36 | Bicara Empat Mata

2K 167 21
                                    

- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE PERHARI
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

Rusdi kembali ke rumahnya sambil menahan amarah. Yunita menatap suaminya dengan penuh rasa heran, karena tidak biasanya Rusdi memasang wajah marah seperti itu. Rusdi yang ia kenal selama ini adalah orang yang tenang ketika menghadapi apa pun. Entah kenapa hal itu tampaknya tidak berlaku hari ini. Rusdi seakan sedang menghadapi masalah yang tidak ada jalan keluarnya, sampai tidak menyadari bahwa wajah marahnya terlihat dengan jelas.

"Ada apa, Pak?" tanya Yunita.

"Tidak ada apa-apa, Bu," jawab Rusdi, datar.

"Kalau tidak ada apa-apa, kenapa wajah Bapak terlihat seperti sedang menahan amarah?"

Rusdi pun berbalik dan menatap ke arah istrinya.

"Jangan banyak tanya. Diam saja di rumah seperti biasa dan menunggu sampai Deden pulang kerja. Aku pergi dulu. Ada urusan yang harus segera diurus," jelas Rusdi.

Rusdi kemudian pergi begitu saja tanpa memberikan penjelasan apa pun pada Yunita. Meski masih merasa heran, akhirnya Yunita pasrah saja dan membiarkan Rusdi pergi tanpa mengejarnya.

Diah sudah berada di rumah Keluarga Wardana, setelah tadi bicara empat mata bersama Rusdi. Rosa duduk di hadapannya, setelah menyajikan es markisa dan juga beberapa cemilan. Pintu rumah itu sengaja ditutup sesuai dengan permintaan Diah, agar tidak ada satu orang pun yang bisa mendengarkan pembicaraan mereka.

"Aku yakin, kalau kamu tahu persis bahwa Raga sedang tidak ada di rumah saat ini. Raga ada di kantornya dan sedang bekerja. Jadi ... ada perlu apa sehingga kamu datang bertamu seorang diri? Padahal biasanya kamu selalu ditemani oleh kedua sahabatmu atau oleh Nak Fikri dan temannya, yaitu Nak Zain," Rosa ingin segera tahu.

"Maaf, apabila kedatanganku siang ini mengganggu aktivitas anda, Bu Rosa. Jujur saja, kedatanganku kali ini tidak ada hubungannya dengan Raga. Aku datang ke sini sebagai perwakilan anggota Keluarga Prawira, dan ingin bicara dengan anda sebagi perwakilan anggota Keluarga Wardana," ujar Diah.

Rosa pun menatap ke arah Diah dengan serius, usai mendengar apa yang wanita itu katakan. Diah mengeluarkan sebuah amplop lusuh dari balik jaketnya, yang tidak lain adalah surat milik Almarhum Kakeknya yang dikirim dari Almarhum Sutomo. Rosa memperhatikan amplop itu dan mulai merasa penasaran.

"Ini adalah surat dari Almarhum Bapak anda, Bu Rosa. Surat ini dikirimkan oleh Beliau kepada Almarhum Kakekku, tepat sebelum kami sekeluarga pindah ke Bogor dua belas tahun lalu. Surat ini aku temukan pada laci pribadi Almarhum Kakekku setelah aku kembali ke rumah keluargaku beberapa hari lalu. Aku menggeledah laci itu untuk mendapat jawaban atas semua hal buruk yang terjadi pada keluargaku. Dan aku akhirnya menemukan surat ini."

"Apa isi suratnya? Apakah sudah kamu baca?" tanya Rosa.

Diah pun mengangguk.

"Mungkin hal itu terdengar tidak sopan, karena aku telah berani membaca surat pribadi seseorang. Tapi akan aneh rasanya, jika aku belum membaca surat itu tapi sudah membawanya ke hadapan anda."

"Lupakan soal sopan santun untuk saat ini. Katakan, apa isi surat itu?"

"Anda tidak ingin membacanya sendiri, Bu Rosa?" tawar Diah.

Rosa menggeleng dengan cepat.

"Aku tidak siap membacanya. Aku takut kalau isinya adalah kalimat berisi kutukan yang ditulis oleh Almarhum Bapakku hanya karena begitu membenci Keluarga Prawira. Aku tidak siap, karena hal itu jelas bisa merusak hubungan baik yang sedang kamu coba bangun kembali terhadap keluarga ini. Aku tidak siap, karena kamu adalah wanita yang dipilih sendiri oleh Putraku dan sangat dia cintai. Aku tidak siap, karena kamu sekarang adalah calon menantuku. Aku tidak ingin kehilangan apa pun lagi. Maaf, sebaiknya memang aku tidak membaca surat itu," ungkap Rosa, apa adanya.

Diah pun meletakkan surat itu ke atas meja. Rosa masih menatapnya sambil berusaha keras untuk tidak menangis di depan Diah. Perasaannya selalu saja sulit dikendalikan jika teringat dengan masa lalu. Ada sesal yang besar dalam hatinya, karena dulu ia tidak berupaya lebih keras untuk membujuk Sutomo agar berhenti membenci Keluarga Prawira.

"Boleh aku minum lebih dulu, Bu Rosa?" tanya Diah.

"Ya, silakan," jawab Rosa. "Uhm ... kalau boleh tahu, kenapa kamu terus memanggilku 'Bu', sementara kamu memanggil Adikku dengan panggilan 'Bulik'? Apakah menurutmu memang harus ada yang dibedakan di antara kami?"

Diah pun kembali meletakkan gelas ke atas meja setelah minum beberapa teguk. Wanita itu tersenyum lagi, usai mendengar pertanyaan yang Rosa ajukan.

"Sejujurnya, aku merasa ragu ingin memanggil anda 'Bulik' seperti kepada Bulik Safira. Anda ... pernah punya masa lalu yang buruk dengan Almarhum Ayahku. Jadi aku merasa tidak pantas untuk beranggapan bahwa kita akan bisa menjadi akrab, hanya karena aku dan Raga saat ini ... ya ... seperti yang anda tahu. Jadi, memanggil anda Bu Rosa sepertinya jauh lebih baik ...."

"Aku tidak pernah menyalahkan Almarhum Ayahmu atas batalnya perjodohan antara diriku dengannya," potong Rosa. "Satu-satunya yang aku salahkan dalam masalah itu adalah seseorang yang sudah memperkenalkan Almarhum Ayahmu kepada Almarhumah Ibumu, padahal dia tahu kalau Almarhum Ayahmu akan dijodohkan denganku. Ya ... sebenarnya salahku juga karena telah memberi tahu dia soal perjodohan itu. Aku tidak pernah berpikiran buruk padanya dan tidak pernah menyangka bahwa ternyata dia menaruh rasa padaku, sehingga dengan entengnya kukatakan soal perjodohan yang akan aku jalani dengan Almarhum Ayahmu. Dia akhirnya mencurangi aku dan memperkenalkan Almarhum Ayahmu kepada Almarhumah Ibumu, karena dia tahu bahwa Almarhum Ayahmu tidak tahu mengenai rencana perjodohan itu," tutur Rosa.

"Dan dia tidak menyangka bahwa pada akhirnya anda akan tetap menolak dia, ketika dia merasa bahwa Almarhum Ayahku tidak akan lagi menjadi penghalang bagi keinginannya? Benar begitu, Bu Rosa?" tebak Diah

"Ya. Itu benar. Dia tidak menyangka bahwa aku akan menolak dia, ketika Almarhum Ayahmu telah menikahi Almarhumah Ibumu satu bulan setelah perjodohan itu batal. Aku sudah tahu niat busuknya pada saat dia datang ke hadapanku dan mencoba melamarku, dengan dalih ingin menjadi pelipur lara untukku yang sudah disakiti oleh Almarhum Ayahmu. Pada saat itu jugalah aku menolaknya dan pergi dari sini ke kota lain. Setelah itu barulah aku bertemu dengan Ayahnya Raga dan kami menikah. Dia merasa tidak terima, lalu mengutarakan kebenciannya padaku secara terang-terangan. Aku tidak peduli. Tapi sejak itu, ada yang aneh dengan Almarhum Bapakku. Sikap Almarhum Bapakku semakin misterius, seakan ada sesuatu yang disembunyikan olehnya dari kami. Sampai akhirnya ketika Almarhum Bapakku akan meninggal, dia meminta Raga menemuinya dan memindahkan ilmu penjerat itu kepada Raga. Pada saat itulah kami baru tahu bahwa Almarhum Bapak selama ini, sejak aku menikah dengan Mas Yunus, Beliau telah mempelajari ilmu yang tidak wajar hanya demi menuntaskan dendamnya kepada Keluarga Prawira."

* * *

KUTUKAN (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang