- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE PERHARI
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.* * *
Pagi itu, Ayu dan Rida memperlihatkan beberapa kebaya dengan warna yang berbeda-beda. Farah hanya duduk di samping Diah sambil menahan tawa, karena Diah sudah menatap sengit sejak tadi ke arah Rida maupun Ayu.
"Jangan menatap sengit ke arahku, Di. Aku cuma mengikuti perintah yang Rida berikan," ujar Ayu, agar tatapan Diah hanya terarah pada Rida.
Benar saja, Diah kemudian hanya mengarahkan tatap sengitnya kepada Rida seorang.
"Enggak usah menatap begitu ke arahku. Aku tahu, kok, kalau aku ini cantiknya bisa bikin klepek-klepek," ujar Rida, seraya tersenyum penuh percaya diri.
"Oh ... aku dan Ayu langsung menyesal karena telah ikut-ikutan menatap wajahmu, Da," ungkap Farah, jujur.
Ayu dan Farah pun tertawa pelan, sementara Diah masih saja menatap sengit ke arah Rida seperti tadi.
"Rida Savitri, sahabatku yang selalu saja tidak memiliki pikiran sejalan denganku. Kamu sadar, 'kan, bahwa acara perayaan pernikahanku dengan Raga hanya akan dilaksanakan satu hari?" tanya Diah.
"Iya ... kami sadar, kok, Di," jawab Ayu, mewakili Rida.
"Lah, terus kenapa kalian membelikan kebaya untukku sampai sebanyak itu? Mana warnanya berbeda-beda," protes Diah.
"Antisipasi saja, Di. Siapa tahu Kang Mas Raga Wardana yang kini sudah resmi menjadi Suamimu itu, mendadak berubah pikiran dan ingin merayakan pernikahannya denganmu selama tujuh hari tujuh malam. Dia 'kan lagi bucin-bucinnya akibat jatuh cinta padamu. Jadi siapa tahu kebucinannya itu ingin dia pamerkan pada orang satu Desa selama seminggu," jelas Rida.
Ucapan Rida sukses memancing emosi Diah dalam sekejap. Diah langsung bangkit dan hendak menjambak rambut Rida, sementara Rida sendiri sudah mundur lebih dulu dan berlindung di balik punggung Ayu. Ayu dan Farah akhirnya kerepotan memisahkan mereka dengan sekuat tenaga.
"Sini kamu, Da! Sini! Aku mau jambak rambutmu, biar kamu sadar apa bedanya bucin dan gila!" omel Diah.
"Hei ... sudah! Kalian kenapa malah jadi bertengkar, sih?" Farah mendorong Diah dan Rida agar saling berjauhan.
"Ayolah ... tubuh kalian berdua itu berat, tahu! Susah bagiku dan Farah yang bertubuh langsing ini untuk memisahkan kalian," Ayu ikut mengomel.
Laila dan Rosa hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala mereka, sementara Safira dan Yunita sudah tidak bisa lagi menahan tawanya. Sejak tadi mereka mengawasi dari ambang pintu kamar, karena ingin tahu soal warna kebaya yang dipilih oleh Diah. Namun bukan warna kebaya yang akhirnya mereka tahu, melainkan kegilaan keempat wanita yang sedang bergelut itulah yang akhirnya mereka sadari.
"Mereka berempat tidak boleh berada di dalam satu ruangan tanpa ada orang lain di sekitar mereka," ujar Rosa.
"Bu Rosa, benar. Kalau mereka berada pada satu ruangan tanpa ada orang lain di sekitar mereka, maka kekacauan seperti yang kita lihat saat ini akan selalu terjadi," Laila langsung setuju.
"Ayolah, jangan terlalu serius. Kapan lagi kita bisa melihat tingkah anak kecil dilakukan oleh empat wanita berusia dewasa seperti mereka?" sahut Safira.
"Mm ... tampaknya sekarang akulah yang ingin menjambak rambutmu, Adikku Sayang," gemas Rosa.
"Apakah sekarang mereka butuh dipisahkan?" tanya Yunita.
Di luar, para pria sedang bekerja sama untuk memasang tenda. Tenda yang dipesan baru saja tiba dan akan segera didirikan, agar kursi pelaminan bisa segera dihias oleh tim dekorasi yang sudah dipesan oleh Rosa. Raga ingin ikut membantu, namun sejak tadi dilarang keras oleh Zainal, Fikri, dan Deden. Hal itu jelas membuat Yunus menertawai putranya yang tampak begitu sengsara.
"Jangan sampai miring posisi tiangnya, Nak. Arahkan dengan benar bersama Zain dan Deden," ujar Eman.
"Iya, Pak. Akan aku arahkan dengan benar agar tiangnya tidak miring," tanggap Fikri.
Raga masih menatap yang lainnya sambil duduk pada anak tangga menuju teras.
"Ayolah, aku cuma mau membantu sedikit. Biar pekerjaan kalian cepat selesai," mohon Raga, sekali lagi.
"Jangan, Ga. Nanti kamu malah capek dan tidak siap untuk acara perayaan pernikahanmu, besok," larang Fikri.
"Itu benar. Kalau kamu sampai merasa capek, nanti Diah yang akan repot mengatasi kamu ketika kalian sama-sama duduk di pelaminan," tambah Deden.
Zainal pun berhenti sejenak dari pekerjaannya dan menatap ke arah Raga.
"Kamu sebaiknya istirahat saja, Ga. Besok acara perayaan pernikahanmu dan Diah akan berlangsung satu hari penuh. Siapkan tenaga agar kedua kakimu bisa bertahan untuk duduk-berdiri berulang-ulang, ketika tamu yang datang mendekat ke pelaminan untuk memberi selamat," ujar Zainal.
Fikri dan Deden menatap Zainal yang baru saja memberikan nasehat kepada Raga. Kedua pria itu kemudian saling menatap satu sama lain, seakan sedang mencari pertimbangan soal nasehat yang Zainal keluarkan.
"Itu jelas benar. Aku pun tidak bisa membantah apa yang dikatakan oleh Zain kepada Raga," ujar Fikri.
"Hm, mungkin itu memang ada benarnya dan tidak perlu kita ralat," sahut Deden.
"Bahkan ..." lanjut Zainal, "kamu juga harus mempersiapkan tenaga untuk kegiatan selanjutnya, setelah acara perayaan pernikahanmu selesai."
Raga mengerenyitkan keningnya selama beberapa saat.
"Kegiatan selanjutnya? Kegiatan apa, Mas? Kok aku tidak diberi tahu kalau akan ada kegiatan selanjutnya?" heran Raga.
"Kegiatan selanjutnya memang tidak tercantum dalam jadwal, Ga, tapi pasti akan kamu lakukan bersama Diah," ujar Zainal.
"Kegiatan apa tho, Mas?"
"Itu ... kegiatan antara kamu dan Diah. Kegiatan yang menyangkut soal emhh ... emhh ...."
Fikri dan Deden langsung membekap mulut Zainal, saat sadar tentang kegiatan apa yang akan disebutkan oleh pria itu di hadapan Raga.
"Kalau yang itu tidak perlu kamu sebutkan sebagai kegiatan, Zain! Itu urusan pribadinya Raga dan Non Diah! Tidak perlu diumbar-umbar!" omel Fikri.
"Tidak perlu kamu ingatkan pun, pasti akan mereka lakukan Zain! Tolong jangan mencemari pikiran pria polos seperti Raga di tempat terbuka seperti ini!" tambah Deden, ikut mengomel.
"Ah ... kegiatan yang itu tho maksudnya," sahut Raga, setelah paham dengan semua ucapan Zainal.
"Jangan kamu pikirkan, Ga! Nanti saja pikirkan soal itu!" tanggap Fikri dan Deden, kompak.
Yunus semakin tidak bisa berhenti tertawa, sementara Irham dan Eman berusaha tetap fokus untuk melanjutkan pemasangan tenda meski mereka juga ingin ikut tertawa.
"Nak Zain itu hobi sekali membuat orang lain panik, ya? Nak Fikri dan Nak Deden juga sigap sekali ketika menghentikan Nak Zain, sebelum maksud ucapannya benar-benar tersampaikan pada Raga," ujar Yunus.
"Non Diah beberapa kali sering naik darah kalau sudah bicara dengan Nak Zain. Bisa dibilang, dia itu memang hobi mencetuskan sesuatu yang bisa memancing emosi orang-orang di sekitarnya, Pak Yunus," sahut Eman.
"Biarkan saja. Terkadang anak-anak juga butuh hiburan untuk melepas stress. Terutama setelah mereka ikut menghadapi persoalan pelik seperti yang terjadi kemarin," Irham mengingatkan.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
KUTUKAN (SUDAH TERBIT)
Horror[COMPLETED] "Jangan pernah pulang ke sana, jika kamu tidak mau mati sia-sia." Itu adalah pesan terakhir dari Ibunya sebelum meninggal dunia akibat penyakit aneh yang sudah menggerogoti tubuhnya selama bertahun-tahun. Diah ingin sekali menuruti pesan...