18 | Teka-teki

1.1K 114 28
                                    

Rarasati berjalan penuh kehati-hatian. Wanita berbusana hitam itu memutuskan untuk memata-matai Adiwilaga yang baru saja ke luar dari Kaputren. Rasa penasaran yang tinggi dan kekhawatiran kepada Sudewi, membuat dayang tersebut memantapkan niatnya. Ia tahu, langkah yang ia ambil cukup berbahaya, apalagi jika sampai Adiwilaga ataupun anak buahnya memergoki dirinya. Rarasati membuang jauh-jauh ketakutan, lalu melapisi tekadnya agar kuat seperti baja. Ya, ia harus selangkah lebih maju dari bedebah itu demi keselamatan sang Permaisuri.

Adiwilaga memacu kudanya menjauhi Istana Trowulan. Di belakangnya, Rarasati mengekori. Paricaraka itu memberi jarak agar Adiwilaga tak mencurigainya. Pun, Rarasati beruntung situasi rajamarga yang ramai karena lalu lalang pedagang dan para sais. Hal tersebut membuatnya mudah untuk berkamuflase. Ia menunduk kala Adiwilaga menoleh. Sebisa mungkin, dirinya terlihat seperti orang biasa yang tengah berkuda, meski busananya terlalu gelap untuk siang yang terik. Ah, sang surya masihlah berada di atas kepala, tetapi bedebah itu tidak ada takutnya. Rarasati bergumam kecil, untuk ukuran bekel, ia akui bahwa Adiwilaga cukup berani. Tugasnya untuk menjaga Kaputren saja dengan mudah ia lalaikan.

Memasuki wilayah hutan, suasana berubah sunyi. Hanya terdengar burung-burung yang berkicau, sahut-menyahut seolah menyambut kedatangan tamu tak diundang. Kondisi semak belukar yang rapat, membuat Adiwilaga turun dari kudanya. Setelah mengikat kudanya di salah satu pohon, ia melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Begitu pula dengan Rarasati. Suara berisik yang ditimbulkan oleh kuda bisa saja tertangkap jelas di telinga Adiwilaga. Rarasati bersembunyi di balik satu pohon ke pohon lain tanpa bersuara. Ia sengaja melepas gamparan yang ia pakai demi memperkecil bunyi gesekan yang ditimbulkan antara telapak kakinya dan tanah.

Tak butuh waktu lama, Adiwilaga sampai di depan sebuah gubuk. Pria itu memasukinya, lalu menutup pintunya rapat. Rarasati mengedarkan pandangannya ke segala arah, memastikan bahwa tidak ada orang lain yang bersembunyi. Jujur saja, ia sempat ragu untuk melangkah maju karena ingatannya yang mencoba melempar dayang tersebut ke masa lalu. Gubuk itu mengingatkan dirinya pada masa di mana ia dan Arya Maheswara membantu Sudewi melarikan diri. Rarasati masih teringat betul kala mereka dikejar-kejar oleh pasukan yang tak lain adalah prajurit Lasem yang dipimpin oleh Indudewi. Namun, Rarasati segera menepisnya. Matanya bergerak liar. Tak mungkin bagi Adiwilaga untuk beraksi sendirian. Pria itu pastilah memiliki anak buah, meski jumlah mereka berkurang banyak karena berhasil tertangkap oleh prajurit Bhayangkara.

Rarasati merapalkan doa, berharap tidak ada satu pun orang yang melihatnya. Saat ini, ia berada di samping jendela gubuk. Beruntunglah dayang itu dapat melihat aktivitas yang dilakukan Adiwilaga karena jendela itu tidak benar-benar tertutup sempurna. Mata Rarasati menyipit. Nampak tubuh Adiwilaga yang memunggunginya. Pria itu seperti sedang menulis sesuatu. Terlihat dari bayangan dan tangannya yang bergerak berirama.

Rarasati terperanjat ketika mendengar suara beberapa orang tengah bercengkrama. Ia mulai bertanya-tanya. Bukankah hanya dirinya dan Adiwilaga saja di tempat itu? Ya, Rarasati yakin sekali. Ia bahkan telah memastikan situasi aman berkali-kali. Lantas, ia menoleh ke arah Adiwilaga. Pria itu tetap setia pada kegiatannya. Hal tersebut membuat tubuh Rarasati bergemetar. Segera ia mencari tempat untuk bersembunyi.

Berulang kali Rarasati menggerutu. Jika terlalu jauh, maka ia tidak dapat mendengar percakapan mereka nanti. Terlintas ide gila yang terinspirasi dari Sudewi. Dayang itu akan memasuki gubuk saat Adiwilaga menyambut rekan-rekannya. Ya, meskipun tergolong nekat, tetapi tak ada tempat lain di luar gubuk. Ditakutkan jikalau mereka membawa pasukan, akan menyulitkan bagi Rarasati untuk bergerak.

Rarasati berdiri, menghimpit dinding gubuk yang terbuat dari anyaman. Beruntung, kondisi gubuk yang masih bagus tak membuat orang di dalamnya memiliki celah untuk mencuri-curi pandang. Rarasati menahan helaan napas. Sebisa mungkin, ia harus tenang. Lalu, digigitnya bibir bawah demi meredam getaran yang menjalar hingga mengakibatkan suara tak diundang. Mereka mendekat. Entah, kegundahan ini tak kunjung berangsur, malah semakin nyata nan menyiksa.

APSARA MAJA : SANG PARAMESWARITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang