- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE PERHARI
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.* * *
"Non Diah tidak mau sarapan dulu? Non Diah belum sarapan sejak tadi," Laila mencoba membujuk.
Sejujurnya Laila merasa tidak enak pada Diah, karena dirinya harus ikut menyembunyikan hal yang seharusnya Diah ketahui. Ia menyadari bahwa Diah kini sedang menjaga jarak setelah mendapat jawaban dari Eman. Ia kenal betul dengan Diah, ia tahu bahwa Diah tidak bisa diperlakukan keras oleh seseorang. Semakin keras perlakuan yang Diah terima, maka Diah akan semakin menjauh.
"Aku tidak lapar, Bulik. Nanti saja aku makan di rumah setelah pulang jalan-jalan," jawab Diah, setelah selesai memakai sepatunya.
"Non Diah tidak mau ditemani? Aku akan mandi dulu dan bersiap-siap, jika Non mau menunggu," tawar Fikri.
"Tidak usah, Mas. Aku bisa pergi sendiri. Aku sudah dewasa dan tidak perlu dikhawatirkan akan hilang seperti anak kecil. Aku pergi dulu. Assalamu'alaikum," pamit Diah.
"Wa'alaikumsalam," jawab Laila dan Fikri, kompak.
Diah segera keluar dari rumah karena taksi online yang di pesannya sudah menunggu. Eman tampak sedang bicara dengan Rusdi, sehingga tidak mengetahui bahwa Diah keluar dari rumah. Fikri sendiri langsung mencoba melacak perjalanan yang dituju oleh Diah. Namun sayangnya, Diah ternyata memilih mematikan ponselnya sehingga tidak bisa dilacak oleh Fikri. Hal itu tentu saja membuat Fikri kesal setengah mati. Padahal tanpa Fikri tahu, Diah memang tidak membawa ponselnya yang kemarin sudah ditanamkan aplikasi pelacak oleh pria itu.
Perjalanan yang Diah tempuh untuk tiba di tempat tujuan hanya menghabiskan waktu kurang dari tiga puluh menit. Diah segera turun dari taksi online setelah membayar ongkos perjalanan. Langkah wanita itu kini tertuju pada sebuah coffee shop bernama Völks Coffee. Tempat itu adalah coffee shop yang disepakati menjadi tempat bertemu dengan orang yang ia tuju. Diah sengaja memilih tempat paling pojok di coffee shop tersebut. Seorang pelayan mendekat sambil membawakan daftar menu. Orang yang dituju oleh Diah datang tak lama kemudian, tepat saat Diah masih memilih-milih menu.
"Hai, Di. Sudah lama menunggu?" tanya Zainal.
Diah pun tersenyum ketika melihat Zainal di hadapannya.
"Hai, Mas. Aku baru saja tiba. Ini baru mau pilih menu, soalnya aku belum sarapan di rumah," jawab Diah.
"Eh? Belum sarapan? Ini sudah jam sepuluh, Di. Cepatlah pilih menunya biar perutmu bisa segera diisi. Kamu bikin aku jadi was-was saja," ujar Zainal, sambil memperlihatkan kekhawatirannya.
Diah pun segera menunjuk menu yang diinginkan agar pelayan bisa segera mencatatnya. Setelah itu Zainal juga ikut memesan, namun hanya kopi saja yang dipesan oleh pria itu tanpa ada makanan. Setelah pelayan pergi dari hadapan mereka, Zainal pun kembali menatap ke arah Diah.
"Jadi, apa yang ingin kamu tanyakan padaku? Dan ... kenapa kamu memilih menanyakannya padaku, bukan kepada Fikri atau Deden?"
Diah kembali tersenyum sambil menghela nafasnya perlahan-lahan. Diah terlihat sedang mencoba menahan sesuatu di dalam hatinya, meski hatinya sendiri sudah lama berontak akibat merasa penasaran. Zainal bisa melihat kalau Diah sedang merasa sedikit tertekan dengan kehidupannya sendiri. Wanita itu memang selalu tersenyum di depan siapa pun. Namun di balik senyumnya, ada hal berat yang dia tanggung dan harus dia hadapi. Hal itulah yang membuat Zainal tidak mampu merahasiakan apa pun dari Diah sejak kemarin. Meski Fikri akan marah padanya, ia jelas akan lebih memilih untuk jujur pada Diah demi membantu meringankan beban hidup wanita itu.
"Aku rasa Mas Zain sudah tahu tentang alasan kenapa aku tidak bertanya-tanya pada Mas Fikri. Mas Fikri jelas tidak akan memberikan aku jawaban. Dia justru akan mencoba menghalang-halangi aku dan mencoba menghentikan keinginanku dengan cara apa pun. Sementara Mas Deden ... benar adanya, bahwa dia mungkin bisa memberiku jawaban atas pertanyaan yang aku ajukan. Tapi karena dia terlalu sering khawatir ketika aku berhadapan dengan makhluk halus, maka pada akhirnya dia pasti akan memilih mengikuti yang Mas Fikri lakukan. Dia akan ikut menutupi rahasia keluargaku yang ingin sekali aku ketahui."
Zainal pun menganggukkan kepalanya, pertanda bahwa ia memang sudah tahu kalau hal itulah yang akan terjadi ke depannya.
"Maka dari itulah aku memilih untuk mencari tahu dari Mas Zain. Aku yakin, Mas Zain tidak akan membuatku tersesat. Persis seperti dulu, ketika aku salah mengambil jalan menuju rumah dan hanya berputar-putar di kebun bambu. Kalau Mas Zain tidak menuntunku sampai ke rumah, maka aku mungkin tidak akan bisa pulang malam itu," ujar Diah, yang masih mengingat kenangan masa kecilnya.
"Ya mana mungkin aku enggak mengantarmu pulang, 'kan? Aku enggak mau dijuluki sebagai manusia paling jahat oleh siapa pun. Karena aku melihat keberadaanmu yang kebingungan, tentu saja aku langsung mendekat dan mengantarmu pulang. Lagian saat itu aku takut kamu digondol oleh wewe gombel, yang kata warga Desa sering wara-wiri di kebun bambu itu," balas Zainal.
"Sekarang, kebun bambu di dekat rumah Mas Zain masih ada?" Diah ingin tahu.
"Sudah enggak ada. Sudah lama diratakan oleh developer dan dibangun perumahan."
"Wah ... berarti wewe gombel yang dulu tinggal di kebun bambu itu sekarang jadi gelandangan, dong?"
Zainal ternganga usai mendengar yang Diah katakan. Pelayan datang membawa pesanan mereka tak lama kemudian. Hal itu membuat Zainal tidak bisa menceramahi ucapan Diah, soal wewe gombel di kebun bambu dekat rumahnya dulu. Diah langsung menyantap makanan yang di pesannya, karena sudah benar-benar merasa lapar. Zainal sendiri meminum pelan-pelan kopinya yang masih panas.
"Tadi pagi aku mendapat serangan dua kali dari makhluk halus yang ternyata selama ini berdiam di gudang. Aku pingsan dan Mas Fikri yang menemukan diriku di sana. Saat tengah tidak sadarkan diri itulah aku memimpikan sesuatu. Dalam mimpi itu, aku melihat Almarhum Kakek dan Almarhumah Nenekku tengah berdebat dengan seseorang. Aku tidak melihat jelas wajah orang itu, tapi aku mendengar kalau Almarhum Kakekku memanggilnya Sutomo Wardana. Saat aku sadar dari pingsan, aku langsung bertanya pada Mas Fikri soal siapa itu Sutomo Wardana. Tapi bukan jawaban yang aku dapatkan, melainkan ucapan tegas dari Paklik Eman soal mereka yang akan memegang rahasia Keluarga Prawira tanpa memberi tahu aku," tutur Diah.
Zainal mendengarkan dengan seksama, sambil menilai yang ia dengarkan sebelum memberikan masukan ataupun nasehat kepada Diah.
"Oh ya, saat di gudang tadi aku kembali menemukan kalung milik Almarhumah Ibuku. Ini dia," Diah menunjukkan kalung yang dipakainya kepada Zainal. "Aku masih ingat kalau dulu Almarhumah Nenekku memaksa Almarhumah Ibuku untuk melepaskan kalung ini, meski tahu kalau kalung ini adalah hadiah istimewa pemberian dari Almarhum Ayahku. Aku tidak tahu alasannya apa, sehingga Nenek meminta Ibu melepaskan kalung ini dengan nada begitu marah."
"Lalu saat kamu menemukannya, kamu pun berinisiatif untuk memakainya karena merasa tidak akan ada yang berani melarangmu? Benar begitu?" tebak Zainal, seakan bisa membaca isi pikiran Diah.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
KUTUKAN (SUDAH TERBIT)
Horror[COMPLETED] "Jangan pernah pulang ke sana, jika kamu tidak mau mati sia-sia." Itu adalah pesan terakhir dari Ibunya sebelum meninggal dunia akibat penyakit aneh yang sudah menggerogoti tubuhnya selama bertahun-tahun. Diah ingin sekali menuruti pesan...