- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE PERHARI
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.* * *
Setelah Fikri pergi, Diah pun kembali masuk ke dalam kamarnya dan tak lupa mengunci pintu. Amplop lusuh yang tadi ditemukan langsung ia keluarkan dari balik bajunya. Ia menyimpan amplop itu di dalam laci pada lemari pakaiannya bersama dengan kunci cadangan yang tadi ia pakai. Setelah ia mengunci laci dalam lemari pakaiannya, ia segera menutup lemari tersebut dan bergegas pergi ke kamar mandi untuk berwudhu. Ia tidak ingin Fikri merasa curiga jika dirinya sampai terlambat melaksanakan shalat ashar. Karena ia yakin, kalau Fikri masih hafal dengan kebiasaannya yang akan keluar dari kamar dan bertengger di teras belakang rumah setelah selesai shalat.
Fikri kembali ke rumah Keluarga Prawira bersama Deden, setelah selesai melaksanakan shalat ashar di masjid. Kedua pria itu mengambil jalan memutar untuk bisa langsung menuju halaman belakang. Diah telah berada di teras belakang dan tengah membaca sebuah novel. Wanita itu benar-benar berupaya untuk membuat Fikri tidak mencurigainya. Ia tahu betul kalau Fikri tetap akan menghalangi dirinya untuk mencari tahu lebih jauh mengenai persoalan dalam keluarganya, meski saat ini Diah sudah tahu soal kutukan yang diucapkan oleh seseorang. Fikri jelas tidak memiliki pikiran seperti Deden dan Zainal. Fikri adalah orang yang lebih memilih untuk melaksanakan amanah dan menjaga rahasia, agar Diah tetap tidak tahu apa-apa. Hal itu jelas berasal dari didikan Eman dan Laila selama ini, jadi Diah pun tidak bisa sepenuhnya menyalahkan Fikri yang berpegang teguh dengan keyakinannya untuk menjaga rahasia.
"Non Diah sudah lama berada di sini?" tanya Fikri.
Deden ikut mendekat ke teras belakang rumah itu dan memilih bersantai pada anak tangga.
"Aku baru saja keluar, kok, Mas Fikri. Bulik dan Paklik tampaknya masih berada di depan untuk menguras kolam ikan. Jadinya aku ke sini sendirian untuk bersantai," jawab Diah, seraya tersenyum tenang.
"Tadi siang Non Diah pergi ke mana? Aku mengejar Non Diah bersama Deden dan Zain, tapi Non Diah sudah tidak terlihat oleh kami di luar warung makan," Fikri tampak ingin tahu.
"Aku langsung naik taksi online ketika keluar dari warung makan. Aku tadi pergi jalan-jalan ke beberapa tempat wisata, Mas Fikri. Periksa saja ponselku dan lihat riwayat perjalananku menggunakan taksi online yang aku pesan."
Diah menunjuk ke arah ponselnya yang tergeletak di atas meja di teras belakang tersebut. Wanita itu benar-benar sangat tenang dan tidak merasa terintimidasi, meski Fikri terus mengajukan pertanyaan padanya. Fikri mengambil ponsel milik Diah dan benar-benar membuka riwayat perjalanan dari aplikasi taksi online yang Diah gunakan. Deden bangkit dari tempatnya duduk, lalu ikut melihat yang sedang Fikri lihat saat itu.
"Aku boleh menyimpan nomor ponsel Non Diah?" Fikri meminta izin.
Sebenarnya Fikri bisa saja langsung mencatat nomor telepon Diah tanpa harus meminta izin. Namun ia ingat bahwa hal itu jelas tidak sopan, karena bagaimana pun Diah adalah majikannya di rumah itu.
"Simpan saja, Mas, dan jangan lupa untuk menyimpan nomor ponsel milik Mas Fikri pada ponselku. Mas Deden juga boleh mencatatnya jika merasa perlu menghubungiku."
Diah menyahut tanpa mengalihkan tatapannya dari novel yang tengah ia baca. Tampaknya isi novel itu sangatlah menarik bagi Diah, sehingga wanita itu tidak bisa menunda untuk membacanya. Fikri dan Deden benar-benar mencatat nomor ponsel Diah pada ponsel masing-masing, lalu menyimpan nomor ponsel mereka seperti yang Diah inginkan. Setelah melakukan semua itu, Fikri kembali menyimpan ponsel milik Diah ke atas meja. Diah pun menutup novelnya setelah memberikan batas baca dan kembali tersenyum ke arah Fikri dan Deden.
"Aku mau cerita, Mas. Boleh?" tanya Diah, seraya tersenyum dengan wajah sedikit memerah.
"Iya. Tentu saja boleh, Non," jawab Fikri.
"Tadi aku sempat bertemu dengan seseorang saat berada di Ekowisata Mangrove. Dia seorang pria dan dia begitu percaya diri berusaha mendekati aku, dengan cara menawarkan diri untuk menjadi tour guide di sana. Aku tahu persis bahwa tujuannya memang baik, tapi aku menolak tawarannya karena aku melihat keberadaan sesosok makhluk yang tampaknya selalu mendampingi pria itu. Makhluk yang aku lihat terus membisik di telinga pria itu. Makhluk itu berusaha ingin meraihku, sehingga membisik terus-menerus agar pria itu menjeratku dengan ilmu penjerat. Tapi makhluk itu jelas gagal total, karena aku tidak pernah lupa untuk membentengi diriku di mana pun aku berada. Pria itu tidak bisa menggunakan ilmu penjerat yang dia miliki terhadapku, sampai akhirnya aku pergi dari hadapannya," tutur Diah.
"Tapi dia tidak mengejar kamu, 'kan? Dia tidak mengikuti kamu, setelah kamu pergi dari hadapannya?" tanya Deden, mulai terlihat khawatir.
"Enggak sama sekali, Mas. Dia hanya diam di tempatnya dan tidak berupaya mengejarku sama sekali. Mungkin dia kesal, tapi dia memilih untuk tidak mengungkapkannya."
"Wah ... zaman sekarang ternyata masih ada laki-laki yang mau menggunakan ilmu penjerat, agar bisa menjerat wanita yang dia temui? Benar-benar keterlaluan," umpat Fikri, tidak bisa menyembunyikan kekesalannya.
"Laki-laki macam itu seharusnya diberi pelajaran yang berat, agar tidak lagi bertindak seenak jidatnya," tambah Deden.
Diah pun tersenyum. Ungkapan kesal Fikri dan Deden jelas sama sekali tidak sama dengan perasaan bahagia yang Diah rasakan, ketika mengingat pria yang bertemu dengannya siang tadi.
"Kalian tidak ada yang mau tanya soal makhluk yang mendampingi pria itu?"
Deden dan Fikri pun kembali menatap ke arah Diah, setelah mereka mengungkapkan kekesalan masing-masing usai mendengar cerita yang Diah utarakan.
"Makhluk itu memiliki tiga tanduk di kepalanya dengan lidah menjulur sampai batas dada. Makhluk itu biasanya hanya akan berada di samping orang yang melakukan ritual ilmu hitam. Biasanya, ilmu hitam yang seperti itu adalah ilmu hitam yang diwariskan secara turun-temurun dari tetua di dalam suatu keluarga. Aku tahu dan mengenali hal-hal seperti itu dari seorang pasien di rumah sakit yang memiliki kemampuan untuk mengenali makhluk-makhluk halus di sekitarnya. Dari pasien itu jugalah aku belajar tentang bagaimana cara untuk mengusir makhluk halus dari sekitar kita, agar tidak mengganggu kehidupan yang kita jalani," jelas Diah.
"Lalu, apakah sekarang Non Diah masih sering berkomunikasi dengan pasien yang Non kenal itu?" tanya Fikri.
Diah pun menggelengkan kepalanya.
"Dia sudah lama meninggal dunia, Mas Fikri. Pasien itu sudah berusia sangat tua ketika aku bertemu dengannya. Dia tahu dalam sekali lihat, bahwa aku memiliki kemampuan untuk melihat yang tidak bisa terlihat oleh orang biasa. Maka dari itulah dia mengajarkan padaku banyak hal, agar aku bisa memanfaatkan kelebihanku."
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
KUTUKAN (SUDAH TERBIT)
Horror[COMPLETED] "Jangan pernah pulang ke sana, jika kamu tidak mau mati sia-sia." Itu adalah pesan terakhir dari Ibunya sebelum meninggal dunia akibat penyakit aneh yang sudah menggerogoti tubuhnya selama bertahun-tahun. Diah ingin sekali menuruti pesan...