- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE PERHARI
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.* * *
Senyum pun mengembang lagi di wajah Diah, ketika Zainal menebak dengan tepat.
"Ya, persis seperti itu yang aku pikirkan. Aku sudah dewasa dan tidak ada yang berhak mengatur hidupku selain diriku sendiri. Mas Zain pun pasti akan melakukan hal yang sama jika ada di posisiku," ujar Diah.
"Mungkin, iya. Tapi mungkin juga, tidak. Aku mungkin akan lebih memilih mencari tahu dulu soal alasan Almarhumah Nenekmu memaksa Almarhumah Ibumu untuk melepaskan kalung itu. Karena, bukan tidak mungkin ada sesuatu di balik paksaan tersebut, bukan? Coba deh kamu pikirkan lagi," saran Zainal.
Diah terdiam selama beberapa saat, tanpa mengalihkan tatapannya dari wajah Zainal. Zainal sama sekali tidak merasa jengah ketika menerima tatapan yang begitu lama dari Diah. Ia tahu persis, bahwa tidak ada apa pun yang tersirat di balik tatapan wanita itu terhadapnya. Karena menurut Zainal, Diah masih sama saja seperti dulu, tidak pernah mengenal masa puber dan belum tertarik terhadap lawan jenis. Hidup Diah terlalu kaku dan penuh dengan hal-hal serius, sehingga wanita itu tidak punya waktu untuk memikirkan perasaan.
"Aku masih ingat yang Almarhumah Nenekku katakan ketika dia memaksa Almarhumah Ibuku melepaskan kalung ini, Mas."
"Oh, ya? Memangnya Almarhumah Nenekmu bilang apa waktu itu?" Zainal kini ingin tahu lebih jauh.
"Beliau bilang, 'Buka kalung itu sekarang juga! Kalung itu hanya akan membawa kesialan dalam hidupmu dan hidupnya Abdi! Karena sebelumnya kalung itu dipersiapkan dan akan diberikan kepada Rosa, bukan kepadamu! Jadi jangan pernah kamu memakainya lagi!'. Begitulah yang aku dengar, Mas."
Zainal pun menganggukkan kepalanya seraya tersenyum tenang. Menurut Diah, pria itu tampak tidak terlalu kaget setelah mendengar yang ia ceritakan. Seakan Zainal sudah tahu mengenai hal tersebut sejak lama.
"Selesaikan dulu makanmu, Di. Setelah itu, Insya Allah akan aku katakan semuanya padamu soal rahasia yang dirahasiakan oleh keluargamu dan juga siapa itu Sutomo Wardana ataupun Rosa," ujar Zainal.
Diah pun menganggukkan kepalanya, lalu segera mencoba menghabiskan makanan yang sudah ia pesan. Hanya butuh waktu lima belas menit bagi Diah untuk menandaskan isi piringnya. Kini yang tersisa hanyalah jus alpukat, karena Diah tidak mampu menghabiskannya sekaligus akibat terlalu dingin. Kopi yang Zainal pesan masih tersisa setengah cangkir. Pria itu tampaknya tidak ingin terburu-buru pergi dari coffee shop tersebut. Diah menduga kalau apa yang akan Zainal sampaikan cukup panjang dan sulit untuk diceritakan secara singkat.
"Keluarga Prawira dan Keluarga Wardana adalah dua keluarga besar yang begitu dikenal di Desa Benowo sejak dulu, Di. Kedua keluarga besar ini memiliki hubungan yang cukup baik. Bahkan, tidak terpikirkan oleh siapa pun di Desa Benowo kalau akhirnya akan terjadi masalah besar dikemudian hari antara kedua keluarga itu."
Diah berusaha mencerna dalam diamnya.
"Hm ... jadi awalnya kedua keluarga besar ini bestie-an, terus marahan, dan terjadilah perang? Gitu, Mas?" tanya Diah.
Zainal pun menepuk keningnya usai mendengar bagaimana caranya Diah menyingkat cerita yang ia jabarkan.
"Hm! Iya! Suka-suka kamu saja mau mengatakan apa. Intinya, ya, seperti itu. Berteman, musuhan, lalu perang," jawab Zainal, pasrah.
Diah kembali mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Terus ... alasannya kedua keluarga besar itu mendadak musuhan apa, Mas?"
Zainal mengubah posisi duduknya dan kini kedua sikunya bertumpu pada meja. Hal itu membuat Diah menduga bahwa sebentar lagi Zainal akan menceritakan inti masalah yang selama dirahasiakan darinya.
"Jadi awalnya, Keluarga Prawira memiliki kesepakatan dengan Keluarga Wardana. Yang mana isi kesepakatan itu adalah akan menjodohkan Putra dan Putri dari masing-masing keluarga, agar ikatan kekeluargaan dua keluarga besar itu semakin erat. Kalau Keluarga Wardana memiliki anak laki-laki dan Keluarga Prawira memiliki anak perempuan, maka mereka akan dinikahkan pada usia dua puluh satu tahun. Nah, begitu pula sebaliknya. Lalu ternyata, Keluarga Prawira hanya memiliki satu orang anak laki-laki bernama Abdi Hafian Prawira, yang tidak lain adalah Almarhum Ayahmu. Keluarga Wardana sendiri memiliki dua orang Putri. Putri pertamanya bernama Rosa Wardana dan Putri keduanya bernama Safira Wardana."
Zainal berhenti sejenak untuk meminum kopinya. Setelah pria itu meletakkan cangkirnya, tatapannya pun kembali tertuju pada Diah.
"Seperti yang sudah disepakati, Keluarga Wardana dan Keluarga Prawira akan menjodohkan Putra dan Putri mereka ketika sudah berusia dua puluh satu tahun. Keputusannya adalah, Almarhum Ayahmu akan menikah dengan Rosa Wardana, Putri pertama Keluarga Wardana. Semua persiapan sudah dilakukan. Rosa Wardana sama sekali tidak menolak ketika diberi tahu soal rencana perjodohan itu. Dia justru merasa senang karena bisa bersanding dengan Almarhum Ayahmu. Sayangnya, tidak begitu dengan Almarhum Ayahmu. Almarhum Ayahmu kaget setengah mati saat diberi tahu bahwa dirinya dijodohkan dan akan segera dinikahkan dengan Rosa Wardana. Almarhum Ayahmu menolak dengan keras perjodohan tersebut di depan Keluarga Wardana, karena dirinya sudah memiliki tambatan hati yang tidak lain adalah Almarhumah Ibumu. Akhirnya, Sutomo Wardana marah besar pada Almarhum Kakek dan Almarhumah Nenekmu. Meskipun Winarti Wardana, Istri dari Sutomo Wardana, sudah menyabarkan Putrinya untuk menerima keputusan dari Almarhum Ayahmu yang menolak dijodohkan dengannya, tetap saja hal itu tidak bisa membuat amarah Sutomo Wardana mereda. Pada malam itu, Sutomo Wardana mengucapkan kutukan untuk rumah Keluarga Prawira beserta seluruh penghuninya. Dia mengutuk dengan lantang, bahwa tidak akan ada satu orang pun yang bisa bertahan lama tinggal di dalam rumah itu dan seluruh penghuninya akan mati satu-persatu setelah mengalami penderitaan yang panjang."
Zainal mengakhiri ceritanya. Diah pun kembali meminum jus alpukat yang masih tersisa di gelasnya. Wanita itu tampak sedang memikirkan sesuatu.
"Setelah kutukan itu diucapkan oleh Sutomo Wardana, apakah ada hal yang terjadi?" tanya Diah.
"Tidak ada yang terjadi setelah kutukan itu dia ucapkan. Almarhum Ayahmu akhirnya menikahi Almarhumah Ibumu, lalu Rosa Wardana pun menikah satu tahun kemudian dengan laki-laki yang dipilihnya sendiri," jawab Zainal. "Justru kutukan itu mulai bekerja ketika Almarhum Ayahmu sudah punya tiga orang anak dan anak-anaknya sedang memasuki usia remaja. Ya ... saat itu kamu sendiri berusia ... uhm ... dua belas tahun, 'kan, kalau tidak salah?"
"Tiga belas, Mas. Saat semuanya bermula, usiaku tiga belas tahun," ralat Diah.
Diah kembali diam karena memikirkan beberapa kemungkinan. Zainal tidak mengusiknya dan lebih memilih menghabiskan sisa kopi di dalam cangkirnya. Seseorang mendekat ke arah mereka tanpa mereka sadari. Diah dan Zainal menoleh ke arah orang itu. Mereka berdua jelas tidak bisa menyembunyikan rasa kaget yang mereka rasakan.
"Hai. Kalian hanya berdua saja di sini? Apakah aku akan mengganggu obrolan kalian, jika ikut duduk bersama?" tanya Deden, yang sejujurnya juga tidak menyangka akan bertemu Diah dan Zainal di sana.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
KUTUKAN (SUDAH TERBIT)
Horor[COMPLETED] "Jangan pernah pulang ke sana, jika kamu tidak mau mati sia-sia." Itu adalah pesan terakhir dari Ibunya sebelum meninggal dunia akibat penyakit aneh yang sudah menggerogoti tubuhnya selama bertahun-tahun. Diah ingin sekali menuruti pesan...