17 | Kecemburuan

2.5K 172 9
                                    

- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE PERHARI
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

Diah dan Zainal sama-sama menggelengkan kepalanya, setelah mendengar pertanyaan yang Deden ajukan.

"Tentu saja enggak akan ada yang keberatan, Mas Deden. Silakan ikut duduk bersama kami," jawab Diah.

Deden pun segera duduk tepat di samping Zainal yang kini sudah berpindah ke kursi sebelahnya. Pesanan Deden datang tak lama kemudian, lalu disajikan oleh pelayan ke hadapannya.

"Kalian berdua tampaknya sudah akan pergi. Makanan dan minuman yang kalian pesan sudah habis," ujar Deden, seraya memperhatikan isi meja itu.

"Kami masih ingin bersantai di sini, Den. Makanlah, jangan risaukan makanan dan minuman kami yang sudah habis," saran Zainal.

"Mas Zain benar. Mas Deden makan saja dengan tenang. Kami tidak akan pergi sampai Mas Deden selesai makan," tambah Diah, berusaha meyakinkan Deden.

Deden pun tersenyum, kemudian segera fokus pada makanan yang sudah dipesannya.

"Kalau boleh tahu, kenapa kalian bertemu di sini dan hanya berdua?"

Diah dan Zainal pun saling menatap satu sama lain tanpa Deden ketahui. Mereka berdua jelas tidak ingin Deden tahu bahwa Zainal telah menceritakan semuanya pada Diah, mengenai rahasia yang dirahasiakan oleh seluruh anggota Keluarga Prawira dari wanita itu.

"Diah sedang bosan di rumah, Den. Dia bilang padaku bahwa dia sudah mencoba hubungi kamu berulang-ulang kali, tapi tidak aktif. Aku jelaskan padanya ketika dia telepon aku, bahwa ponselmu memang tidak akan aktif kalau kamu ada di tempat kerja. Setelah tahu tentang hal itu, dia mengajak aku ketemu di sini," jawab Zainal.

"Itu benar. Tadinya, Mas Deden yang mau aku ajak ketemu di sini. Tapi karena Mas tidak bisa diganggu saat ada di tempat kerja, makanya aku lebih memilih mengganggu Mas Zain."

Deden pun mencoba mempercayai jawaban dari Diah dan Zainal, meski dalam hatinya ada sedikit keraguan. Pria itu mulai menikmati makanannya, sambil sesekali menatap ke arah Diah ataupun Zainal.

"Bagaimana di tempat kerjamu hari ini, Den? Semuanya baik-baik saja?" tanya Zainal.

"Mm ... alhamdulillah semuanya baik-baik saja. Kamu sendiri bagaimana? Apakah kamu tidak akan kena marah karena berlama-lama pergi dari kantor, demi menemui Diah di sini?" Deden bertanya balik.

Zainal tahu ke mana arah pertanyaan Deden saat itu. Meski Deden tidak memperlihatkan ekspresi apa pun di wajahnya, namun sudah jelas bahwa pria itu sedang merasa cemburu dengan kedekatannya bersama Diah. Diah justru tidak paham dengan apa maksud pertanyaan Deden kepada Zainal. Wanita itu memang tidak pernah memahami tentang perasaan dari lawan jenis, karena dirinya sendiri pun belum pernah merasakan sesuatu terhadap lawan jenis.

"Aku sudah meminta izin pada atasanku, Den. Jadi tidak perlu ada yang dikhawatirkan," Zainal menjawab seadanya.

"Uhm ... aku ke toilet sebentar, ya," pamit Diah.

Kini hanya tersisa Deden dan Zainal di meja itu. Keduanya saling menatap satu sama lain dalam diam.

"Kamu enggak perlu cemburu, Den. Kamu tahu sendiri, kalau aku suka sama Ayu selama ini. Perasaanku enggak mungkin beralih pada Diah. Kamu tenang saja," ujar Zainal.

"Aku hanya ingin memastikan," aku Deden, jujur.

"Kamu mau memastikan bahwa aku enggak akan menjadi sainganmu untuk mendapatkan Diah? Kalau ada yang perlu kamu pastikan perasaanya, seharusnya itu bukan aku. Kamu harus memastikan perasaan Fikri. Dia ada kemungkinan punya perasaan terhadap Diah, Den. Aku lihat sendiri bagaimana cara Fikri memperhatikan Diah, ketika kamu dan Diah sedang mengobrol di warung makan. Ya ... meskipun aku enggak tahu, apakah itu hanya bagian dari cara Fikri menjaga Diah atau sekedar cara dia mencegah agar tidak ada rahasia Keluarga Prawira yang bocor ke telinga Diah. Tapi enggak ada salahnya kalau kamu memastikan soal perasaannya Fikri, bukan?"

Deden pun terdiam usai mendengar yang Zainal katakan. Ia tidak pernah berpikir bahwa Fikri bisa memiliki perasaan terhadap Diah. Tapi Zainal jelas bukan orang yang asal menebak ketika melihat gerak-gerik seseorang. Apa yang Fikri lakukan jelas tertangkap jelas dalam ingatan Zainal, sehingga Zainal bisa menyimpulkan kalau Fikri kemungkinan punya perasaan terhadap Diah.

Diah kembali tak lama kemudian dan duduk lagi pada kursinya. Wanita itu baru saja menyalakan ponselnya yang sejak tadi sengaja ia non-aktifkan. Tak lama berselang, ada telepon yang masuk sehingga membuat Zainal dan Deden menatap ke arah ponsel milik Diah.

"Halo, assalamu'alaikum Mas Fikri," sapa Diah.

Diah tampak mendengarkan yang Fikri katakan di seberang telepon sana. Wajah Deden mendadak tidak lagi bersemangat, saat tahu kalau Fikri adalah orang yang menghubungi Diah saat itu.

"Ponselku tadi kehabisan baterai, Mas. Makanya mati dan sulit dihubungi. Maaf, ya, aku jadi bikin Mas Fikri kepikiran dan tidak tenang di rumah. Aku akan pulang sebentar lagi. Mas Fikri tenang saja."

Zainal melirik sekilas ke arah Deden. Deden jelas semakin merasa cemburu saat ini. Namun kecemburuan pria itu tidak lagi terarah pada Zainal, melainkan terarah pada Fikri.

"Kalau Mas Fikri mau tunggu aku di depan gerbang, boleh, kok. Tapi kalau menurut Mas cuacanya terlalu panas, sebaiknya Mas tunggu di teras depan saja," saran Diah.

Deden langsung meletakkan sendoknya ke atas piring. Selera makannya mendadak lenyap, saat tahu kalau Fikri menawarkan akan menunggu di depan gerbang kepada Diah. Zainal hanya bisa menepuk-nepuk pundak Deden, agar pria itu menjadi lebih tenang meski tahu kalau Fikri seperhatian itu pada Diah.

"Oke, Mas. Aku akan pesan taksi online dulu. Assalamu'alaikum."

Diah menyimpan ponselnya ke dalam saku celana, setelah selesai bicara dengan Fikri. Wanita itu kini menatap ke arah Deden dan Zainal.

"Fikri bilang apa, Di?" tanya Zainal, agar tidak terjadi kecanggungan.

"Mas Fikri mengomel pada awalnya, karena ponselku susah dihubungi. Ponselku memang mati sejak tadi dan aku hanya bisa mengisi baterai menggunakan power bank. Setelah aku jelaskan padanya mengenai situasi itu, dia bertanya kapan aku akan pulang. Lalu pada akhirnya Mas Fikri pun menawarkan untuk menungguku di gerbang rumah. Itu saja," jawab Diah, apa adanya.

"Kenapa kamu tidak menolak tawarannya? Kamu bisa masuk ke dalam gerbang rumahmu tanpa ditemani oleh Fikri, 'kan?" Deden ingin tahu.

"Mas Fikri memang sudah biasa menungguku di gerbang rumah sejak aku masih kecil, Mas. Mas Zain pun tahu kalau Mas Fikri selalu begitu. Karena dulu saat aku tersesat di kebun bambu dan Mas Zain mengantarku pulang, Mas Fikri sudah berdiri lama di gerbang rumah sambil menantikan kedatanganku setelah bermain," jelas Diah.

Deden jelas tahu akan hal itu. Ia pernah dengar hal itu dari Eman yang bercerita pada Rusdi soal tersesatnya Diah di kebun bambu. Kini, Deden jelas tidak bisa melarang Fikri untuk menunggu Diah di gerbang rumah Keluarga Prawira. Itu adalah kebiasaan Fikri demi menjaga Diah dan Diah jelas tidak pernah merasa keberatan akan hal tersebut.

"Kalau aku pulang duluan, apakah Mas Deden dan Mas Zain tidak keberatan?" tanya Diah, yang tidak mau membuat Fikri menunggunya di gerbang terlalu lama.

* * *

KUTUKAN (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang