52 | Membuat Keputusan

1.9K 167 14
                                    

- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE PERHARI
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

Tubuh Diah mendadak panas, setelah berhasil mengusir pocong yang dikirim oleh Rusdi untuk menyakiti Eman, Laila, dan Fikri. Wanita itu mendadak lemas diiringi gemetar yang hebat, seakan dirinya sedang tidak sehat. Laila segera meraih tubuh Diah ke dalam pelukannya, ketika Diah sudah tidak bisa mempertahankan keseimbangan dirinya.

"Non! Non Diah kenapa? Astaghfirullah, Non! Jawab Bulik, Non," mohon Laila.

Diah menatap nanar ke arah wajah Laila. Ia berupaya tersenyum, meski saat itu dirinya sedang bertahan dari rasa sakit yang terus mendera tubuhnya.

"Waktuku sudah tiba, Bulik. Waktuku untuk merasakan sakit seperti yang dialami oleh seluruh anggota keluargaku akhirnya dia datangkan. Ini adalah bayaran untukku, karena aku menolak memenuhi ambisinya dan karena aku telah membuka topengnya. Bulik jangan khawatir. Kalau seluruh anggota keluargaku bisa menahan rasa sakit ini, maka aku juga pasti bisa menahannya. Toh saat ini aku tidak perlu merasa takut menghadapi apa pun, karena aku tidak sendirian," jawab Diah, lirih.

Laila menangis sejadi-jadinya sambil mendekap Diah lebih erat. Diah mencoba menjelaskan yang sedang terjadi pada orang-orang di sisinya. Ia ingin Laila, Eman, dan Fikri mempersiapkan diri terhadap apa pun yang akan terjadi. Namun dengan memberi penjelasan seperti itu, Eman dan Fikri justru merasa tidak bisa menerima kenyataan. Fikri segera mendekat pada Diah yang masih di dekap oleh Ibunya dan berupaya memeriksa suhu tubuh wanita itu.

"Kita ke rumah sakit, ya, Non. Mungkin ini hanya demam biasa," ajak Fikri, dengan suaranya yang mulai serak.

"Bukan, Mas. Ini bukan demam biasa," ujar Diah, seraya menatap Fikri. "Kalau aku tidak mengusir pocong yang tadi dikirim oleh Pak Rusdi, kalian bertiga yang akan mengalami rasa sakit ini. Aku tidak mau itu terjadi. Jadi sebagai akibat diriku mengusir pocong kiriman tadi, akulah yang harus mengalaminya. Mas Fikri tidak perlu membawaku ke rumah sakit ataupun memanggil Dokter. Itu hanya akan membuang-buang tenaga. Sudah takdirku sehingga harus mengalami sakit ini, Mas. Aku sudah berupaya sekuat yang aku mampu. Meskipun gagal menghindari sakit, setidaknya aku sudah berhasil membuka kebenaran di tengah Keluarga Wardana dan Keluarga Prawira."

"Ya Allah, Non ... kenapa Non harus memilih menyelamatkan kami? Non bisa membiarkan jika memang Pak Rusdi mau menyerang kami. Non Diah tidak seharusnya mengorbankan diri demi kami," sesal Eman.

Diah kembali tersenyum seperti biasanya. Wajah itu benar-benar pucat dan tidak lagi berseri-seri seperti biasanya meski sedang tersenyum.

"Mana mungkin aku menutup mata, Paklik. Kalian adalah tempat mengadu yang selalu aku andalkan sejak kecil. Mana mungkin aku sanggup melihat kalian disakiti. Sudah aku bilang, ini adalah takdir. Aku memang harus menerimanya, cepat ataupun lambat."

Diah dibawa ke kamarnya dan dibaringkan ke atas tempat tidur oleh Eman. Laila berupaya menyelimuti lalu mengompres tubuhnya agar demam yang Diah alami bisa turun. Fikri menghubungi semua sahabatnya untuk mengabari soal kondisi Diah setelah adanya kiriman teror pocong dari Rusdi. Tidak lupa Fikri juga mengabari Raga dan Farah, karena kedua orang itu adalah yang paling dekat dengan Diah selama dua hari ke belakang. Seluruh anggota Keluarga Wardana tentu saja merasa kaget dengan berita itu. Diah tadi masih baik-baik saja ketika Rosa, Yunus, dan Farah pulang lebih dulu dari rumah Keluarga Prawira. Raga sendiri yang pergi paling belakangan pun sama kagetnya saat mendengar Fikri mengatakan bahwa Diah akhirnya mengalami sakit seperti anggota keluarganya yang lain.

"Bagaimana bisa Diah langsung mengalami sakit? Coba jelaskan dulu, Pak Eman. Kami benar-benar kaget saat ini terlebih karena melihat kondisinya yang selemah ini," pinta Safira, yang datang lebih awal bersama Irham dan Raga.

Farah datang tak lama kemudian bersama Rosa dan Yunus. Raga pergi bersama Paman dan Bibinya, karena tadi ia memang sedang berada di rumah mereka untuk membantu membereskan keadaan rumah yang berantakan akibat kejadian saat siang hari. Farah langsung meraih tangan Diah dan menggenggamnya begitu erat. Suhu tubuh Diah benar-benar panas meski sudah dikompres oleh Laila sejak tadi. Semua orang sedang mendengarkan penjelasan dari Eman dan Fikri, termasuk Deden dan Yunita yang baru saja datang ke rumah itu. Keadaan di luar kembali menjadi runyam, saat Deden mulai marah seperti tadi siang.

"Nak Farah di sini saja, jangan ikut keluar. Kalau Nak Deden merasa marah atas perbuatan Bapaknya, itu adalah hal yang wajar. Saat ini Nak Deden pasti juga merasa tidak terima jika sampai terjadi sesuatu pada Non Diah," ujar Laila, berusaha menahan tangisnya.

Farah sendiri sudah menangis sejak tadi karena tidak bisa menahan perasaan sedihnya ketika melihat kondisi Diah. Ia memeluk Laila, agar Laila bisa menenangkan diri.

"Diah pasti akan sehat kembali, Bulik. Insya Allah, kali ini tidak akan ada yang membiarkan Pak Rusdi bertindak sejauh yang lalu-lalu terhadap Diah. Diah pasti akan sembuh dan kembali ceria seperti biasanya," ujar Farah, optimis.

Raga masuk ke kamar itu tak lama kemudian. Laila dan Farah memberinya ruang agar bisa duduk di samping tempat tidur Diah. Pria itu menatap Diah sambil menahan airmatanya. Ia mencoba untuk tidak memperlihatkan kesedihan, namun kenyataan yang terjadi adalah hatinya begitu kalut sehingga tidak bisa menahan kesedihan ketika melihat kondisi Diah. Raga menggenggam tangan Diah seperti saat pertama kali ia menggenggam tangan wanita itu. Kedua mata Diah terbuka perlahan dan senyum di wajahnya yang pucat mulai mengembang pelan-pelan, ketika tatapnya jatuh pada netra indah milik Raga.

"Hai," lirihnya seperti biasa, seakan tidak terjadi apa pun pada dirinya.

Raga pun berupaya tersenyum, meski kini wajahnya telah basah oleh airmata.

"Hai, Di. Hai, Sayang," balas Raga, sama lirihnya.

"Kamu tahu, pertama kali saat kamu menyapaku di jembatan Ekowisata Mangrove waktu itu, aku sama sekali tidak bisa mengalihkan tatap dari kedua matamu. Matamu terlalu indah dan begitu sulit untuk aku abaikan. Andai saja aku tidak ingat bahwa kita adalah dua orang asing yang tidak saling mengenal, maka aku tidak akan berhenti menatapmu sampai puas. Sayangnya, selain aku merasa terganggu oleh makhluk halus yang membisik telingamu, aku juga harus sadar bahwa berhenti menatap kedua matamu akan membuatku tetap waras," ungkap Diah.

Raga tertawa pelan sambil mengusap lembut kening dan kepala Diah.

"Mana yang sakit, Sayang? Coba bilang sama aku, mana yang sakit?" pinta Raga.

"Kamu enggak usah mengkhawatirkan soal itu. Aku enggak bisa merasakan sakit saat melihat kamu di sisiku. Keberadaanmu terlalu membuatku merasa bahagia, sehingga bisa lupa soal apa itu rasa sakit. Maaf, ya, kalau aku hadir cuma sebentar dalam hidupmu. Kali ini, tidak akan ada waktu dua tahun untukku menahan sakit seperti yang anggota keluargaku alami. Tampaknya, Pak Rusdi ingin membuatku lebih cepat meninggal dunia karena takut kamu dan aku akan menjadi jalan bagi Keluarga Prawira dan Keluarga Wardana bersatu. Tapi kamu harus percaya, bahwa Allah akan memberikan kamu jodoh yang jauh lebih baik daripada aku yang serba kekurangan ini. Kamu harus ikhlas kalau akhrinya ...."

"Akan kunikahi kamu malam ini juga!" tegas Raga, tidak main-main.

* * *

KUTUKAN (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang