- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE PERHARI
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.* * *
Diah menatap benda yang berhasil ia lepaskan dari lengan Raga pagi tadi. Benda itu kini ia simpan di dalam sebuah kotak kayu miliknya. Ia menyimpan kotak kayu itu di dalam laci lemari pakaian, bersama dengan surat yang pernah ia temukan di kamar Almarhum Kakeknya. Laci itu kembali ia kunci saat akan keluar dari kamar, agar tidak ada yang bisa memeriksanya jika memang akan ada penyusup di rumah itu.
Laila menatap ke arah Diah yang baru saja muncul di dapur untuk membuat jus. Diah memilih buah mangga, karena saat itu cuaca sedang panas-panasnya di Kota Surabaya. Wanita itu baru saja akan mengupas buah mangga tersebut, ketika Fikri masuk ke dapur untuk menemuinya.
"Non Diah, di luar ada tamu yang ingin bertemu," ujar Fikri.
"Tamu? Siapa, Mas? Aku kenal orangnya?" heran Diah.
"Raga Wardana," jawab Fikri.
"Duh, Mas Fikri. Aku pikir siapa yang datang. Kalau Raga yang datang, tidak usah disebut tamu," ujar Diah.
Laila pun mengambil alih buah mangga dan pisau dari tangan Diah, agar wanita itu bisa segera menemui Raga. Fikri mengekori langkah Diah seperti biasanya.
"Maunya Raga disebut sebagai apa, kalau tidak boleh aku sebut sebagai tamu? Teman? Teman tapi mesra? Atau ... pacar?" sindir Fikri.
Diah langsung menghentikan langkahnya dan berbalik untuk menatap Fikri seraya tersenyum panik.
"Mas ... tolong mulutnya dikondisikan, ya. Jangan sampai Raga mendengar yang Mas Fikri katakan. Aku tidak mau dia salah paham dan berpikir kalau aku saat ini sedang berusaha menarik perhatian dia, meski kenyataannya aku memang suka sama dia. Oke? Paham? Mas Fikri bisa diajak kerja sama, 'kan?" desak Diah.
"Aku sudah dengar. Semuanya terdengar sangat jelas, karena aku sejak tadi duduk di ruang tamu rumahmu ini," sahut Raga.
Diah pun ternganga di tempatnya. Fikri tampak begitu menyesal karena tidak memberi tahu Diah, kalau Raga sudah ia persilakan untuk masuk sejak tadi. Kini Fikri tidak bisa memberikan bantuan apa pun kepada Diah. Diah jelas harus menghadapi Raga sendirian, meski harus menahan malu akibat pengakuannya yang telah didengar oleh pria itu.
"Mas ... carikan aku cara untuk menghilang dari muka bumi," mohon Diah.
"Enggak ada, Non. Google pun akan langsung menyerah kalau aku mencoba bertanya soal itu," jawab Fikri, yang kemudian segera mundur perlahan-lahan menuju dapur kembali.
Mau tak mau, Diah pun segera berbalik dan berjalan menuju ruang tamu untuk menemui Raga. Raga terlihat sedang menahan senyum ketika Diah akhirnya muncul di hadapannya.
"Ekhm! Jadi, kamu sebenarnya suka sama aku, ya? Sejak kapan? Sejak kita bertemu di Ekowisata Mangrove atau sejak kita bertemu lagi di warung makan Pak Tarjo, kemarin siang?" tanya Raga.
"Pulang sana, kalau tujuanmu datang ke sini cuma untuk mempermalukan aku," titah Diah.
Raga pun segera meraih lengan Diah dan menuntunnya untuk duduk tepat di samping pria itu. Senyum di wajah Raga semakin mengembang, saat tahu kalau Diah bisa merasa malu tapi tetap memilih mengomel daripada bertingkah malu-malu kucing seperti wanita pada umumnya.
"Kamu malu? Malu kenapa? Kalau memang suka sama aku tinggal bilang saja, 'kan? Aku enggak akan marah, kok," ujar Raga.
Fikri--yang seharusnya membawakan jus mangga ke hadapan Diah dan Raga--mendadak berhenti kemudian tertawa geli di tempatnya secara diam-diam. Meski begitu, Fikri tetap meneruskan langkah hingga benar-benar sampai ke ruang tamu.
"Aku bisa dengar suara tawamu, Mas Fikri. Jadi jangan memasang wajah seakan kamu tidak ikut serta mengejek aku sore ini. Dan jangan coba-coba membocorkan apa pun yang Mas dengar barusan kepada Mas Zain," desis Diah.
"Iya, Non. Non Diah tenang saja. Apa yang terjadi di ruang tamu ini sejak tadi Insya Allah tidak akan bocor ke telinga Zain," janji Fikri, agar Diah tidak terus merasa malu.
Setelah Fikri kembali lagi ke dalam, Diah pun menatap ke arah Raga.
"Ada perlu apa sehingga kamu datang ke sini?" tanya Diah.
"Memangnya kalau aku datang ke sini harus ada perlu dulu, gitu? Memangnya kalau aku cuma ingin bertemu kamu, tidak boleh sampai datang ke rumah, ya?" Raga balas bertanya, sambil menahan-nahan senyum.
Diah pun akhirnya ikut menahan-nahan senyum seperti yang Raga lakukan saat itu. Ia benar-benar tidak tahu mau bicara apa saat berhadapan dengan Raga secara langsung. Ia tidak pernah menghadapi momen di mana dirinya harus berhadapan dengan pria yang ia sukai. Kali itu adalah pertama kalinya bagi Diah, dan Raga tampaknya sangat memahami hal itu.
"Ayo bicara di luar. Di luar udaranya lebih segar daripada di sini," ajak Diah.
"Ya, ayo," Raga menyetujui.
Diah membawa dua gelas jus mangga yang Fikri bawakan tadi saat keluar dari rumah. Diah benar-benar mengajak Raga duduk di kursi taman bagian samping rumah, agar mereka lebih leluasa bicara tanpa perlu takut ada yang mendengarkan.
"Diminum jus mangganya," ujar Diah, mempersilakan.
"Oh, iya. Terima kasih," tanggap Raga, yang kemudian segera meminum jus mangga tersebut.
Diah menatap Raga seperti tadi. Raga tersenyum saat bisa melihat wajah Diah dengan jelas di sampingnya kali itu. Keduanya masih merasa canggung. Namun kecanggungan itu jelas bukan penghalang bagi mereka untuk bisa mengenal lebih dekat
"Aku juga suka sama kamu," ungkap Raga.
Diah mendengarkan.
"Ketika kita bertemu di Ekowisata Mangrove, aku mendadak berhenti ketika melihatmu secara tidak sengaja. Aku menatap kamu begitu lama, sampai akhirnya bisikan itu mulai terdengar di telingaku. Dia memaksaku untuk menjeratmu. Aku tidak ingin melakukannya, tapi bisikan itu semakin kuat. Sampai akhirnya aku mendekat ...."
"Dan kamu menggunakan ilmu penjerat itu saat tengah mencoba mendekatiku," potong Diah dengan cepat. "Aku tahu. Hal itu jugalah yang menjadi dasar kekesalan lainnya yang aku rasakan, selain dari caramu yang kuno dan sukses membuatku terlihat seperti wanita bodoh. Aku melihat dengan jelas bahwa makhluk itu terus berbisik di telingamu ketika kamu menebar ilmu penjerat. Dia berusaha meraihku, tapi tidak bisa dia lakukan. Makanya dengan cepat aku patahkan semuanya saat itu, lalu meninggalkan kamu begitu saja di sana. Aku tidak mau memperpanjang masalah, karena aku sebenarnya merasa senang saat menatap ke arahmu. Tapi siapa sangka, kalau akhirnya kita bertemu lagi di warung makan kemarin siang. Pada saat itulah aku memutuskan untuk maju lebih dulu dan meminta maaf padamu, agar kamu tidak terpengaruh oleh bisikan makhluk itu lagi untuk memakai ilmu penjerat. Aku ... aku benar-benar tidak ingin kamu menggunakannya lagi."
Cup!
Sebuah kecupan singkat dari Raga mendarat di pipi kiri Diah tanpa mendapat halangan dari pihak mana pun. Namun tanpa mereka tahu, sejak tadi Fikri, Ayu, Zainal, Farah, dan Rida sudah memperhatikan mereka dari arah teras. Kelima orang itu berusaha mati-matian untuk tidak berteriak histeris ketika Raga bertindak sejauh itu kepada Diah. Wajah Diah sendiri kini benar-benar memerah dengan sempurna dan mulutnya tak lagi bisa mengatakan apa-apa. Dengan cepat ia menandaskan jus mangga yang ada di gelasnya, demi mengalihkan perhatian dari apa yang baru saja terjadi.
"Lain kali langsung ungkapkan saja, kalau kamu memang merasa tidak suka jika aku melakukan sesuatu yang buruk. Aku ingin mendengar bagaimana bentuk perhatianmu secara langsung," pinta Raga.
Belum sempat Diah menyetujui permintaan Raga, Deden mendadak muncul dengan wajah penuh amarah dan langsung melayangkan tinju ke arah Raga.
BUGH!!!
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
KUTUKAN (SUDAH TERBIT)
Horror[COMPLETED] "Jangan pernah pulang ke sana, jika kamu tidak mau mati sia-sia." Itu adalah pesan terakhir dari Ibunya sebelum meninggal dunia akibat penyakit aneh yang sudah menggerogoti tubuhnya selama bertahun-tahun. Diah ingin sekali menuruti pesan...