48 | Datang

2K 163 13
                                    

- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE PERHARI
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

Genderuwo yang tadi dipanggil oleh Rusdi telah tiba lebih dulu di rumah Keluarga Wardana. Genderuwo itu mendarat tepat di atas atap rumah Safira, yang tadi menjadi tempat terlepasnya pengunci diri dari diri Farah. Farah berdiri di samping Diah yang sejak tadi terus menatap langit-langit rumah tersebut. Raga kembali mendampingi Rosa bersama Yunus, setelah menutup pintu kamar yang menjadi tempat sembunyi Fikri, Zainal, dan yang lainnya.

"Kamu tidak mau melihat langsung ke atap dari halaman, Di?" tanya Farah.

Diah pun tersenyum.

"Itulah yang dia harapkan, Far. Makhluk itu berharap aku keluar dari rumah ini, agar bisa menyerang kalian semua yang ada di dalam sini. Itulah alasannya, mengapa dia tiba lebih awal daripada orang yang memerintahkannya untuk datang ke sini," jawab Diah.

Farah pun langsung memeluk Diah dengan lembut dari arah samping. Wanita itu ingin mencari ketenangan, setelah sejak tadi terus saja melewati hal-hal yang tidak membuatnya tenang. Dan bagi Farah, ketenangan itu bisa ia dapatkan dengan cara memeluk Diah selama mungkin.

"Aku melihat semua makhluk halus yang tadi mendadak mendatangimu, Di. Aku bahkan mendengar semua hasutan yang mereka bisikkan ke telingamu," ujar Farah, mengakui yang sejak tadi berusaha disembunyikannya.

Safira dan Irham bisa mendengar pengakuan itu dengan jelas, begitu pula dengan Rosa, Raga, dan Yunus. Mereka merasa kaget, namun tetap berupaya untuk tenang.

"Kamu benar-benar kuat, karena tidak terpengaruh sedikit pun dengan hasutan dari makhluk-makhluk halus itu. Padahal aku sendiri pun sudah hampir menangis ketika mendengar semua hal buruk yang mereka sampaikan kepadamu mengenai keluargaku. Tapi kamu tetap memilih menggenggam kuat pada apa yang kamu percayai. Meski bisikan mereka membuatmu ingat dengan semua tragedi yang terjadi di dalam keluargamu, kamu tetap meneguhkan hatimu dan memilih untuk tidak berpaling."

Diah membalas pelukan itu dan membiarkan Farah menenggelamkan dirinya lebih lama lagi.

"Untuk apa berpaling? Setiap manusia jelas akan memilih sesuatu sesuai dengan keinginan hatinya. Jika tidak sesuai dengan keinginan hatinya, maka manusia tersebut tidak akan memilih dan justru akan mencari lagi sampai menemukan yang benar-benar sesuai dengan keinginan hatinya tersebut. Sejak kecil aku tidak pernah menatap suatu hal hanya dari satu sisi. Aku akan menatap semua sisi sampai puas, hingga akhirnya benar-benar tahu mana yang harus aku pilih. Mengapa begitu? Karena terkadang ada beberapa hal yang bisa membuat kita buta, padahal kita tidak buta. Apa saja beberapa hal itu? Tipuan dan kebohongan. Bagaimana? Apakah sekarang kamu sudah paham, mengapa aku memilih untuk tidak berpaling?" tanya Diah, sambil mengusap lembut rambut panjang Farah.

"Ya, sekarang aku paham. Aku benar-benar memahami jalan pikiranmu. Katakan, bagaimana bisa aku mudah sekali memahami jalan pikiran kamu, padahal kamu tidak terlalu banyak mengeluarkan kalimat?"

"Kalau untuk persoalan itu, sudah jelas alasannya adalah karena kamu benar-benar cerdas. Kamu bisa menangkap maksud orang lain dengan cepat, termasuk memahami perasaannya."

"Aku juga begitu," celetuk Raga, yang diam-diam sejak tadi sudah menatap ke arah Diah dan Farah.

Farah pun tertawa pelan, sementara Diah memilih tersenyum tanpa menanggapi celetukan Raga. Rosa dengan ikhlas melayangkan bantal sofa pada bahu putranya, setelah begitu berani mengusik pembicaraan antara Diah dan Farah.

"Kamu itu kalau diam saja apa bisa demam, Nak? Kok sepertinya senang sekali mengganggu Diah jika dia sedang bicara dengan Adikmu?" omel Rosa.

"Sudah biasa, Bude. Bahkan semalam pun Mas Raga mengganggu waktu curhatku dengan Diah, dengan cara sengaja meneleponnya berjam-jam sampai jam satu dini hari," adu Farah.

Baru saja Rosa hendak melanjutkan omelannya kepada Raga, pintu rumah yang tadinya sudah ditutup rapat mendadak terbuka lebar dengan sendirinya. Hal tersebut membuat semua orang menoleh ke arah yang sama dengan perasaan penuh kewaspadaan. Diah sendiri tetap tenang di tempatnya dan tidak melepaskan pelukan Farah. Sosok itu pun muncul tak lama kemudian. Membuat Rosa segera bangkit dari sofa dan berdiri tepat di samping Diah.

"Akhirnya kamu muncul juga. Setelah bertahun-tahun membuat orang lain menderita, akhirnya kamu keluar sambil membuka topengmu," sinis Rosa.

Fikri membungkam mulut Zainal agar tidak terus mengeluarkan ocehan. Ayu tidak melarang kali itu karena dirinya juga ingin mendengarkan pembicaraan yang terjadi di luar, bersama Rida dan Deden.

"Kalian sama sekali tidak terlihat kaget. Apakah ada di antara kalian yang sudah menebak, kalau aku adalah dalang dari semua tragedi yang terjadi di dalam Keluarga Prawira dan juga dalang atas penderitaan keturunan Keluarga Wardana?" tanya Rusdi.

Sejenak Deden tampak mengerenyitkan keningnya. Tidak ada satu pun yang memberi tahu Deden sejak tadi, bahwa Rusdi adalah dalang yang sebenarnya. Namun pria itu tampaknya mulai mengenali suara orang yang menyahuti sindiran dari Rosa, meski di luar tidak ada yang menyebut nama Rusdi sejak tadi.

"Ya, benar. Akulah orangnya," jawab Diah. "Akulah orang yang menebak soal itu. Aku tidak bisa berhenti berpikir bahwa tatapan anda begitu mencurigakan sejak pertama kali tahu soal kemampuanku melihat makhluk halus. Anda pura-pura berbicara dengan Paklik Eman, tapi anda tidak bisa melepaskan tatapan dari diriku. Mungkin akan lain ceritanya jika anda tidak melihatku dengan gerak-gerik mencurigakan. Mungkin aku masih mencoba menebak-nebak, siapa dalang yang sebenarnya sampai detik ini."

Rusdi menatap dengan tenang ke arah Diah. Laki-laki itu berusaha untuk tidak marah terhadap wanita tersebut, karena baginya Diah tidak perlu menerima kemarahan meski sudah melakukan kesalahan.

"Pulanglah, Diah. Aku akan mengampunimu jika kamu pulang sekarang juga," titah Rusdi.

Diah pun tertawa pelan, seraya mendekap Farah lebih erat dan mencium puncak kepala wanita itu.

"Mengampuni? Kenapa aku butuh pengampunan dari anda, padahal aku bukan seorang pendosa? Aku jelas tidak membutuhkan pengampunan dari anda. Karena yang sudah banyak berbuat dosa di antara kita adalah anda. Bukan aku dan bukan juga seluruh anggota Keluarga Wardana. Lagipula, kenapa aku harus mengharapkan pengampunan dari manusia? Anda bukan Allah dan aku tidak akan meminta ampunan selain kepada Allah. Aku harap anda paham," ujar Diah.

Rusdi pun mengepalkan kedua tangannya dengan sangat erat, usai mendengar jawaban yang Diah berikan. Amarahnya benar-benar memuncak dan tidak lagi bisa ia bendung.

"PULANG, DIAH! KAMU TIDAK BOLEH MEMILIH RAGA, KARENA AKU SUDAH BERENCANA UNTUK MENIKAHKAN KAMU DENGAN DEDEN! KAMU TIDAK BOLEH MENJADI ISTRI LAKI-LAKI LAIN SELAIN DARIPADA PUTRAKU!" bentak Rusdi kepada Diah.

Kedua mata Deden membola dalam sekejap, usai firasatnya teryakinkan dengan ucapan Rusdi sendiri. Pria itu langsung membuka pintu dan menatap marah ke arah Rusdi. Rusdi tampak kaget setengah mati ketika melihat Deden di rumah Keluarga Wardana. Raga langsung mendekat pada Deden untuk menahan pria itu.

"Jadi ... Bapak adalah dalang dari tragedi dan penderitaan bagi Keluarga Wardana dan Keluarga Prawira? Bukan kutukan yang membunuh anggota Keluarga Prawira? Bapakku sendiri yang membunuh seluruh keluarga itu dan hanya menyisakan Diah? Bapak!!! Jawab, Pak!!!" amuk Deden.

* * *

KUTUKAN (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang