Sudewi. Putrinya tengah mengandung, ia tidak ingin apabila terdapat perkataan-perkataan yang nantinya melukai hati sang Permaisuri. Pertemuan tersebut dikabulkan oleh sang Prabu.

Kudamerta mengambil napas dalam-dalam. Ia tahu, keputusannya akan berdampak bagi hubungan Wengker dan Majapahit di masa mendatang. "Salam, Gusti Prabu," ucapnya tenang. "Putri saya, Sude ... mohon ampun, maksud saya adalah Gusti Parameswari sebaiknya meninggalkan Kadatwan Trowulan."

"Mengapa?" Hayam Wuruk menaikkan salah satu alisnya. Ia berusaha setenang mungkin, walau hatinya berdegup kencang. Jujur saja, hubungannya dengan Sudewi semakin kacau semenjak hadirnya desas-desus.

"Paduka Permaisuri tengah mengandung. Wanita yang berbadan dua membutuhkan ketenangan. Dan saya rasa ... istana ini tidak bisa memberikan hal tersebut kepadanya." Dyah Wiyat menimpali. "Sebelum menjadi Parameswari Wilwatikta, Gusti Permaisuri adalah putri kami. Anda tidak perlu khawatir karena terdapat dua tempat untuk Paduka Permaisuri bernaung. Wengker dan Daha bukanlah tempat asing bagi Anda. Anda bisa memercayakan keselamatan Gusti Permaisuri dan bayinya kepada kami." Suara Dyah Wiyat mengalir laksana aliran air sungai yang lancar, tanpa hambatan.

"Sudewi adalah istri saya," sanggah Hayam Wuruk dengan tegas.

"Seorang istri adalah pakaian bagi suaminya, Paduka Prabu. Mengapa Anda rela orang-orang melucuti pakaian Anda di depan umum?" Kudamerta tidak menyerah untuk menyerukan keadilan bagi putrinya. Ya, seperti Sudewi yang tak kenal lelah mempertahankan harga dirinya sebagai Bhre Wengker di mata kerajaan induk dengan segala kedigdayaannya. Bayangkan, jika saat polemik upeti Sudewi melepaskan tangan ayahandanya, bukan tidak mungkin Wengker menjadi bahan cemoohan bagi para petinggi Majapahit. "Saat ini, yang menjadi pertimbangan kita adalah kondisi Gusti Permaisuri dan kandungannya, bukan hal lain. Apabila Gusti Prabu tidak sanggup menjaga putri kami dan kehormatannya, maka kami siap untuk menerimanya, kapan pun itu." Ya, pintu keratonnya akan selalu terbuka bagi sang Dewi. Setelah menikahi Raja Majapahit, tak sekali pun Sudewi bertandang ke Wengker maupun Daha. Wanita itu terkurung dalam gemerlap istana raja yang terlihat indah dari luar, tetapi mengerikan di dalam.

Hayam Wuruk menunduk. Memori persidangan teriang-iang dibenaknya, juga pertanyaan Gajah Mada. Citra atau Sita? Ah, ia seperti Sri Rama yang tengah dilanda kekalutan. Jika titisan Dewa Wishnu itu memilih untuk mengasingkan istrinya sebagai pembuktian kesucian, apakah ia juga akan menempuh jalan yang sama? Bahkan hingga kini, sang Prabu belum mengumumkan secara resmi mengenai kehamilan permaisurinya. Oh, hal tersebut semakin nyata saja. Kala Dewi Sita diasingkan, ia dalam kondisi berbadan dua. Beruntunglah Resi Walmiki memberinya tempat berlindung sekaligus mengajarkan anak-anak Sita menjadi pemuda yang tangguh.

"Bagaimana, Paduka Prabu?"

Teguran Kudamerta menyentak Hayam Wuruk dari lamunan. Penguasa Majapahit itu mendongak, menatap lurus netra Bhre Wengker yang menyipit. Oh, ruangan luas ini terasa pengap, walau udara hanya diperebutkan oleh tiga manusia saja. Ya, pada pertemuannya ini, tidak dihadiri oleh Gajah Mada dan Dyah Gitarja.

"Bukankah membiarkan Gusti Paduka Sori mendengar berita-berita buruk tentangnya di istana ini dapat membahayakan kandungan? Ingat, Prabu Sri Nata Wilwatikta, Anda telah menyetujui hukuman berupa tebusan pati untuk putri kami. Namun, terpaksa ditangguhkan karena Raden Sotor dan Bekel Adiwilaga melarikan diri. Apakah itu berarti setelah melahirkan bayinya, Anda akan tetap merenggut nyawa seorang ibu?" Dyah Wiyat mulai kehilangan kesabaran. "Jika Anda masihlah berpendirian teguh dengan keputusan itu, maka saya tidak segan-segan memerintahkan Daha untuk mengambil paksa putri kami, dengan atau tanpa persetujuan Anda."

APSARA MAJA : SANG PARAMESWARITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang