- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE PERHARI
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.* * *
Deden pulang ke rumahnya setelah mengobrol bersama Diah dan Fikri. Yunita menyambutnya seperti biasa, lalu menyuruh Deden untuk duduk bersama dengannya di ruang tengah. Rusdi tampaknya belum pulang, meskipun tadi mereka pergi ke masjid bersama-sama.
"Kamu baru saja pulang dari rumah Keluarga Prawira, Nak?" tanya Yunita.
"Iya, Bu. Aku baru pulang dari sana. Fikri tadi mengajak aku mampir sebentar. Aku setuju dengan ajakannya. Aku pikir jalan pulang akan lebih dekat kalau aku lewat halaman rumah Keluarga Prawira, sekaligus aku ingin melihat keadaan Diah," jawab Deden.
"Kamu ketemu sama Diah? Dia masih suka bersantai di teras belakang rumahnya saat sore?"
"Iya, Bu. Persis seperti itu. Kebiasaannya tidak ada yang berubah. Bahkan Fikri pun mengatakan padaku, bahwa Diah tidak merasa asing dengan keadaan di rumahnya meski sudah dua belas tahun pergi. Sifatnya, sikapnya, dan bahkan semua kebiasaannya masih tetap sama. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan sejauh ini."
Yunita pun menganggukkan kepalanya, pertanda bahwa ia paham dengan hal yang Deden jelaskan soal Diah.
"Berarti yang membedakan hanyalah kenyataan soal kemampuan penglihatan Diah yang sama seperti kemampuanmu, ya? Benar, 'kan?"
"Ibu benar. Hanya itu yang membedakan. Ah ... ditambah dengan kemampuannya mengusir makhluk halus, Bu. Dia baru saja cerita kepadaku dan Fikri, soal bagaimana dia bisa memiliki kemampuan itu."
"Oh, ya? Dia cerita secara terbuka padamu dan Nak Fikri tentang asal muasal kemampuannya mengusir makhluk halus? Wah ... tampaknya Diah bukan orang yang suka menyembunyikan sesuatu, ya? Dia sangat terbuka dan tidak merasa harus menyembunyikan sesuatu dari orang-orang di sekitaranya. Itu sifat yang cukup langka, loh. Biasanya kebanyakan orang akan merahasiakan hal-hal seperti itu dari orang lain. Tapi dia justru memilih menceritakan dan mempercayakannya padamu maupun Nak Fikri," Yunita terlihat begitu takjub dengan apa yang Diah lakukan.
Deden memikirkan ucapan Ibunya selama beberapa saat.
"Memangnya menurut Ibu hal seperti itu seharusnya dirahasiakan?" tanya Deden.
"M-hm. Hal seperti itu harusnya dirahasiakan, Nak. Terkadang manusia itu bisa memiliki pikiran yang negatif. Jika hal seperti itu diceritakan pada orang-orang yang mudah berpikiran negatif, maka bisa jadi Diah akan menjadi bahan pembicaraan dan nama baiknya akan menjadi buruk. Dia bisa saja dituduh sebagai penganut ilmu-ilmu yang tidak semestinya dipelajari oleh manusia normal. Tapi Ibu rasa, Diah mungkin tahu persis bahwa kamu dan Nak Fikri tidak akan berpikiran negatif tentangnya. Maka dari itulah dia memilih untuk bercerita soal dari mana kemampuannya mengusir makhluk halus berasal," jelas Yunita.
Deden pun mulai memahami apa yang dimaksud oleh Ibunya. Pendapat Yunita jelas benar adanya, bahwa Diah pasti akan dicap sebagai orang yang menganut ilmu tidak jelas jika sampai ada yang berpikiran negatif terhadap wanita itu. Tapi Deden merasa lega, karena Diah lebih memilih mempercayakan hal tadi kepada dirinya dan Fikri. Ia dan Fikri jelas tidak akan menceritakan lagi mengenai fakta itu kepada siapa pun, sehingga nama baik Diah tidak perlu dipertaruhkan.
Rusdi pulang tak lama kemudian. Deden pun segera pamit untuk pergi ke kamarnya, agar bisa kembali mengawasi rumah Keluarga Prawira. Pria itu berdiri di depan jendela, lalu melihat ke arah lantai dua rumah tersebut yang jendelanya sedang diperbaiki oleh Eman. Diah ada di sana bersama Eman dan Fikri. Tampaknya wanita itu ingin mengubah sesuatu pada jendela yang ada di dinding lantai dua. Deden pun mengeluarkan ponselnya dan mencoba menanyakan hal tersebut pada Fikri melalui pesan.
DEDEN
Diah ingin mengubah sesuatu? Tampaknya dia begitu semangat mengarahkan Paklik Eman sampai-sampai ikut bekerja.Fikri membuka ponselnya ketika merasakan adanya getaran di dalam saku celananya. Ia membaca pesan dari Deden, lalu segera mengetik pesan balasan untuk pria itu.
FIKRI
Iya, kamu benar. Non Diah ingin mengubah jendela di lantai dua rumah ini menjadi pintu geser. Pintu yang sudah ada akan dihilangkan, lalu pintu geser itu akan terbuat dari kaca sepenuhnya. Dia bilang ingin menjadikan lantai dua ini sebagai ruang kerjanya.DEDEN
Oh, begitu rupanya. Tapi ngomong-ngomong, Diah kerja apa? Aku baru tahu kalau dia punya pekerjaan.FIKRI
Aku belum tahu kalau soal itu. Aku belum bertanya padanya. Nanti akan aku coba tanyakan kalau waktunya sudah tepat. Sekarang aku akan bantu Bapakku dulu untuk mencopot daun pintu dan memindahkannya.Deden tidak lagi membalas. Ia bisa melihat kalau Fikri saat ini benar-benar sedang membantu Eman mencopot daun pintu di lantai dua rumah Keluarga Prawira, lalu memindahkannya. Tembok rumah itu akan dijebol untuk mengubah semua hal menjadi seperti yang Diah inginkan. Diah tampaknya tahu betul bagaimana cara mengerjakan hal tersebut. Wanita itu bahkan mengukur sendiri dengan meteran, untuk menentukan ukuran pintu geser yang dia inginkan.
Seulas senyuman tercipta tanpa disadari oleh Deden. Semua hal yang Diah lakukan berhasil menyita perhatiannya. Sikapnya, sifatnya, dan bahkan tingkah lakunya tidak luput dari ingatan Deden saat ini. Ia benar-benar tidak menyangka akan bisa bertemu Diah lagi setelah bertahun-tahun berlalu. Dan di dalam hatinya, ia merasa sangat bahagia karena pertemuan itu. Seakan kehadiran Diah berhasil membuatnya kembali menjadi dirinya yang dulu.
Eman kini menatap ke arah Diah setelah menyingkirkan daun pintu yang sudah dicopot.
"Berarti tinggal dibobok saja temboknya, ya, Non?" tanya Eman.
"Iya, Paklik. Paklik punya peralatan untuk membobok tembok, 'kan? Bisa minta tolong Mas Fikri bawakan peralatannya ke sini? Nanti aku yang akan kerjakan," pinta Diah, sambil menyimpan meteran miliknya ke dalam saku.
"Eh? Jangan, Non. Biar Paklik saja yang bobok temboknya besok pagi," cegah Eman.
Diah pun tersenyum ke arah Eman, yang tampak meragukan kalau dirinya bisa mengerjakan pekerjaan yang biasa dikerjakan oleh laki-laki.
"Paklik, aku sudah terbiasa mengerjakan pekerjaan seperti ini. Bawakan saja peralatan milik Paklik dan biarkan aku mengerjakannya. Aku sedang kekurangan pekerjaan dan tidak mau berdiam diri tanpa melakukan apa-apa," Diah berusaha meyakinkan Eman.
Mau tak mau, Eman pun menyuruh Fikri untuk mengambil semua peralatan miliknya dari gudang. Fikri menuruti hal tersebut. Ia merasa akan memiliki banyak waktu bersama Diah, jika wanita itu memang akan membobok tembok sampai malam nanti. Setelah peralatan yang Diah inginkan sudah berada di hadapannya, wanita itu pun segera mengerjakan yang harus ia kerjakan. Eman kembali turun ke lantai bawah sambil membawa daun pintu yang sudah dicopot, sementara yang menemani Diah di lantai atas saat itu hanyalah Fikri.
Deden tampak kaget karena melihat bahwa Diah sendiri yang akan membobok tembok di lantai dua tersebut. Tampaknya Fikri ataupun Eman tidak bisa mencegah keinginannya, sehingga membiarkan wanita itu melakukan apa pun yang dia mau.
"Apakah dia butuh bantuan? Tapi kenapa Fikri hanya diam saja dan tidak melakukan apa-apa, jika Diah memang butuh bantuan?" gumam Deden.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
KUTUKAN (SUDAH TERBIT)
Horror[COMPLETED] "Jangan pernah pulang ke sana, jika kamu tidak mau mati sia-sia." Itu adalah pesan terakhir dari Ibunya sebelum meninggal dunia akibat penyakit aneh yang sudah menggerogoti tubuhnya selama bertahun-tahun. Diah ingin sekali menuruti pesan...