19 | Membukakan Jalan

2.5K 166 5
                                    

- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE PERHARI
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

Rida dan Ayu terus banyak bercerita pada Diah, tentang hal apa saja yang terjadi selama dua belas tahun terakhir. Diah mendengarkan mereka dengan serius. Sesekali Diah tertawa jika ada yang lucu. Terkadang juga Diah ikut bersedih, jika ada bagian yang menyedihkan. Namun sebenarnya, pikiran Diah saat ini hanya tertuju pada Raga yang tadi dihadapinya secara berbeda dari pertemuan kemarin. Diah belum bertanya siapa namanya, sementara tadi dirinya sudah menyebutkan namanya sendiri beserta nomor telepon. Entah Raga akan mencoba menghubunginya atau tidak, ia tidak berharap banyak. Ia sadar bahwa pertemuan pertama kemarin adalah pertemuan yang sangat kacau.

Tidak seharusnya ia mempermalukan pria itu, meski dirinya merasa kesal dengan makhluk halus yang dilihatnya. Karena meski ia belum tahu mengapa Raga sampai bisa memiliki ilmu seperti itu, tampaknya Raga sendiri tidak berniat memiliki ilmu tersebut. Diah bisa menebak hal tersebut karena selalu saja melihat betapa ragunya pria itu, ketika makhluk yang mendampinginya membisikkan sesuatu. Seakan dia ingin terlepas dari makhluk itu, namun dia tidak bisa melakukannya.

"Alhamdulillah, akhirnya aku kenyang," ucap Ayu, dengan senyum manisnya yang tidak pernah memudar.

Rida dan Diah pun kompak menatap ke arah Ayu yang saat itu baru saja menandaskan es markisa dari gelasnya.

"Jelas kenyang, dong. Masa, iya, kamu masih enggak kenyang setelah melahap dua piring nasi goreng dan semangkuk mie ayam. Itu pun belum aku hitung sama es buah satu gelas dan es markisa dua gelas," sahut Rida.

"Kami akan merasa kaget kalau kamu mengatakan belum kenyang setelah melahap semua itu, Yu. Bisa-bisa kami akan akrobat di atas meja kalau itu sampai terjadi," tambah Diah, sambil menahan tawanya agar tidak lolos.

Ayu menatap sebal ke arah kedua sahabatnya tersebut.

"Kalian itu seperti tidak tahu saja kalau porsi makanku memang banyak. Tidak usah protes. Selama aku masih mau makan, berarti tandanya aku sehat wal 'afiat," balas Ayu, begitu santai.

"Kita sih enggak akan protes, Yu. Hanya saja setelah melihat porsi makanmu yang segunung itu, aku mendadak ingat wajah Mas Zain. Insya Allah aku doakan agar suatu saat dia akan menjadi orang yang menafkahi dirimu. Tapi jika memang demikian, berarti Mas Zain jelas harus banting tulang jauh lebih keras daripada yang saat ini tengah dia lakukan," ujar Diah.

Rida pun langsung tertawa ketika mendengar hal itu. Wajah Ayu sendiri mendadak memerah disertai ekspresi gemas terhadap Diah, yang selalu saja bicara terlalu terbuka di depan umum.

"Mantap, Di. Kamu jelas benar bahwa Ayu harus diingatkan soal kemungkinan bahwa dirinya akan berjodoh dengan Mas Zain. Biar dia tahu diri dan mencoba mengurangi porsi makannya. Agar dimasa depan Mas Zain tidak perlu mati-matian bekerja pagi, siang, malam," Rida setuju dengan yang Diah katakan.

"Heh! Sudah, cukup! Jangan keras-keras menyebut nama Mas Zain di depan umum! Aku malu kalau sampai Mas Zain tahu soal perasaanku untuk dia," cicit Ayu, sambil mencoba menutupi wajahnya dengan tisu.

"Lah, terus mau sampai kapan kamu memendam perasaanmu itu, Yu? Bagaimana kalau ternyata selama ini Mas Zain juga suka sama kamu, tapi terlalu takut untuk mengungkapkan padamu soalnya kamu selalu menghindari dia? Kamu akan menyesal kalau nanti sampai Mas Zain akhirnya memilih wanita lain, Yu. Jadi saranku, gas saja! Ungkapkan dan biarkan Mas Zain tahu soal perasaanmu sama dia," pancing Diah.

"Setuju! Lagian aku sudah bosan tahu, terus-terusan mendengar curhatmu soal Mas Zain, tapi kamu tetap saja tidak ada upaya untuk memberi tahu orangnya soal perasaanmu itu. Mau sampai kapan kamu mencintai tanpa mendapat balasan?" goda Rida.

"Jangan berandai-andai terlalu jauh. Yang suka sama Mas Zain itu banyak. Aku ini cuma serpihan batu kerikil, kalau dibandingkan dengan wanita lain yang suka sama dia. Semuanya akan indah kalau perasaanku berbalas. Tapi bagaimana kalau nyatanya perasaanku tidak berbalas? Mau disimpan di mana wajahku setiap kali bertemu dengan Mas Zain?" tanya Ayu, membalas semua dorongan yang Diah dan Rida lakukan.

"Kalau begitu mari kita berandai-andai," ajak Diah. "Seandainya Mas Zain punya perasaan yang sama terhadap kamu dan mencoba mendekatimu, kamu tidak akan menghindari dia, 'kan? Kamu akan membuka jalan untuk dia selebar mungkin, 'kan?"

Ayu terdiam sejenak. Rida menatap Ayu dengan serius sambil tersenyum penuh harapan. Keberadaan Diah di antara mereka berdua jelas selalu memberikan sesuatu yang berbeda. Diah adalah orang yang selalu memberikan dorongan positif terhadap Ayu maupun Rida.

"Kalau Mas Zain ketemu kamu dan dia menyapa, maka kamu akan balas menyapanya, 'kan? Kalau Mas Zain mau ajak kamu ngobrol atau ajak kamu jalan berdua, kamu akan setuju dengan ajakannya, 'kan?"

"Menurutmu gimana? Masa, iya, aku mau menolak kalau memang dia yang mulai duluan? Intinya, aku cuma enggak bisa memulai duluan, Di. Aku malu," jawab Ayu.

"Sip! Oke! Kita berdua akan mencatat jawabanmu itu, Yu! Nanti kita akan selalu mengingatkan kamu untuk memenuhi semua jawaban tadi, kalau seandainya Mas Zain ternyata ada sinyal-sinyal suka sama kamu dan mau pendekatan," sahut Rida, penuh semangat.

"Ya, betul! Aku akan melakukan hal yang sama, agar kamu dan perasaanmu tidak terombang-ambing terus gara-gara memendam suka terhadap Mas Zain," tambah Diah.

Diah pun segera mematikan sambungan teleponnya yang terhubung dengan Zainal sejak tadi. Zainal jelas senang sekali di kantornya selama mendengarkan pembicaraan ketiga wanita itu menggunakan earbuds, yang ternyata memang disengaja oleh Diah agar Zainal mendapatkan jalan untuk mendekat pada Ayu.

Diah kini sudah berjalan keluar dari warung makan bersama Rida dan Ayu. Ketiganya tidak sengaja berpapasan dengan Farah, yang ternyata akan kembali ke warung makan karena tadi lupa membeli sesuatu. Diah ingat wajahnya, meski tidak tahu siapa namanya. Farah terus saja berjalan sambil menundukkan wajah agar tidak ada yang memperhatikannya, namun hal itu sama sekali tidak membuat Diah mengabaikannya.

"Hai. Kamu mau ke mana? Kok sendirian?" tanya Diah.

Farah pun menghentikan langkahnya dan mengangkat wajahnya untuk menatap ke arah Diah. Rida dan Ayu juga menatap ke arah Farah seraya tersenyum. Mereka berdua tampaknya baru melihat sosok Farah dan tidak terlalu mengenalnya.

"Uhm ... anu ... aku tadi lupa membeli sesuatu di warung makan. Jadi, aku disuruh kembali lagi untuk membelinya," jawab Farah, dengan suara begitu pelan.

"Terus, yang tadi mengantarmu mana? Dia tidak mengantarmu lagi?"

"Mas Raga sudah kembali ke kantornya. Jadi, tidak ada yang mengantarku. Aku harus pergi sendiri."

"Oh ... dia sudah kembali ke kantor, ternyata. Ya sudah, ayo, biar kami yang antar. Kamu disuruh beli apa?" Diah merangkul Farah dengan santai.

* * *

KUTUKAN (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang