51 | Teror Pembawa Kegilaan

2K 166 7
                                    

- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE PERHARI
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

Fikri kembali ke rumah setelah shalat maghrib di masjid bersama Raga, Deden, dan Zainal. Diah memanggilnya agar bisa ikut makan malam bersama. Eman, Laila, dan Fikri duduk di meja makan yang sama, karena Diah sudah menghapus soal peraturan lama yang dulu pernah ditetapkan oleh Almarhum Kakeknya. Diah jelas tidak ingin terus-menerus makan sendirian di meja makan, sementara Eman, Laila, dan Fikri makan di meja makan yang tersedia di dapur.

"Bagaimana keadaan Mas Deden, Mas? Apakah perasaannya sudah membaik?" tanya Diah.

"Setelah Rida marah-marah di depannya menjelang maghrib tadi, alhamdulillah Deden langsung kembali waras, Non. Dia sudah kembali normal lagi seperti biasanya," jawab Fikri.

Diah pun mendelik seketika, usai mendengar jawaban dari Fikri.

"Rida ... marah-marah di depan Mas Deden? Dia, marah-marah seperti yang pernah dilakukannya pada Ayu saat kita masih SMP, dulu, Mas?" Diah tampak ingin diyakinkan.

Fikri menganggukkan kepalanya.

"Iya, Non. Persis seperti itulah yang Rida lakukan di hadapan Deden, tadi. Makanya Deden langsung kembali waras sepenuhnya."

Diah pun langsung mengeluarkan ponselnya, lalu mengetik pesan pada grup chat di WhatsApp. Eman menatap ke arah Diah saat hal itu terjadi.

"Non, makan dulu. Simpan dulu ponselnya dan dilanjutkan nanti jika memang ingin mengobrol dengan Nak Rida. Tidak baik jika makan sambil memegang ponsel," tegur Eman, sangat pelan.

Diah pun tersenyum tidak enak, lalu segera menyimpan ponselnya kembali.

"Iya, Paklik. Maaf," tanggap Diah, sama pelannya.

Fikri tersenyum saat melihat Diah yang sedang tidak bisa berkutik. Sejak dulu Diah memang selalu patuh jika sudah mendapat teguran dari orangtua. Jadi jika Eman dan Laila menegurnya, maka Diah akan langsung bertransformasi menjadi wanita yang sangat manis.

"Tambah lagi ayam dan sayurnya, Non. Jangan makan terlalu sedikit," ujar Laila, sambil menambahkan satu potong ayam bagian dada ke piring milik Diah.

Diah ingin menolak, namun ayam itu sudah terlanjur berada di piringnya. Fikri pun tertawa pelan saat melihat ekspresi Diah saat itu. Diah sudah jelas sedang tidak ingin makan banyak, namun terpaksa harus makan banyak karena Laila tidak akan membiarkannya makan terlalu sedikit.

"Kenapa, Non? Takut gendut kalau makan banyak? Takut Kang Mas Raga Wardana tidak cinta lagi? Gampang. Suruh saja dia pakai kacamata lensa wide, biar Non Diah tetap terlihat langsing meskipun mengalami kenaikan berat badan," saran Fikri.

"Mas Fikri! Bulik ... Mas Fikri jahat," rajuk Diah, sambil mengadu pada Laila.

"Fikri! Jangan ganggu Non Diah terus, Nak! Biarkan Non Diah makan dengan tenang," tegur Laila, sambil mencubit lengan Fikri.

Fikri pun terkikik geli, meski merasakan sakit pada lengannya akibat mendapat cubitan dari Ibunya. Laila beranjak ke dapur setelah dirinya dan Eman selesai makan. Fikri dan Diah masih berada di meja makan karena belum menghabiskan makanan mereka.

PRANGGG!!!

"Astaghfirullah hal 'adzim!" Diah dan Fikri kompak beristighfar.

Mereka berdua langsung berlari ke dapur untuk mendatangi Laila. Eman--yang awalnya hendak ke teras depan pun--ikut berlari ke dapur usai mendengar suara benda pecah.

"Bulik? Ada apa? Bulik kenapa?" tanya Diah.

Diah segera menuntun Laila agar tidak menginjak pecahan beling. Laila tampak masih shock sehingga sulit mengatakan sesuatu. Fikri mengambilkan air minum untuk Ibunya, sementara Eman segera membersihkan pecahan beling di lantai.

"Bu? Ibu kenapa?" Fikri mencoba menanyakan hal yang sama.

"Ta-tadi ... ta-tadi di luar je-jendela ada ... po-pocong, Nak. Po-pocong itu me-mendadak muncul sa-saat ...."

Diah tidak menunggu Laila hingga selesai bicara. Wanita itu langsung berlari keluar dari dapur menuju pintu belakang. Ia keluar dari rumah dan mencoba mencari pocong yang dikirim ke rumahnya untuk menakut-nakuti Laila. Fikri mengejar langkahnya, sementara saat ini Laila sedang ditenangkan oleh Eman.

"Non, jangan terlalu jauh perginya. Ini sudah malam," ujar Fikri.

"Rusdi benar-benar pengecut, Mas! Dia cuma bisa menyuruh makhluk-makhluk suruhannya untuk menakut-nakuti keluarga ini, tapi tidak berani muncul di depanku secara langsung!" ungkap Diah, blak-blakan.

Diah tampaknya kini tidak mau lagi menyembunyikan rasa geramnya terhadap Rusdi. Fikri memaklumi hal itu, karena tahu bahwa Diah sudah merasa muak dengan semua hal buruk yang terjadi di dalam hidupnya. Fikri juga sebenarnya merasa muak dengan Rusdi. Namun dirinya jelas tidak bisa melawan Rusdi seperti bagaimana Diah melawannya.

"Mas Fikri, awas!"

Diah segera menerjang tubuh Fikri saat melihat sosok pocong yang bergelantungan dari pohon samping rumah. Pocong itu sengaja berayun-ayun di udara untuk menyerang Fikri yang sedang lengah. Diah pun akhirnya paham, bahwa pocong itu dikirim untuk menyakiti Diah melalui Laila, Eman, dan Fikri sehingga dengan mudahnya pocong itu terlihat oleh ketiga orang tersebut.

"Paklik! Ayo cari Paklik, Mas! Paklik adalah sasaran selanjutnya," ajak Diah.

Fikri pun langsung bangkit dan mengikuti langkah Diah. Mereka sama-sama kembali ke dalam rumah, lalu segera menuju ke dapur. Eman masih bersama Laila ketika Diah dan Fikri muncul. Fikri mendekat pada kedua orangtuanya, sementara Diah berusaha mencari keberadaan pocong yang kini tengah mengincar Eman.

"Non, bagaimana?" tanya Fikri, pelan.

"Apanya yang bagaimana, Nak? Ada apa sebenarnya?" tanya Eman.

"Bapak tenang dulu. Nanti saja, kalau Bapak memang butuh jawaban. Biarkan Non Diah ...."

"Ssttt!" titah Diah.

Mereka bertiga benar-benar diam setelah mendengar arahan singkat dari Diah. Pintu dapur yang awalnya terbuka lebar perlahan menutup dengan sendirinya, dan di balik pintu itu ada satu pocong yang begitu besar dengan wajah hancur.

"Tutup mata kalian!" titah Diah, sekali lagi.

Fikri menutup mata Ibunya sebelum ia menutup matanya sendiri. Eman pun ikut melakukannya, meski sebenarnya ia ingin sekali melihat ke arah yang tengah Diah lihat.

"Jangan ada yang membuka mata sebelum aku memperbolehkan. Kalau kalian melihat pocong itu seperti bagaimana Bulik Laila melihatnya tadi, maka pikiran kalian akan terjebak dalam jebakan kegilaan yang diinginkan oleh Pak Rusdi," ujar Diah, agar tidak ada yang melanggar.

Pocong berwajah hancur yang tadinya hanya berdiam di balik pintu dapur itu mulai melompat-lompat menuju ke arah tempat Eman, Laila, dan Fikri berada. Diah meraih satu wadah air minum berukuran sedang dari atas meja makan dapur, lalu menghadang langkah pocong berwajah hancur tersebut.

"A'udzubillahi minassyaitanirrajim. Bismillahirrahmanirrahim. Allaahumma faathiras samawaati wal ardhi, 'aalimal ghaibi was syahaadah, rabba kulli syai'in wa maliikah, asyhadu an laa ilaaha illaa anta. A'uudzu bika min syarri nafsii wa syarris syathaani wa syirkih."

Diah segera menyiram Eman, Fikri, dan Laila dengan air yang sudah ia doakan tersebut. Ketika pocong itu hampir mencoba merasuki Eman, pada saat itu pula sosoknya langsung terbakar dan lenyap bersama pocong-pocong lain di luar sana. Pocong yang muncul di jendela dan juga yang bergelantungan di pohon samping rumah ikut lenyap bersama pocong berwajah hancur tersebut. Diah menjatuhkan wadah air minum dari tangannya, lalu memeluk Fikri, Eman, dan Laila sambil berusaha menahan tangis. Fikri merasakan bahwa tubuh Diah mengalami gemetar hebat.

"Non? Non Diah baik-baik saja, 'kan?" panik Fikri.

* * *

KUTUKAN (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang