- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE PERHARI
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.* * *
Laila memberikan air minum agar Farah bisa menenangkan dirinya. Ia berharap setelah Farah minum, maka wanita itu tidak akan lagi merasa ketakutan. Wajah Farah pucat sekali saat Rida dan Ayu membawanya ke rumah Keluarga Prawira. Mereka belum menjelaskan apa yang sebenarnya sedang terjadi. Namun jika dilihat dari bagaimana kondisi Farah saat itu, sudah jelas pasti ada sesuatu yang berkaitan dengan makhluk halus dan Diah saat ini sedang menanganinya.
"Bagaimana? Sudah jauh lebih tenang, Far?" tanya Rida, begitu pelan.
Ayu mengusap rambut Farah dengan lembut sekaligus membantu menyeka keringatnya yang bercucuran sejak tadi. Farah masih mencoba untuk melupakan hal mengerikan yang hampir saja terjadi kepadanya.
"Diah," lirih Farah.
"Tenang saja. Diah pasti bisa menangani Kakak sepupumu. Aku yakin dia jauh lebih sanggup dari siapa pun yang ada di sini. Kita tunggu saja kabar darinya di sini seperti yang Diah mau. Kamu harus tetap aman, apa pun yang terjadi," ujar Ayu, berusaha meyakinkan Farah.
Farah kembali memejamkan kedua matanya dan tubuhnya kembali gemetar seperti tadi. Rida segera memeluknya dari samping, agar rasa takut Farah segera mereda. Fikri masih memperhatikannya bersama Eman dan Laila. Mereka tidak berani bertanya-tanya, karena mereka bahkan tidak mengenal siapa Farah. Deden datang tak lama kemudian bersama Zainal. Hari minggu membuat kedua pria itu bisa bebas ke mana saja tanpa perlu memikirkan pekerjaan.
"Ada apa, Fik? Siapa wanita yang sedang dipeluk oleh Rida?" tanya Zainal.
"Namanya Farah. Tapi aku enggak tahu siapa wanita itu. Intinya dia adalah teman bagi Rida, Ayu, dan Non Diah," jawab Fikri.
"Terus, Diah ke mana saat ini? Kok dia tidak kelihatan?" tahya Deden.
"Kenapa? Kamu mau cari perkara lagi sama Non Diah untuk menikmati pukulan lainnya? Wajahmu biru, tuh. Kompres, sana," saran Fikri.
Zainal berusaha keras untuk tidak tertawa di depan Deden. Ia jelas tidak mau mendapat omelan dari pria itu, jika sampai ada tawa yang lolos dari mulutnya. Rida kini tampak melepaskan pelukannya dari Farah.
"Mas Raga enggak pernah begitu sebelumnya. Meskipun dia tidak pernah membicarakan soal ilmu penjerat yang diberikan oleh Kakek kami sebelum Beliau meninggal, aku tahu persis kalau dia sebenarnya tidak menginginkan ilmu itu. Dia jarang memakainya. Dia berusaha keras menghindar dari bisikan yang selalu terjadi di telinga kirinya, ketika berhadapan dengan seseorang yang dirasa cocok untuk dijerat. Hanya beberapa kali dia menuruti bisikan itu. Setelahnya, dia tidak pernah lagi menuruti apa pun. Lalu akhirnya Mas Raga bertemu dengan Diah. Hal itu sepertinya memicu bisikan yang dia dengar, hingga Mas Raga tidak bisa lagi mengendalikan dirinya sendiri. Apa pun yang membisik di telinga Mas Raga, sudah pasti sangat menginginkan Diah sehingga memaksa Mas Raga sampai sejauh itu," jelas Farah, sambil menahan tangis.
Deden, Fikri, dan Zainal berusaha keras mencerna hal yang tengah Farah katakan. Mereka benar-benar tidak paham sekaligus merasa penasaran soal siapa itu Raga dan di mana dia bertemu dengan Diah.
"Kalau boleh tahu, Nak Farah tinggal di mana? Apakah Nak Farah tinggal di Desa ini?" tanya Laila, yang sejak tadi terus memerhatikan Farah.
Rida dan Ayu pun langsung menatap satu sama lain, lalu menoleh ke arah Laila dan Eman.
"Farah juga warga Desa ini, Bulik. Anu ... dia Putri dari Keluarga Wardana," jawab Rida, mewakili Farah yang ragu untuk memberi jawaban.
Kedua mata Deden pun langsung membola saat mendengar yang Rida katakan tentang siapa Farah sebenarnya. Laila, Eman, dan Fikri tidak berani berkomentar, karena Diah jelas tidak mempermasalahkan tentang siapa Farah sebenarnya ketika memutuskan untuk berteman dengan wanita itu.
"Jadi, laki-laki bernama Raga yang kamu maksud sejak tadi adalah Raga Wardana? Benar begitu? Apakah Diah ada di rumah Keluarga Wardana saat ini?" tanya Deden, terdengar begitu marah.
"Kenapa memangnya, Mas?" tanya Ayu, yang mendadak bangkit dari kursi sambil menatap sengit ke arah Deden.
Zainal dan Fikri tidak berani buka mulut sama sekali ketika melihat ekspresi marah di wajah Ayu.
"Ada masalah, kalau Diah saat ini sedang berada di rumah Keluarga Wardana?" lanjut Ayu.
"Kenapa kamu harus menanyakannya lagi? Kamu dan semua orang yang ada di sini jelas tahu persis ada masalah apa antara Keluarga Prawira dan Keluarga Wardana! Bahkan perempuan yang sedang kalian tenangkan itu juga pasti tahu apa masalahnya!" jawab Deden, semakin emosi.
"Terus kenapa? 'Kan yang bermasalah Keluarga Prawira dan Keluarga Wardana, bukan antara Diah dengan Raga ataupun Farah. Kok jadi Mas Deden yang sewot? Diah saja yang jelas-jelas Putri dari Keluarga Prawira tetap santai dan malas pusing soal masa lalu dua keluarga yang bertikai. Kok sekarang malah Mas Deden yang seperti kebakaran jenggot?" sindir Ayu.
Zainal tidak menduga, kalau Ayu bisa bicara sampai sejauh itu demi membela Diah dan apa pun yang Diah inginkan. Padahal selama ini setahu Zainal, Ayu adalah orang yang paling masa bodoh dengan urusan orang lain.
"Enggak usah sok pahlawan, Mas. Diah enggak butuh pahlawan untuk menyelamatkan dirinya. Dia bisa jaga diri sendiri. Jadi ... jangan pernah Mas Deden mencoba melangkahkan kaki ke rumah Keluarga Wardana untuk menyeret Diah pulang! Diah akan pulang, kalau urusannya sudah selesai. Dan kalau Mas Deden tetap nekat, aku yang akan membuat Mas Deden babak belur pagi ini!" ancam Ayu, tidak main-main.
Sebuah gunting telah berada di tangan Diah. Rosa sendiri yang memberikan gunting itu, setelah mengambilnya dari dalam rumah. Diah meraih tangan Raga yang masih belum sadarkan diri di pangkuan Yunus. Safira dan Irham telah berada di dekat mereka sejak tadi. Meski sebenarnya mereka ingin mencari keberadaan Farah, keadaan Raga dan apa yang akan Diah lakukan rasanya tidak ingin mereka lewatkan. Wanita itu tampak membaca doa sebelum akhirnya menggunting benda yang terikat mati pada lengan kiri Raga. Diah kemudian mengambil benda itu menggunakan sapu tangan yang ada di sakunya, agar bisa segera dijauhkan dari Raga setelah benar-benar terlepas.
Kedua mata Raga mengerejap pelan sesaat kemudian. Kesadarannya telah kembali, meski seluruh tubuh pria itu masih lemas luar biasa. Raga bisa melihat wajah kedua orangtuanya yang kini menatapnya penuh rasa lega. Ia juga bisa melihat wajah Paman dan Bibinya, serta wajah Diah yang masih berada di halaman rumah Keluarga Wardana.
"Akhirnya kamu bangun, Nak. Akhirnya ...."
"Alhamdulillah," potong Diah, tepat di telinga Rosa. "Ucapkan hamdalah lebih dulu, agar Putra anda semakin terlindungi karena anda tidak lupa mengucapkan rasa syukur kepada Allah."
Rosa menoleh ke arah Diah dan Diah memberi isyarat agar hal tersebut dilakukan oleh Rosa. Rosa pun kembali menatap Raga seraya tersenyum di tengah tangisannya yang begitu pelan.
"Alhamdulillah kamu sudah bangun, Nak. Alhamdulillah, karena kami tidak kehilangan kamu," lirih Rosa, yang kemudian memeluk Raga dengan erat.
Diah pergi dari sana tanpa mengatakan apa pun dan bahkan tanpa berpamitan. Ia tidak ingin mengganggu, dan memilih segera kembali ke rumahnya untuk mencari keberadaan Farah.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
KUTUKAN (SUDAH TERBIT)
Terror[COMPLETED] "Jangan pernah pulang ke sana, jika kamu tidak mau mati sia-sia." Itu adalah pesan terakhir dari Ibunya sebelum meninggal dunia akibat penyakit aneh yang sudah menggerogoti tubuhnya selama bertahun-tahun. Diah ingin sekali menuruti pesan...