- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE PERHARI
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.* * *
Diah langsung melirik ke arah Raga dengan wajah memerah, ketika pria itu mengungkit soal komunikasi yang mereka lakukan. Rosa kini menatap ke arah Diah begitu lama dan mulai berpikir kalau Diah mungkin saja memiliki sifat yang sama persis seperti Almarhum Abdi. Entah kenapa dirinya begitu sulit mengabaikan hal seperti itu. Mungkin karena ia merasa takut kalau Raga juga akan mengalami hal yang dulu pernah ia alami, yaitu menerima penolakan.
"Kenapa kamu tanyakan hal itu di sini, sih? Aku sudah balas pesan dari kamu tadi pagi. Tapi kamu yang malah belum membuka pesan dariku sampai sekarang," jawab Diah.
Ekspresi Raga pun berubah usai mendapat jawaban dari Diah. Pria itu ingin bangkit dari sofa, namun langsung meringis kesakitan akibat seluruh tubuhnya yang terasa remuk redam sejak tadi. Rosa, Yunus, maupun Diah dengan kompak langsung menahannya agar diam saja di tempat. Raga jelas masih belum bisa melakukan apa pun sendiri, sehingga tidak ada satu orang pun yang bisa menutupi rasa khawatir terhadap pria itu.
"Kalau tahu badanmu sakit, duduk saja yang tenang. Jangan sedikit-sedikit bikin orang lain jantungan, dong," gemas Diah, begitu pelan.
Raga kini menatap ke arah Diah setelah mendengar apa yang wanita itu ungkapkan.
"Benar, itu. Kamu terkadang suka bikin orang jantungan mendadak, tapi enggak pernah sadar. Sudah ... duduk saja di situ. Nanti Ibu yang akan ambil ponselmu di kamar," Rosa ikut memberi ceramah pada Raga.
"Tapi pesannya jangan dibuka ya, Bu," pinta Raga.
"Astaghfirullah," keluh Diah. "Kalau kamu bilang begitu, pesan yang masuk ke ponselmu malah akan dibaca oleh Ibumu."
"Pernah mengalami hal itu sebelumnya, Nak Diah?" tanya Yunus.
Diah hanya mampu tersenyum tak bertenaga saat diberi pertanyaan seperti itu. Rosa kembali ke ruang tamu dan menyerahkan ponsel Raga ke tangan pemiliknya, sambil menahan tawa sebisa yang ia mampu. Raga benar-benar hanya bisa pasrah ketika yang Diah katakan menjadi kenyataan. Ibunya benar-benar membuka pesan yang masuk dari Diah dan tampak sudah membacanya.
Rosa dan Yunus kini kembali menatap ke arah Diah seperti tadi. Diah pun sudah tidak lagi memperhatikan Raga yang kini sibuk dengan ponselnya. Padahal sebenarnya, sibuk dengan ponsel adalah kamuflase bagi Raga agar bisa memperhatikan Diah secara diam-diam.
"Kalau boleh tahu, benda yang tadi kamu lepaskan dari lengan Raga ada di mana saat ini?" tanya Rosa.
"Aku menyimpannya di tempat yang aman. Di tempat yang tidak akan bisa dijangkau oleh siapa pun lagi. Insya Allah," jawab Diah.
"Apakah benda itu tidak perlu dibuang? Atau mungkin dimusnahkan?" Yunus ingin tahu.
"Pada akhirnya memang harus dimusnahkan. Tapi saat ini belum waktunya untuk melakukan hal tersebut. Aku akan memakai benda itu untuk mencari asal-usulnya. Karena jujur saja saat ini aku meyakini, bahwa ada keterkaitan antara semua hal buruk yang terjadi pada keluargaku dan juga Keluarga Wardana."
Seketika semua orang terdiam usai mendengar apa yang Diah katakan. Bahkan Raga pun mendadak berdebar-debar, karena takut akan terjadi perdebatan antara Ibunya dengan Diah. Tapi Diah sendiri tetap terlihat tenang dan santai seperti biasanya. Tidak ada sedikit pun terlihat keinginan pada diri Diah untuk membuat emosi Rosa terpancing.
"Tolong jangan ada yang tersinggung. Aku tidak berniat menyinggung apa pun masalah yang pernah terjadi di tengah keluarga kita masing-masing. Aku hanya butuh mendapatkan jawaban dan juga penyelesaian, atas masalah yang sudah kuhadapi selama dua belas tahun terakhir. Aku bahkan tidak pernah berniat melibatkan Keluarga Wardana dalam urusanku. Tujuanku adalah tujuanku, tidak perlu ada yang ikut campur atau aku libatkan demi tujuan itu," jelas Diah.
"Dan bahkan kamu tidak akan mengungkit soal kutukan yang diucapkan oleh Bapakku dimasa lalu terhadap seluruh anggota Keluarga Prawira?" Rosa tidak bisa mengabaikan kenyataan yang satu itu.
"Aku tidak percaya kutukan. Aku percaya hanya kepada Allah. Meski kenyataannya seluruh anggota keluargaku meninggal dunia setelah mengalami sakit yang sama dan dalam jangka waktu yang sama, aku lebih memilih menganggap hal itu sebagai takdir yang sudah Allah tuliskan untuk keluargaku. Aku tidak suka menyalahkan sesuatu yang tidak benar-benar bisa masuk pada akal sehatku. Aku akan jauh lebih senang jika bisa menemukan siapa dalang sebenarnya di balik semua peristiwa yang terjadi pada keluargaku. Karena apa? Karena jika memang kutukan dari Almarhum Bapak anda adalah penyebabnya, maka seharusnya hal itu sudah terjadi sejak Ibuku belum melahirkan satu orang anak pun ke dunia ini. Kenapa harus menunggu belasan tahun sampai akhirnya kutukan itu benar-benar berjalan untuk keluargaku? Benar, 'kan? Lebih masuk akal, bukan?"
Rosa terlihat seperti sedang memikirkan semua yang Diah ucapkan. Yunus dan Raga paham, bahwa Rosa jelas merasa bersalah karena pernah membiarkan Almarhum Sutomo mengucapkan kutukan untuk Keluarga Prawira. Hal itu jelas diam-diam membawa sesal bagi Rosa, terutama setelah tahu bahwa satu-persatu anggota Keluarga Prawira meninggal dunia setelah menderita sakit yang sulit disembuhkan. Namun semua yang Diah katakan seakan membuka pikirannya, bahwa mungkin bukan kutukan yang menyebabkan semua hal buruk terjadi pada Keluarga Prawira, melainkan ada hal lain yang belum mereka ketahui.
"Uhm ... jika sudah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan denganku, bolehkah aku pamit dan bertamu ke rumah sebelah?" tanya Diah, agak sedikit kaku.
"Oh ... iya ... tentu saja boleh. Kamu datang ke sini jelas untuk mengunjungi Farah, bukan untuk mengunjungi Raga," jawab Yunus, dengan sengaja.
Diah hanya bisa tersenyum canggung, sebelum akhirnya benar-benar pamit pada Yunus dan Rosa. Wanita itu tidak lagi berani menatap ke arah Raga, karena jelas rasa canggung akan semakin terasa besar di antara mereka. Setelah Diah pergi, Raga masih menatap tak percaya ke arah Ayahnya usai mendengar kalimat tadi. Sementara Yunus tetap bertingkah seakan tidak ada apa-apa yang terjadi.
"Ayah kenapa harus bicara begitu? Kalau nanti Diah benar-benar tidak mau datang lagi ke sini, bagaimana?" tanya Raga.
"Memangnya untuk apa Diah datang lagi ke sini? Kamu butuh dikunjungi oleh Diah? Terbalik, Nak. Harusnya kamu yang mengunjungi rumah Diah, kalau memang mau melakukan pendekatan," tanggap Yunus, yang kemudian meninggalkan Raga di ruang tamu.
Rosa tidak bisa membela Raga kali ini. Wanita paruh baya itu kini hanya menatap ke arah putranya sambil menahan senyum.
"Perbaiki saja dulu bahasamu saat akan mengirim pesan pada Diah. Kata-katamu terlalu baku," saran Rosa.
Raga pun segera menutup wajahnya dengan bantal sofa, agar tidak ada yang perlu melihat wajahnya yang sudah seperti kepiting rebus. Dikomentari oleh orangtua sendiri ketika akan mendekati seorang wanita, jelas tidak pernah terbayangkan di dalam pikiran Raga seumur hidupnya.
"Duh ... sekalinya aku suka terhadap seseorang, kok untuk bicara saja rasanya sulit minta ampun, sih?" keluh Raga.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
KUTUKAN (SUDAH TERBIT)
رعب[COMPLETED] "Jangan pernah pulang ke sana, jika kamu tidak mau mati sia-sia." Itu adalah pesan terakhir dari Ibunya sebelum meninggal dunia akibat penyakit aneh yang sudah menggerogoti tubuhnya selama bertahun-tahun. Diah ingin sekali menuruti pesan...