1287 Saka
Paricaraka dan abdi dalem berlalu lalang membawa baki yang diatasnya terdapat bebungaan dan lilin yang menyala. Ketika matahari merangkak naik, mereka disibukkan dengan persiapan menjelang upacara suci. Istana Trowulan menjadi saksi bisu. Di tempat itu, sejarah kembali tertoreh. Semua mata tertuju pada rombongan yang memasuki Gopura Siwak. Lihatlah, calon mempelai pria telah tiba. Deru angin membawa sebuah kisah yang akan mengantarkannya kepada pendamping hidup. Memanglah takdir sudah digariskan melalui keputusan sang Maharaja. Tiada yang sanggup menyangkal, perjodohan antara Dyah Kusumawardhani dan Raden Gagak Sali akan terlaksana hari ini.
Pada pertemuan yang melibatkan seluruh petinggi Majapahit, sang Prabu mengutarakan niatannya untuk menunjuk pewarisnya secara langsung. Untuk menghindari pertikaian di masa mendatang, terpilihlah putra Bhre Paguhan dan Bhre Pajang menjadi menantunya. Nantinya, darah yang mengalir pada keturunannya adalah murni Rajasawangsa. Maka, tiada keraguan untuknya. Ah, Hayam Wuruk telah menimbangnya sematang mungkin. Baik dewan kerajaan, Puruhita, dan Sapta Prabhu menyambut baik keputusan itu. Kejadian di masa lalu mengajarkan mereka bahwa menunjuk pewaris sedini mungkin dapat mencegah perebutan takhta di masa depan. Juga sebagai penguat agar keturunan dari permaisuri yang bertakhta menjadi pewaris sah. Pun, bukanlah anak dari seorang selir.
Raden Gagak Sali yang berusia lima tahun itu menggandeng tangan Nertaja dengan erat saat mereka memasuki Siti Hinggil. Pangeran kecil tersebut berusia dua tahun lebih tua dari Kusumawardhani. Meskipun masih berusia belia, parasnya sungguh menawan. Ia mewarisi ketampanan dari sang ayah, Raden Sumana Bhre Paguhan. Adapun ia memiliki bulu mata lentik yang khas dengan Nertaja, ibunya. Rombongan keluarga kerajaan itu disambut hangat oleh Ibu Suri Dyah Gitarja dan Dyah Wiyat. Antusiasme mereka terlihat ketika berlomba-lomba ingin menggendong cucu mereka. Nertaja menatap sekeliling. Tak ia lihat kakak-kakaknya di sana. Rasa penasaran itu tertahan kala Dyah Gitarja dan Dyah Wiyat memberondonginya dengan berbagai pertanyaan. Lain halnya dengan Raden Sumana, pria itu segera menuju ke aula utama bersama Raden Cakradhara dan Raden Kudamerta. Di sanalah, perjodohan sekaligus pengukuhan Kusumawardhani menjadi putri mahkota Kerajaan Majapahit digelar.
Keriuhan dan semangat menggelora yang ditampilkan oleh orang-orang di istana berbanding terbalik dengan kegundahan Sudewi. Setelah membersihkan diri di patotoyan, ia justru mengenakan busana biasa, bukanlah Mahabhusana Rajakaputrian Wilwatiktapura. Hal itulah yang menarik atensi dari para dayang yang melayaninya, tak terkecuali Keswari. Dayang senior itu mendekati sang Parameswari dengan langkah hati-hati. Ia berdehem pelan, tetapi sama sekali tak dihiraukan oleh Sudewi. Permaisuri tersebut bergeming sembari melihat bunga-bunga yang bermekaran di kediamannya.
"Gusti Paduka Sori ..." Keswari memanggilnya dengan nada lembut. Menyadari tak ada tanggapan dari Sudewi, Keswari menyentuh lengannya pelan.
Sudewi bergidik karena sentuhan tiba-tiba bak sengatan serangga itu. Wajah cantiknya menoleh, melihat Keswari dengan tatapan bingung. "A-ada apa, Mbok?" tanyanya terbata.
Keswari sedikit menunduk, segan menatap langsung istri raja itu. "Gusti Putri telah siap. Akan lebih baik jika Gusti Parameswari juga bersiap. Upacara suci akan dimulai sebentar lagi." Keswari menerangkan dengan suara rendah. "Begitupun dengan rombongan dari Paguhan dan Pajang yang telah memenuhi pelataran. Mereka sangat menantikan momen ini, Paduka Permaisuri."
Sudewi mengulum bibirnya. Tak ada niatan untuk meninggalkan tempat paling nyaman di Kadatwan Trowulan tersebut. Bukannya tak mengetahui huru-hara di istana, tetapi sang Dewi memilih untuk berdiam diri. Bukan tanpa alasan, ia sungguh dirundung ketakutan. Keputusan Hayam Wuruk untuk menjodohkan putri mereka dengan Raden Gagak Sali terkesan tiba-tiba. Kabarnya, Hayam Wuruk telah membahasnya terlebih dahulu bersama Sapta Prabhu. Sialnya, Sudewi bukanlah anggota dari Dewan Perimbangan Agung Wilwatikta. Otomatis, dirinya tidak diperkenankan ikut serta, meski gelarnya sebagai permaisuri raja. Di sinilah, sang Dewi mereka terpinggirkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
APSARA MAJA : SANG PARAMESWARI
Historyczne-Historical Fiction- {Apsara Majapahit II} Tidak, ini bukanlah sebuah dongeng, melainkan kisah klasik abad ke-14 di sebuah kerajaan digdaya Jawadwipa antara permaisuri dan tingginya tembok istana yang bernama pengabdian. Dibalik kemahsyuran seorang...