8 | Amplop Lusuh

3K 206 2
                                    

- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE PERHARI
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

Deden segera meraih ponselnya ketika melihat nama Fikri tertera pada layar. Ia mengangkat telepon tersebut seraya beranjak ke arah jendela kamarnya, agar bisa melihat rumah Keluarga Prawira.

"Halo, assalamu'alaikum Fik. Bagaimana? Apakah Diah sudah pulang?" tanya Deden.

Sejak tadi pria itu tidak bisa tenang, setelah Diah pergi dari warung makan tanpa ditemani oleh siapa pun. Ia merasa resah dan terus menantikan kabar dari Fikri. Ia tidak berhenti berdoa agar Diah selalu baik-baik saja, di mana pun wanita itu berada.

"Wa'alaikumsalam, Den. Alhamdulillah Non Diah sudah kembali ke rumah. Saat ini dia sedang berada di kamarnya. Mungkin dia kelelahan setelah pergi jalan-jalan sendirian," jawab Fikri.

"Alhamdulillah, kalau begitu. Aku saat ini sedang mengawasi rumah Keluarga Prawira dari jendela kamarku. Belum ada tanda-tanda adanya makhluk lain yang datang ke sana," ujar Deden.

"Kalau ada makhluk lain yang datang lagi dan membuat keributan agar kami semua merasa tidak betah tinggal di sini, maka Non Diah pasti akan keluar dari kamarnya dan mengurus makhluk itu sampai benar-benar pergi. Dia pasti akan mengamuk lagi pada makhluk-makhluk halus yang datang, seperti yang kamu lihat tadi," tanggap Fikri.

Dalam hati, Deden membenarkan yang baru saja Fikri katakan. Diah jelas akan mengamuk lagi seperti tadi. Dia akan kembali meluapkan amarahnya ketika ada makhluk halus yang datang ke rumahnya. Hal itu jelas tidak bisa dicegah oleh Fikri ataupun Deden. Diah jelas berhak marah jika merasa terganggu.

"Mungkin yang Diah lakukan itu adalah luapan amarahnya, setelah selama ini terus menghadapi siklus kehidupan yang sama dan penuh dengan misteri. Dia ingin tahu apa masalah sebenarnya, namun seluruh anggota keluarganya tidak ada yang mau memberi tahu. Sekarang, dia bisa dengan bebas meluapkan amarahnya karena merasa sudah tidak akan ada lagi yang menghalangi dirinya. Seluruh anggota keluarganya telah meninggal dunia. Hanya dirinya yang tersisa dan dia merasa sendirian. Jadi dia memutuskan untuk meluapkan amarahnya pada makhluk halus yang datang mengganggu ke rumah itu, sebagai manifestasi rasa kehilangannya yang begitu mendalam," duga Deden.

Fikri kini memikirkan dugaan itu sambil terus menatap ke arah pintu kamar Diah yang masih tertutup rapat. Deden benar, Diah pasti merasakan kesedihan yang begitu mendalam, sehingga tidak dapat mengontrol amarahnya ketika ada makhluk halus yang mengganggu. Satu-satunya jalan bagi Diah untuk menghibur diri saat ini adalah dengan cara meluapkan amarah tersebut. Karena Diah mungkin saja sudah lama memendam semua amarah dan kesedihannya selama dua belas tahun terakhir. Fikri ingat betul dengan sifat Diah. Dia adalah sosok paling penurut di dalam Keluarga Prawira, terutama kepada kedua orangtuanya. Jika kedua orangtuanya mengatakan untuk tidak bertanya-tanya soal apa yang terjadi di dalam keluarga mereka, maka Diah tidak akan memaksa sampai mendapat jawaban. Diah akan memendam rasa ingin tahunya dan berdiam diri demi mematuhi keinginan orangtuanya.

"Kalau begitu aku tutup dulu teleponnya, Den. Akan aku kabari lagi padamu jika Non Diah keluar dari kamarnya dan melakukan sesuatu," ujar Fikri.

"Ya, aku akan tunggu kabar selanjutnya darimu. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Fikri kembali menyimpan ponselnya ke dalam saku celana. Ia kemudian beranjak menuju teras, tanpa tahu kalau tak lama kemudian Diah akhirnya keluar dari kamar. Diah sudah mengintip dari lubang kunci sejak tadi. Ia tahu kalau Fikri sedang mengawasinya, meski tidak tahu pria itu bicara di telepon dengan siapa. Diah segera menutup kembali pintu kamarnya pelan-pelan, lalu beranjak menuju ke arah kamar yang dulu ditempati Almarhum Kakek dan Almarhumah Neneknya. Ia masih memegang semua kunci kamar di rumah itu. Ia mendapatkannya dari laci pribadi milik Almarhumah Ibunya di rumah mereka yang ada di Bogor. Dengan kunci itu, ia membuka pintu kamar yang ditujunya dan menutupnya rapat-rapat dengan perlahan agar tidak ada suara sama sekali.

Saat dirinya telah berada di dalam kamar itu, Diah mulai menatap ke semua arah. Kamar itu masih sangat rapi, karena Laila jelas selalu membersihkannya dengan teratur meski sudah lama tidak ditempati. Diah melangkah pertama kali menuju lemari pakaian dan mencoba mencari apa pun yang bisa memberinya petunjuk. Ia benar-benar merasa penasaran tentang orang yang begitu membenci Almarhum Kakek dan Almarhumah Neneknya. Ia ingin menemukan orang itu, ia ingin tahu kutukan seperti apa yang dilakukan si pembenci sehingga keluarganya harus menanggung semua penderitaan yang sulit diakhiri.

Dalam lemari pakaian itu Diah tidak menemukan apa pun. Diah segera beranjak menuju sebuah lemari yang hanya terdiri dari susunan laci. Satu-persatu laci itu dibukanya dan diperiksa. Ada banyak sekali barang yang tersimpan di sana, terutama berkas-berkas yang sepertinya sangat penting. Kedua mata Diah akhirnya tertuju pada sebuah amplop yang tampak sudah sangat lusuh, di bagian dasar salah satu laci paling bawah. Ia mengambil amplop tersebut, lalu mengeluarkan isinya dan mulai membaca. Kedua matanya membola dalam sekejap, namun mulutnya tidak bisa mengatakan apa-apa karena merasa begitu kaget akan isi dari surat yang tengah ia baca.

Diah belum selesai membaca isi surat yang ditemukannya tersebut, ketika adzan ashar berkumandang. Ia bergegas menutup kembali laci yang dibukanya, sementara surat tadi ia masukkan kembali dalam amplop dan ia sembunyikan di balik baju. Diah tahu bahwa kamarnya akan diketuk oleh Fikri, sebab pria itu akan mengingatkan Diah untuk shalat ashar. Kebiasaan Fikri pastinya belum berubah, jadi Diah harus selalu mengantisipasi semua gerak-gerik pria itu.

Ia kembali keluar dari kamar milik Almarhum Kakek dan Almarhumah Neneknya. Tidak lupa ia segera mengunci pintu kamar itu dan menyembunyikan kuncinya kembali. Namun baru saja ia akan berjalan menuju kamarnya, sosok Fikri pun terlihat sudah mendahului Diah dan akan mengetuk pintu kamar wanita itu. Diah segera memutar otak agar Fikri tidak curiga bahwa dirinya baru saja berkeliaran tanpa sepengetahuannya. Ia memutuskan berbelok ke dapur dan berpura-pura mengambil air minum.

"Non Diah. Non? Sudah waktunya shalat ashar. Bangun, Non," panggil Fikri, seraya mengetuk pintu kamar Diah.

Diah pun keluar dari dapur sambil membawa segelas air yang sengaja ia isi hanya setengah gelas saja. Ia melakukan itu agar Fikri percaya bahwa dirinya sudah meminum air tersebut, sehingga airnya tidak lagi penuh di dalam gelas.

"Iya, Mas Fikri. Aku juga sudah dengar adzan berkumandang, kok," tanggap Diah.

Fikri pun berbalik dan melihat wanita itu berada di ambang pintu dapur sambil memegangi gelas. Fikri tidak curiga sama sekali, karena pria itu berpikir bahwa Diah baru saja dari dapur untuk mengambil air minum. Fikri pun tersenyum ke arah Diah seperti biasanya.

"Kalau begitu aku pergi dulu ke masjid, Non. Deden sudah menungguku di luar," pamit Fikri.

"Iya, Mas. Hati-hati di jalan," pesan Diah, sewajar mungkin.

* * *

KUTUKAN (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang