39 | Harapan

2K 159 15
                                    

- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE PERHARI
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

Raga menatap ke arah Diah, yang saat itu sedang memperhatikan jalan setapak di belakang rumah Keluarga Wardana. Farah sedang diminta berdzikir lebih lama bersama Rida dan Ayu, setelah tadi mereka melaksanakan shalat ashar berjamaah. Diah pergi lebih dulu karena harus memastikan sesuatu pada gubuk yang dilihatnya tadi pagi bersama Fikri. Ia sedang memastikan bahwa di gubuk itu saat ini sedang ada yang melakukan sesuatu. Maka dari itulah ia mencoba mengintai diam-diam.

"Kamu sangat bernyali, karena berani menemui Ibuku seorang diri. Selama ini, tidak ada satu orang pun yang berani menemui Ibuku dan mengajaknya bicara empat mata seperti yang kamu lakukan tadi. Terutama jika itu adalah seorang wanita," ujar Raga.

"Oh ... sudah ada banyak wanita yang berupaya mendekatimu dan berusaha untuk mendapatkanmu, rupanya? Kamu pasti kecewa karena mereka tidak memiliki nyali besar sehingga memutuskan mundur sebelum berperang. Benar begitu?" tanya Diah, sambil berpura-pura tidak terlalu peduli.

Raga pun tersenyum. Ia merasa senang karena nada bicara Diah mendadak berubah dalam sekejap.

"Kamu cemburu, hm? Kamu pasti salah tangkap dengan apa yang aku maksud."

Tangan Diah kemudian digenggam dengan lembut oleh Raga, membuat pemiliknya gugup hingga tangan itu terasa dingin.

"Ya, beberapa memang berusaha mendekatiku meski aku tidak mau didekati oleh mereka. Tapi entah kenapa, mereka akhirnya berhenti sendiri karena takut menghadapi Ibuku. Karena saat Ibuku tahu bahwa aku tidak mau didekati oleh seseorang, dia akan langsung menghalangi orang itu dengan berbagai cara. Dia tidak mau aku menjalani sesuatu karena terpaksa, terutama jika aku merasa tidak nyaman. Apakah menurutmu itu karena pengaruh dari ilmu penjerat yang mengikat diriku?" tanya Raga.

"Mm ... itu jelas pengaruh dari ilmu penjerat yang mengikatmu. Makhluk yang mendampingimu selalu membisik agar kamu terpengaruh, termasuk saat ada wanita yang tertarik padamu. Ketika wanita itu menunjukkan ketertarikan padamu, maka dia akan membisik agar kamu tidak balas tertarik pada wanita itu. Tapi saat ada wanita yang membuatmu tertarik, tapi wanita itu tidak tertarik padamu, maka makhluk itu akan membisik di telingamu agar kamu menaklukkannya menggunakan ilmu penjerat," jelas Diah.

"Tapi kamu tidak begitu, 'kan? Kamu sudah menyukaiku sejak kita bertemu di Ekowisata Mangrove, begitu pula denganku. Lalu, kenapa makhluk itu masih membisik di telingaku untuk menggunakan ilmu penjerat agar kamu terjerat?" Raga merasa bingung.

Diah kini gantian tersenyum saat menatap ke arah Raga.

"Karena aku tidak menunjukkan padamu, bahwa aku menyukaimu sejak pertama kali menoleh dan menatap kedua matamu. Maka dari itulah dia tidak membisik di telingamu untuk tidak menyukai aku. Dia justru membisik agar kamu menggunakan ilmu penjerat, karena dia pikir aku tidak tertarik padamu. Kebetulan ... aku memang kesal padamu gara-gara cara kuno yang kamu pakai waktu itu. Jadinya ... dia tidak bisa menghalangiku ketika akhirnya berhasil masuk ke dalam kehidupanmu. Maka dari itulah dia merasa marah dan membuatmu kehilangan kendali, karena aku berhasil mencuranginya."

"Tapi dengan kamu mencurangi makhluk yang membisik terus di telingaku, akhirnya kamu berhasil membantu aku lepas dari ilmu penjerat itu. Kalau kamu tidak mencuranginya dan tidak berhasil masuk ke dalam hidupku, aku pasti masih berada di dalam lingkaran yang sama."

"Kalau pun aku gagal masuk ke dalam hidupmu gara-gara makhluk itu berhasil membisik telingamu agar kamu membenciku, aku akan tetap memaksa mendekat demi melepaskan ilmu penjerat itu dari hidupmu. Sejak awal aku tidak berharap sama sekali bahwa kamu akan membalas perasaanku. Aku meminta maaf atas kejadian di Ekowisata Mangrove waktu bertemu kamu lagi, hanya karena memang berniat ingin melenyapkan makhluk itu dari sisimu. Aku senang bisa mengenalmu, aku senang bisa bertemu denganmu. Tapi aku tidak pernah berharap terlalu jauh, karena aku selalu berpikir bahwa hidupku tidak akan lama dan akan segera berakhir seperti anggota keluargaku yang lain akibat kutukan yang tidak bisa diakhiri. Aku hanya merasa senang, karena ternyata aku bisa menyukai seseorang dan tahu bagaimana rasanya jatuh cinta," ungkap Diah.

Raga segera merangkul Diah dengan lembut, sehingga Diah bisa bersandar pada pundak pria itu.

"Di, tolong jangan pernah bicarakan soal kematian. Ibuku bilang, kamu meyakinkan dia untuk membiarkanmu melepaskan benda yang terikat di tanganku dengan satu kalimat. 'Sejak kapan nyawa seseorang bergantung pada benda seperti itu? Nyawa manusia itu ada di tangan Allah'. Jadi sekarang, mari kita pikirkan hal yang sama dengan yang kamu pikirkan waktu itu. Sejak kapan nyawa seseorang bergantung pada kutukan yang diucapkan oleh orang lain? Nyawa manusia itu ada di tangan Allah, dan jika belum waktunya, maka tidak akan ada yang bisa mengakhiri. Aku benar, 'kan?"

Diah pun mengangguk pelan. Ia masih bersandar pada pundak Raga dan sedang berharap hal yang sama dengan yang pria itu harapkan. Fikri melirik ke arah Zainal, karena tahu bahwa Zainal sedang menatapnya yang tidak melakukan apa-apa ketika Raga merangkul Diah, sehingga Diah bisa bersandar di pundak Raga.

"Percayalah, Zain, aku ingin sekali ceramah sejak tadi. Tapi karena mereka membahas soal kematian yang mungkin saja masih mengintai kehidupan Non Diah, lidahku rasanya jadi kelu dan sulit untuk mengucapkan apa pun kepada mereka. Kamu tahu betul, kalau Non Diah sudah kuanggap seperti Adikku sendiri selama ini. Aku tidak pernah membayangkan bagaimana kalau sampai terjadi apa-apa padanya. Entah bagaimana menyakitkannya hal itu bagiku, Zain. Aku tidak berani memikirkannya," bisik Fikri.

"Aku paham, kok. Makanya Aku enggak ngomong apa-apa sejak tadi. Membahas hal itu jelas akan membuat kamu semakin tidak tenang saat Diah tidak berada di hadapanmu. Lagipula, aku saat ini sedang tidak ingin menegur siapa pun. Aku lebih ingin tahu soal perasaanmu. Tadi pagi Diah chat aku, katanya kamu mengakui kalau suka sama Farah tapi tidak berharap lebih karena perkara kasta. Benar, begitu?" tanya Zainal.

"Uh ... apakah ponselnya Non Diah harus aku buang secara diam-diam, ya? Kok sejak dia punya nomor ponselmu, rasanya aku jadi enggak bisa punya rahasia," gemas Fikri.

"Oh ... ternyata itu adalah berita yang benar dan kamu berusaha merahasiakannya. Lalu, apakah Farah sudah tahu soal perasaanmu terhadapnya?"

"'Kan judulnya 'rahasia', Zain. Kalau Farah tahu soal perasaanku, itu namanya bukan rahasia dong. Cobalah untuk tidak membuatku darah tinggi, Zain. Ya Allah ... kenapa kamu harus sekompak itu dengan Ayu, sih, dalam urusan membuat orang lain darah tinggi?" gerutu Fikri.

"Ekhm! Sekarang sepertinya isi hatimu sudah tidak jadi rahasia lagi, Nak Fikri. Soalnya saya dan Ayahnya Farah sudah mendengar langsung pengakuanmu soal perasaanmu terhadap Farah," tegur Yunus, yang ternyata sejak tadi ada di belakang kedua pria itu.

* * *

KUTUKAN (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang