- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE PERHARI
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.* * *
Pagi-pagi sekali beberapa orang warga di Desa Benowo memperhatikan ke arah rumah milik Keluarga Prawira yang sudah lama ditinggalkan. Rumah itu tampak sedang dibersihkan oleh Laila dan Eman, ART dan tukang kebun yang memang sudah sejak dulu bekerja untuk Keluarga Prawira. Meski rumah itu sudah lama sekali tidak dihuni oleh Keluarga Prawira, Laila dan Eman tidak pernah absen untuk mengurusnya sehingga selalu terlihat bersih dan asri. Namun pagi itu, tampaknya kedua orang tersebut membersihkan rumah Keluarga Prawira lebih dari biasanya. Bahkan putra mereka pun--Fikri--ikut serta mengangkat sampah dedaunan kering yang sudah ditumpuk oleh Eman.
"Wah, Pak Eman rajin sekali pagi-pagi begini. Kenapa bersih-bersih lagi, Pak? Bukankah kemarin sudah bersih-bersih?" tanya Rusdi--Pak RT di lingkungan mereka--yang tahu persis jadwal-jadwal kerja Eman di rumah Keluarga Prawira.
"Anu, Pak RT, Non Diah mengabari bahwa dirinya mau pulang ke sini. Makanya saya dan keluarga segera membersihkan rumah ini lagi, agar Non Diah merasa nyaman ketika tiba nanti," jawab Eman, seraya tersenyum seperti biasanya.
Wajah Rusdi mendadak berubah selama beberapa saat. Fikri bisa melihat perubahan itu dengan jelas, namun berpura-pura tidak melihat.
"Diah? Dia anak kedua Almarhum Tuan Abdi dan Nyonya Suri, 'kan?" Rusdi ingin memastikan.
"Benar, Pak RT. Non Diah adalah anak kedua Almarhum Tuan Abdi dan Almarhumah Nyonya Suri. Almarhumah Nyonya Suri baru saja meninggal tiga hari lalu. Jadi karena di sana Non Diah tidak lagi ada sanak saudara, makanya Non Diah memutuskan untuk kembali pulang ke sini," jelas Eman.
Deden--putra Rusdi--mendengar hal itu ketika akan mendekat pada Bapaknya. Dalam diamnya, ia begitu senang karena akan kembali bertemu dengan Diah setelah dua belas tahun berlalu. Namun pada sisi lain, Deden berharap Diah tetap berada jauh dari rumah milik Keluarga Prawira agar tetap aman. Apa yang mendekam di dalam rumah itu jelas akan menjadi ancaman bagi Diah. Seluruh warga Desa Benowo sudah tahu soal itu, sejak semua anggota Keluarga Prawira meninggalkan rumah mereka. Dan bagi para warga Desa, hal itu adalah yang terbaik bagi keluarga tersebut agar bisa selamat. Sayangnya, ternyata pergi dari sana pun adalah hal yang salah. Seluruh anggota Keluarga Prawira akhirnya meninggal dunia dan hanya menyisakan Diah seorang diri.
"Jadi, sekarang hanya tinggal Diah saja yang tersisa dari Keluarga Prawira?" ungkit Rusdi.
"Pada akhirnya begitu, Pak RT. Sekarang hanya Non Diah saja yang tersisa dari Keluarga Prawira. Entah bagaimana ke depannya nanti. Tapi jujur saja, saya dan keluarga sama sekali tidak ingin Non Diah juga menjadi korban selanjutnya. Sayangnya, Non Diah tidak bisa kami bujuk untuk tidak kembali ke sini. Non Diah bersikeras ingin pulang dan kembali tinggal di sini," Eman memberi tahu yang sebenarnya pada Rusdi.
"Mungkin, Diah merasa lelah dengan keadaan yang dihadapinya. Saya dan keluarga pun sekarang akan merasa khawatir padanya jika dia tiba di sini. Deden masih sering melihat adanya makhluk-makhluk halus yang terus menunggu di rumah Keluarga Prawira. Dia bisa melihatnya dengan jelas di rumah ini. Bahkan pada waktu siang sekalipun, dari jendela kamarnya."
"Mungkin sebaiknya Mas Deden pindah kamar, Pak RT. Tidak baik jika Mas Deden terus-menerus melihat makhluk halus yang menghantui rumah ini," saran Eman.
"Saya yang tidak mau pindah kamar, Pak Eman," ujar Deden, mengakui dengan jujur.
Tatapan Rusdi dan Eman pun kini terarah pada Deden yang sedang berjalan mendekat ke arah mereka. Fikri ikut menoleh dan menghentikan pekerjaannya selama beberapa saat.
"Saya justru akan merasa jauh lebih tenang, jika bisa melihat makhluk-makhluk halus yang menghantui rumah ini. Setidaknya, jika akan ada sesuatu yang terjadi, maka saya akan segera bisa mengabarkan sebelum ada kejadian buruk," tambah Deden.
"Kalau begitu kamu bisa memberi tahu aku jika memang ada hal yang terjadi, ketika Non Diah sudah kembali tinggal di sini. Kita bisa bekerja sama untuk membuatnya terhindar dari masalah," ujar Fikri, yang akhirnya buka suara.
Deden pun kini menatap ke arah Fikri seraya menganggukkan kepalanya.
"Ya, aku jelas setuju dengan apa yang kamu katakan," tanggap Deden.
Tak berapa lama kemudian, sebuah taksi datang dan berhenti tepat di depan pagar rumah Keluarga Prawira. Sosok Diah akhirnya muncul di depan semua orang setelah wanita itu membayar ongkos taksi. Tatapan Diah kini terarah pada keempat orang pria yang tengah berada di halaman rumah keluarganya.
"Bu! Ibu! Non Diah sudah tiba!" seru Eman, mencoba memanggil istrinya.
Laila keluar rumah dengan terburu-buru setelah mematikan kompor gas. Diah sendiri kini berjalan memasuki halaman sambil menarik kopernya, lalu berhenti tepat di hadapan Eman dan Rusdi. Wanita itu tersenyum ceria seperti dulu, seakan tidak pernah terjadi apa-apa dan tidak pernah menghadapi apa-apa.
"Assalamu'alaikum, Paklik Eman ... Pakde Rusdi ...." sapa Diah.
"Wa'alaikumsalam," jawab Rusdi dan Eman, kompak.
Deden dan Fikri hanya bisa terpaku di tempat masing-masing ketika menatap sosok Diah untuk pertama kalinya setelah dua belas tahun berlalu. Keduanya terlalu bingung ingin mengatakan apa kepada wanita itu, bahkan mereka sama sekali tidak siap untuk menyapanya. Laila mendekat dan langsung memeluk Diah dengan erat. Berusaha untuk tidak menangis meski ingin sekali menangis atas nasib buruk yang Diah jalani. Diah membalas pelukan Laila, seakan tengah memeluk anggota keluarga sendiri setelah sekian lama tak ada yang bisa ia peluk.
"Apa kabar, Bulik?" tanya Diah.
"Alhamdulillah, kabar Bulik baik, Non. Kabar Non Diah sendiri bagaimana? Apakah Non Diah baik-baik saja?" Laila balas bertanya.
"Alhamdulillah keadaanku baik-baik saja, Bulik. Aku belum terkena penyakit seperti yang terjadi pada seluruh anggota keluargaku. Sejauh ini ... aku masih menunggu hal itu terjadi. Aku jelas tidak bisa lari jika memang itu adalah takdir, bukan?"
Keadaan mendadak sunyi, setelah Diah mengungkit soal sakit misterius yang menjangkiti seluruh anggota Keluarga Prawira hingga mengalami kematian. Semua orang yang ada di halaman rumah itu seketika merasa bingung harus menanggapi seperti apa mengenai persoalan itu. Diah sendiri tampak tidak merasa terbebani ataupun takut dengan apa yang akan dihadapinya, setelah Ibunya meninggal dunia.
Diah tidak mengatakan apa pun lagi dan lebih memilih untuk mendekat ke arah Fikri. Wanita itu terus saja tersenyum, lalu memeluk Fikri seperti dulu ketika ia sedang mencari perlindungan dari kejaran Almarhum Arditho dan Aprilio--Kakak dan Adiknya. Deden cukup terkejut dengan hal yang sedang terjadi di hadapannya. Sementara Fikri sendiri jelas merasa canggung ketika menerima pelukan itu dari Diah, karena mereka bukan lagi anak kecil seperti dulu.
"Almarhum Mas Ardit atau Dek Apri tidak akan bisa lagi bermain dan mengejar aku sekarang, Mas. Aku sendirian," bisik Diah, sambil mempererat pelukannya pada tubuh Fikri.
Mendengar hal itu, kecanggungan yang Fikri rasakan seketika menguap. Pria itu langsung membalas pelukan Diah dengan lembut sambil menepuk-nepuk punggung wanita itu.
"Sabar, Non. Non Diah tidak sendirian di sini," balas Fikri.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
KUTUKAN (SUDAH TERBIT)
Horror[COMPLETED] "Jangan pernah pulang ke sana, jika kamu tidak mau mati sia-sia." Itu adalah pesan terakhir dari Ibunya sebelum meninggal dunia akibat penyakit aneh yang sudah menggerogoti tubuhnya selama bertahun-tahun. Diah ingin sekali menuruti pesan...