- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE PERHARI
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.* * *
Diah tetap dibiarkan berbaring, setelah dibantu membersihkan diri serta berwudhu oleh Laila dan Yunita. Demam yang Diah alami semakin tinggi. Namun wanita itu berupaya untuk tetap sadar, meski keadaannya terus memburuk.
"Kenapa tidak ada yang menghalangi niatan Raga, Bulik? Bagaimana kalau akhirnya aku tetap akan meninggal dunia meski dia telah menikahiku? Bagaimana jika tetap tidak ada yang berubah? Bagaimana dengan perasaan Raga, Bulik? Perasaannya akan hancur jika sampai ...."
"Ssttt! Jangan terus berpikiran begitu, Non. Jangan pesimis dan putus asa. Kami semua yang ada di sini tidak akan menyerah sampai Non Diah bisa bebas dari ... kejahatan orang itu," ujar Laila, yang memutuskan untuk tidak menyebut nama Rusdi di depan Yunita.
Yunita sendiri tahu kalau Laila mungkin merasa tidak enak jika sampai menyebut nama Rusdi di hadapannya. Bagaimana pun, Rusdi masih berstatus suami Yunita meski saat ini Yunita sudah tidak ingin lagi memiliki status tersebut. Ia masih tidak bisa lari ke mana pun dari sisi Rusdi saat ini. Tapi ia sudah berencana ingin sekali berlari sejauh mungkin dan membawa Deden bersamanya.
"Itu benar, Nak Diah. Mari sama-sama kita lawan niatan jahat Rusdi dan buat dia membayar semua yang sudah diperbuatnya. Insya Allah, Bude maupun Deden akan terus mendukung kamu dan juga menjaga kamu sampai semuanya selesai," janji Yunita, dengan kedua mata berkaca-kaca.
Diah menatap ke arah Yunita dan tahu persis bahwa wanita paruh baya itu tengah terluka begitu dalam, setelah tahu soal perbuatan suaminya. Yunita benar-benar marah, sama seperti yang terjadi pada Deden sore tadi.
"Bude Yuni," lirih Diah.
Yunita pun kembali menoleh, setelah menautkan kancing paling terakhir pada kemeja polos yang dipakai oleh Diah malam itu. Ia menatap wajah Diah yang begitu pucat sambil mengusap lembut rambutnya.
"Iya, Nak Diah? Ada apa? Adakah yang kamu butuhkan?" tanya Yunita.
"Maaf, karena aku harus membuat Bude ikut repot akibat keadaanku saat ini. Aku tahu bahwa Bude saat ini sedang merasa terluka. Seharusnya Bude tidak melihatku sementara waktu, agar tidak perlu ikut merasa bersalah. Tapi aku justru mendadak sakit dan sekarat pada saat yang tidak tepat. Tolong maafkan aku, Bude Yuni. Maaf, karena aku hanya bisa menambah luka yang Bude rasakan tanpa bisa memberikan penawar atas luka itu," ungkap Diah.
Yunita pun tersenyum. Wajahnya telah basah akibat airmata yang tidak bisa lagi dibendung.
"Kamu itu bicara apa, Nak? Kapan kamu memberikan luka kepada Bude? Kamu bahkan datang dengan tenang dan penuh senyum ke rumah Bude, pada saat akan menyampaikan mengenai kejahatan Suami Bude terhadap kamu, keluargamu, dan Keluarga Wardana. Padahal seharusnya kamu datang dengan penuh amarah. Tapi kamu tetap menggunakan akal sehatmu dan percaya bahwa Bude serta Deden tidak ada sangkut pautnya dengan kejahatan Suami Bude. Jadi ... bagian mana yang kamu sebut sebagai luka, Nak Diah? Karena Bude merasa kamu tidak pernah membawakan luka sama sekali ke dalam hidup Bude ataupun Deden. Kamu mewarisi sifat baik Almarhum Ayahmu dan juga mewarisi bijaksananya Almarhumah Ibumu. Mana mungkin kamu membawakan luka bagi Bude dan Deden. Hatimu terlalu baik untuk bisa melakukan hal seperti itu, Nak. Jadi Bude harap, kamu jangan lagi berpikir yang tidak-tidak. Tetaplah tenang, agar kita bisa sama-sama mengalahkan yang jahat," saran Yunita, usai mengungkapkan isi hatinya soal Diah.
Rosa dan Safira--yang sejak tadi berdiri di ambang pintu kamar itu--benar-benar tidak bisa mengatakan apa pun. Ungkapan yang tengah mereka dengar dari Diah dan Yunita sangatlah dalam. Diah yang notabene adalah korban kejahatan Rusdi, merasa takut telah memberikan luka pada Yunita dan Deden usai mengutarakan kebenarannya. Namun di sisi lain, Yunita sendiri tampaknya mensyukuri hal tersebut karena akhirnya ia tahu bagaimana aslinya Rusdi yang selama ini selalu memakai topengnya di depan siapa pun. Tidak ada yang salah dari kedua wanita tersebut. Rusdi adalah inti kesalahan yang sebenarnya.
"Penghulunya sudah tiba," ujar Yunus, mengagetkan Rosa dan Safira yang masih memperhatikan Diah dan Yunita.
"Iya, Yah. Akan aku beritahu Bu Laila dan Bu Yuni," tanggap Rosa.
Raga diminta keluar dari kamar tamu. Deden masih bersamanya ketika pria itu diminta menemui Penghulu. Raga diminta menandatangani beberapa berkas yang besok akan dimasukkan ke dalam pendataan di KUA. Setelah memberikan tanda tangannya pada beberapa berkas yang berkaitan dengan surat-surat nikah, barulah kemudian Penghulu tersebut menatap ke arah Eman sebagai wakil dari Keluarga Prawira.
"Calon pengantin wanitanya sudah siap, Pak Eman?"
"Insya Allah sudah siap, Pak Aris. Hanya saja karena sedang sakit, maka calon pengantin wanitanya kami biarkan berbaring di kamar," jawab Eman.
"Itu tidak masalah. Karena yang akan melakukan ijab kabul adalah calon pengantin pria."
Irham dan Deden menjadi saksi dari pihak Keluarga Wardana untuk Raga, sementara Eman dan Fikri menjadi saksi dari pihak Keluarga Prawira untuk Diah. Penghulu pun kemudian menjabat tangan Raga dan disaksikan oleh keempat saksi serta semua orang yang hadir malam itu di rumah Keluarga Prawira. Diah diminta mendengarkan dari dalam kamarnya
"Bismillahirrahmanirrahim. Saya nikahkan dan kawinkan saudara Raga Wardana bin Yunus Suyatno dengan saudari Diah Arasti Prawira binti Almarhum Abdi Hafian Prawira dengan mas kawin berupa satu set perhiasan emas seberat tujuh gram beserta seperangkat alat shalat dan Al-Qur'an dibayar tunai karena Allah."
"Saya terima nikah dan kawinnya Diah Arasti Prawira binti Almarhum Abdi Hafian Prawira dengan mas kawin berupa satu set perhiasan emas seberat tujuh gram beserta seperangkat alat shalat dan Al-Qur'an dibayar tunai karena Allah."
Penghulu kemudian menatap para saksi yang ada di samping mereka berdua.
"Bagaimana para saksi? Sah?"
"SAH!!!" jawab semua saksi dan semua orang yang hadir malam itu.
"Alhamdulillah. Saya putuskan bahwa pernikahan antara Nak Raga dan Nak Diah ini, sah, baik itu di mata hukum maupun agama," putus Penghulu.
"Alhamdulillah!!!" sahut semua orang, terdengar begitu lega.
Diah merasakan ada yang bergejolak di dalam dirinya, setelah pernikahannya dan Raga disahkan oleh Penghulu. Gejolak itu sama sekali tidak membawakan kesakitan untuknya, namun justru membuatnya jauh lebih baik dari sebelumnya. Semua orang kini mengangkat kedua tangan untuk berdoa bersama, yang akan dipimpin langsung oleh Penghulu yang menikahkan Raga dan Diah.
"Bismillahirrahmanirrahim. Baarakallaahu laka wa baaraka 'alaika wa jama'a bainakumaa fii khairin."
"Aamiin!!!"
"Allaahumma allif bainahumaa kamaa allafta baina Adam wa Hawwa, wa allif bainahumaa kamaa allafta baina sayyidinaa Ibraahiim wa Saarah, wa allif bainahumaa kamaa allafta baina sayyidinaa Yuusuf wa Zulaikha, wa allif bainahumaa kamaa allafta baina sayyidinaa Muhammadin shallallaahu 'alaihi wa sallama wa sayyidatinaa Khadiijatal kubraa, wa allif bainahumaa kamaa allafta baina sayyidinaa 'Aly wa sayyidatinaa Faathimah az-Zahraa."
"Aamiin!!!"
"Allaahummaj'al haadzal 'aqda 'aqdan mubaarakan ma'shuuman wa alqi bainahumaa ulfatan wa qaraaran daaiman wa laa taj'al bainahumaa firqatan wa firaaran wa khishaaman wakfihimaa mu'natad dunyaa wal aakhirah. Aamiin yaa rabbal 'alamiin."
"Aamiin yaa rabbal 'alamiin!!!"
Ketika Penghulu sudah pulang, Rosa langsung keluar dari kamar yang Diah tempati. Ekspresinya terlihat cukup membingungkan bagi semua orang pada saat itu.
"Ada apa, Bu Rosa?" tanya Eman.
"Itu ... Diah ...." ujarnya, seraya menunjuk ke dalam kamar.
"Diah kenapa, Bu?" Raga mendadak merasa takut.
"Diah sembuh. Wajahnya tidak lagi pucat dan tubuhnya tidak lagi mengalami demam tinggi," jawabnya.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
KUTUKAN (SUDAH TERBIT)
Horror[COMPLETED] "Jangan pernah pulang ke sana, jika kamu tidak mau mati sia-sia." Itu adalah pesan terakhir dari Ibunya sebelum meninggal dunia akibat penyakit aneh yang sudah menggerogoti tubuhnya selama bertahun-tahun. Diah ingin sekali menuruti pesan...