"Bukan hanya seorang permaisuri, bahkan seorang rakyat pun harus menjaga kesuciannya. Hanya untuk suaminya seorang, tidak ada pria lain yang boleh mendapatkan pemujaannya," seloroh dewan kerajaan yang tak memedulikan ucapan Sagara. Ah, siapa yang akan mendengarkan suara dari orang kecil. Lihatlah, bahkan sang Prabu pun sampai saat ini memilih bungkam.
Salah seorang Puruhita —dewan penasihat raja— beranjak. Selama persidangan berlangsung, ia lebih memilih untuk diam dan mengamati para tersangka. Kehadirannya membuat suara-suara sumbang dari dewan kerajaan dan orang-orang mereda. Sebelum berbicara, ia menunduk untuk menghormati rajanya. "Salam hamba untuk Gusti Prabu. Perbuatan sedeng memang termasuk hina, baik menghina keluarganya ataupun kerajaan ini. Hal tersebut sudah tercantum dalam hukum Paradara." Ia mengalihkan pandangannya ke arah Sudewi. "Gusti Parameswari adalah seorang wanita Kesatria, putri dari Nagari Wengker, dan Permaisuri Majapahit. Pantang baginya untuk menempatkan pria selain suaminya sendiri dalam hidupnya. Seorang permaisuri adalah wanita tak tersentuh, bahkan oleh tanah sekali pun. Itulah yang menjaga kemurnian ibu kerajaan ... semoga Gusti Paduka Sori masih memilikinya hingga saat ini." Diputusnya kontak mata dengan sang Dewi, lalu kembali beralih kepada Hayam Wuruk. "Sri Prabu tidak hanya Maharaja Wilwatikta, tetapi juga seorang suami."
Puruhita tersebut menghembuskan napasnya pelan, bersiap untuk mengungkapkan hal yang mengganggu pikirannya. "Apakah Gusti Prabu masih memercayai Gusti Parameswari?"
Sontak, Sudewi menatap Hayam Wuruk lamat-lamat. Jawaban suaminya benar-benar menentukan harga diri sang Dewi di hadapan para dewan. Seketika napasnya tak beraturan. Melihat kesangsian yang dipancarkan oleh Hayam Wuruk malam tadi membuat Sudewi benar-benar gelisah. Saat itu, suaminya meninggalkannya dalam keadaan bersimpuh. Ah, ternyata menunjukkan sebuah ketundukan tidaklah cukup untuk mencairkan hati yang beku. Sudewi tahu, percuma saja ia berharap kepada seseorang yang bahkan tak bisa membedakan antara rasa cinta dan kagum semata. Oh, jatuh cinta adalah satu paket lengkap.
Tatapan Hayam Wuruk menghunus tajam, lurus ditujukan untuk Sudewi. "Apakah ia bisa kupercayai?"
Ia? Apa katanya? Mengapa menyebut nama Sudewi saja sang Prabu enggan? Suara Sudewi tertahan, urung mengeluarkannya langsung. Ah, apalah arti hubungan ini jika tak berlandaskan rasa percaya? Sungguh, hati Sudewi terluka. Apakah benar untuk mempertahankan sinarnya, sang surya mencuri sinar-sinar kehidupan yang lain? Alih-alih Hayam Wuruk, justru Sudewi-lah yang kian meredup. Sang Dewi mengedarkan pandangannya ke segala penjuru aula utama yang akan menjadi saksi bisu hidup dan matinya. Lantas, dikaisnya sinjang yang menutupi gamparan yang ia pakai. Benar kata Puruhita itu, bahkan lantai pun urung menyentuh dirinya. Ya, lagi-lagi persoalan menjadi permaisuri, wanita dengan takhta tertinggi setelah sang Maharaja. Sudewi mendengus. Oh, pengabdian hanya akan berhenti jika bertemu dengan kematian. Namun, sang Dewi tak sudi mati karena prasangka.
Di jajaran petinggi kerajaan, Sudewi melabuhkan pandangannya kepada Dyah Gitarja. Ibu Suri Wilwatikta sekaligus ibu mertuanya membalas tatapannya. Matanya membinarkan harapan sebagai sesama wanita. Kemudian, pikiran sang Dewi malalang buana. Ya, ada sesuatu yang mengganjal, mengapa Dyah Gitarja memilih menutup mulut. Apakah ia juga akan menutup mata melihat ketidakadilan yang Sudewi dapatkan? Setidaknya, sebagai seorang wanita dan istri, Dyah Gitarja memahami keadaannya. Saat ini, semua orang di kerajaan yang akan dihadapi oleh Sudewi. Tidak adakah yang sudi membelanya?
"Gusti Ibu Suri," ucap Sudewi dengan nada mengalun halus hingga sampai kepada Dyah Gitarja yang duduk di atas sana. "Saya memang seorang parameswari. Akan tetapi, di sisi lain, saya juga merupakan putri Anda. Katakanlah, percayakah Anda kepada saya?" Sudewi menggenggam sebuah harapan. Rajaputri terdahulu merupakan sosok pemimpin yang bijak. Pastilah ia tidak akan diam jika terdapat ketidakadilan di sana. "Percayakah Anda mengenai kesucian saya, Paduka Ibu Suri? Mohon ... yakinkanlah mereka ...," rintih Sudewi.
KAMU SEDANG MEMBACA
APSARA MAJA : SANG PARAMESWARI
Historical Fiction-Historical Fiction- {Apsara Majapahit II} Tidak, ini bukanlah sebuah dongeng, melainkan kisah klasik abad ke-14 di sebuah kerajaan digdaya Jawadwipa antara permaisuri dan tingginya tembok istana yang bernama pengabdian. Dibalik kemahsyuran seorang...