Bawita terdiam, diarahkannya tatapan pada jari jemari yang saling bermain. Di ujung persimpangan, ia dihadapkan pada pilihan. Seharusnya, dirinya memanglah harus bersiap. Berhasil menjadi wanita raja sekaligus mewujudkan mimpinya tinggal di Istana Trowulan tak lepas dari peranan Adiwilaga dan Raden Sotor. Tidak mungkin para petinggi Tumapel memilihnya sebagai perwakilan, mengingat ada banyak wanita yang jauh lebih unggul darinya. Benarlah dirinya adalah wanita bangsawan dan putri dari seorang akuwu, tetapi hal tersebut tak menjamin apa pun. Gemetarlah Bawita kala mengingat janjinya dahulu. Ya, janji yang entah tersanggupi.
"Tiga tahun, Bawita." Seorang pria yang mengenakan pakaian khas prajurit menggeram pelan. Matanya menyapu keadaan sekitar, memastikan tidak ada siapa pun yang memergokinya. "Apakah kau ingin meminta pemakluman lagi?" Sindiran itu tertuju tepat kepada sang selir.
Namun, Bawita tak menjawabnya. Bibirnya terlalu kelu untuk mengeluarkan sepatah kata.
Pria tersebut mendengus kasar. "Apa perlu kau meminjam mulutku?" Alisnya terangkat, memancing Bawita agar bersuara. "Gusti Prabu pasti akan tertarik denganmu," samburnya dengan seringai di wajah.
Bawita yang sedari tadi duduk pun beranjak. "Jangan sekali-kali kau menemui Paduka Prabu." Bahaya akan terjadi apabila Hayam Wuruk mengetahui rencana mereka. Tindakan tersebut dapat dinamakan dengan bunuh diri. Namun, perkataannya hanyalah angin lalu belaka. Nyatanya, Bawita mengatakannya dengan jantung berdebar. Benarlah ia membalas tatapan pria yang menjulang tinggi di hadapannya. Akan tetapi, rasa-rasanya ia hampir mati. Suasana pun mendukung hingga air mata ikut menetes. Ah, dramatis sekali, Bawita tak menampiknya.
"Bukankah itu tujuanmu? Membuat Yang Mulia Sri Rajasanagara mengalihkan pandangannya kepadamu? Alih-alih kepada Gusti Parameswari?" Pria yang menyamar sebagai salah satu prajurit kediaman selir menekan Bawita dengan angan-angan yang sulit terwujudkan. "Semua bisa kau dapatkan dengan cara menyingkirkan Paduka Permaisuri," lanjutnya. Ia sempat memundurkan tubuhnya agar tertutupi oleh tembok saat melihat sekelebat prajurit. "Apa yang menghalangimu?" Ia kembali mendesak yang membuat Bawita kelimpungan.
Bawita mengusap air matanya. Teringatlah ia pada pertemuan pertama dengan sang Maharaja. Tatapan sang Prabu sekaligus tutur katanya membuainya dari rasa takut. Di titik itulah, tekad Bawita terbentuk. Namun, impian itulah yang justru membawanya kepada malapetaka, sekaligus persimpangan yang harus ia pilih akan ke mana kakinya melangkah. Benar kata orang-orang, ia harus menyadari posisinya, terlalu tinggilah angan-angannya mendapatkan sang penguasa agung Wilwatikta. Namun, Bawita sudah terlanjur masuk terlalu dalam. Mustahil baginya mengabaikan janji yang telah terucap dan berharap tak ada satu pun yang menagihnya.
"Paduka Permaisuri ada di depan mata, Bawita, tak sulit bagimu untuk melumpuhkannya." Pria tersebut menyerahkan sesuatu dengan dedaunan yang menjadi penutupnya. "Menyerangnya dengan panah atau pedang sama saja dengan kau menyerahkan nyawamu secara sukarela. Maka, berikanlah ini," jelasnya akan benda yang sudah berpindah tangan.
Bawita membukanya dan terkejutlah dirinya. Bagaimana tidak, itu adalah racun yang dapat membunuh seseorang secara perlahan, sehingga kematiannya nampak alami. Berkat pengetahuannya tentang obat-obatan, Bawita mengetahui dampak buruk dari mengonsumsinya secara berkala. Bawita berjengit, kemudian melempar tatapan tak percaya. "A-aku?" ucapnya terbata. Seumur hidup, tak pernah ia bayangkan akan melenyapkan nyawa orang lain, apalagi seseorang yang telah berbuat baik kepadanya. Benarlah, mustahil baginya bertemu dengan Aji Rajanatha tanpa bantuan Sudewi.
"Tentu saja, itulah tugasmu di sini, Bawita. Jangan terlena hanya karena posisimu sebagai selir dan ibu dari putra raja. Sejatinya, ibu dari anak raja hanyalah permaisuri saja." Kembali, pria itu mengingatkan Bawita, sekaligus mendesaknya untuk bergerak cepat. Bawita telah membuang-buang waktu. Padahal ia punya banyak kesempatan untuk menyingkirkan sang Permaisuri. Ah, apa guna kemampuannya selama ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
APSARA MAJA : SANG PARAMESWARI
Ficción histórica-Historical Fiction- {Apsara Majapahit II} Tidak, ini bukanlah sebuah dongeng, melainkan kisah klasik abad ke-14 di sebuah kerajaan digdaya Jawadwipa antara permaisuri dan tingginya tembok istana yang bernama pengabdian. Dibalik kemahsyuran seorang...