- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE PERHARI
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.* * *
Diah turun dari taksi online tepat di depan gerbang rumah Keluarga Prawira. Fikri benar-benar sudah menunggu kedatangannya di gerbang itu, seperti yang dia janjikan pada Diah. Setelah Diah membayar ongkos perjalanan, ia segera berhadapan dengan Fikri yang tampak memiliki banyak pertanyaan untuknya.
"Assalamu'alaikum, Mas Fikri," sapa Diah, seraya tersenyum lepas seperti biasanya.
"Wa'alaikumsalam, Non. Non Diah baik-baik saja, 'kan? Tidak terjadi apa-apa saat sedang berada di luar rumah, 'kan?" tanya Fikri.
"Alhamdulillah aku baik-baik saja, Mas. 'Kan aku sudah bilang, kalau aku ini bukan lagi anak kecil yang perlu dikhawatirkan terus-menerus. Aku sudah dewasa, Mas Fikri, dan Mas harus percaya soal itu," jawab Diah.
"Terus, kenapa Non Diah tidak bilang padaku kalau tadi Non pergi untuk bertemu dengan Zain?"
Ekspresi Diah tidak berubah sama sekali, ketika Fikri mengungkit soal pertemuan wanita itu dengan Zainal. Hal itu membuat Fikri semakin merasa penasaran dan ingin tahu, mengenai jawaban Diah setelah ketahuan bertemu Zainal diam-diam.
"Deden telepon aku. Dia bilang tidak sengaja bertemu dengan Non Diah yang sedang ketemuan dengan Zain di coffee shop," jelas Fikri.
"Ck! Mas Deden itu aneh. Aku telepon dia berulang-ulang kali karena ingin mengajaknya bertemu, ponselnya malah tidak aktif. Saat aku menghubungi Mas Zain dan bertemu di coffee shop, dia malah melapor pada Mas Fikri. Padahal tadi aku sudah menerima penjelasan dari Mas Zain, soal peraturan di tempat kerja Mas Deden dan memaklumi kalau dia tidak bisa dihubungi saat sedang bekerja. Ah ... aku jadi merasa kesal lagi sekarang gara-gara dia melapor pada Mas Fikri, seakan ada apa-apa antara aku dan Mas Zain. Menyebalkan," gerutu Diah, terang-terangan.
Fikri kini merasa menyesal menanyakan soal laporan dari Deden mengenai pertemuan Diah dan Zainal, setelah mendengar gerutuan Diah. Diah tampaknya benar-benar kesal sehingga wajahnya tidak lagi terlihat cerah seperti tadi. Fikri baru saja akan mencoba menghibur Diah, ketika dua orang wanita mendadak muncul di depan gerbang rumah Keluarga Prawira dan mengagetkan Diah.
"Diah!!!" seru kedua wanita itu, kompak.
Diah langsung berbalik, lalu kembali merasa senang dan memeluk kedua wanita yang mengagetkannya tersebut.
"Rida ... Ayu ... aku kangen!!!" balas Diah, tak kalah heboh.
Fikri memijat keningnya seketika, saat melihat kelakuan ketiga wanita itu di hadapannya. Mereka bertiga melompat-lompat dan berputar-putar seperti anak TK tanpa merasa malu. Ia tak lupa merekam video dengan ponselnya, agar Zainal tahu kalau Ayu memiliki kelakuan yang sama seperti Diah dan Rida. Rida menghentikan kegiatan tidak berfaedah yang mereka lakukan saat itu, usai mendengar ungkapan rindu yang Diah ucapkan.
"Apa kamu bilang? Kangen? Dasar tukang bohong! Sudah dua hari kamu ada di Desa ini, tapi tidak ada inisiatif untuk menemui kami duluan! Terus sekarang, kamu bilang kangen pada kami? Mana bisa kami percaya ucapanmu itu, Di? Mana bisa?" omel Rida.
"Iya, betul itu. Kamu sudah berada di sini sejak kemarin. Tapi kata Pak Tarjo, kamu malah menghabiskan waktu berkumpul dengan Mas Fikri, Mas Deden, dan Mas Zain. Kalau kamu kangen sama kami, seharusnya kamu mencari kami dan menghabiskan waktu bersama kami," tambah Ayu.
Diah bisa menangkap kecemburuan di dalam ucapan kedua wanita yang ia hadapi. Ia kembali tersenyum, lalu merangkul keduanya dengan santai seperti dulu.
"Sudah ... jangan iri hati sama Mas Zain, Mas Deden, dan Mas Fikri. Ayo, hari ini aku akan habiskan waktuku bersama kalian. Kita pergi ke warung makannya Pak Tarjo!" ajak Diah, penuh semangat.
Fikri tidak melarang sama sekali. Ia membiarkan Diah pergi bersama Rida dan Ayu, sementara dirinya kembali masuk ke dalam rumah untuk memberi tahu Bapak dan Ibunya soal Diah.
Ketiga wanita itu tiba di warung makan dan segera mengambil meja paling pojok. Mereka sama-sama melihat daftar menu, lalu Diah yang akan menghafal pesanan untuk disampaikan pada Pak Tarjo. Ketika Diah akhirnya pergi ke tempat Pak Tarjo berada, dirinya kembali berpapasan dengan seorang pria yang tidak terduga. Pria itu juga tampak kaget saat melihat Diah lagi, setelah pertemuan mereka kemarin di Ekowisata Mangrove. Pria itu tampaknya sedang menunggu pesanan makanannya selesai dibungkus oleh Pak Tarjo. Sayangnya, pria itu tidak datang sendirian. Dia datang ke warung makan tersebut bersama seorang wanita yang tampaknya jauh lebih muda daripada Diah. Wanita itu terus saja berdiri di belakang pria tersebut, seakan begitu malu untuk muncul di depan umum.
Diah segera menyebutkan pesanannya pada Pak Tarjo, agar Ayu dan Rida tidak terlalu lama menunggu. Setelahnya, Diah kembali menatap ke arah pria itu karena tahu bahwa makhluk halus yang terus saja mendampingi pria tersebut sedang berusaha membisikkan sesuatu.
"Kita bertemu lagi, dan yang tidak terduga adalah kita bertemu di lingkungan tempat tinggalku," ujar Raga, mendadak sedikit berdebar-debar.
Diah pun tersenyum saat mendengar suara pria itu lagi. Wanita muda yang ada di belakang Raga mendengarkan dalam diam.
"Desa ini juga adalah lingkungan tempat tinggalku. Aku sudah tinggal di sini sejak baru dilahirkan," balas Diah. "Maaf soal pertemuan kita kemarin. Pikiranku sedang dalam keadaan yang sangat buruk, sehingga aku menanggapi sapaan dari kamu dengan sangat kasar. Aku harap kamu mau memberikan maaf untukku."
Raga--yang baru saja akan memakai ilmu penjerat terhadap Diah, karena terus mendapat bisikan pada telinga kirinya--mendadak berhenti untuk menggunakan ilmu tersebut, ketika Diah mengutarakan permintaan maaf. Ia tidak pernah menyangka bahwa akan ada wanita di dunia ini yang bersedia mengutarakan permintaan maaf kepadanya, setelah merasa terganggu dengan kehadirannya. Diah tahu bahwa Raga tidak jadi menggunakan ilmu penjerat, karena kini makhluk halus yang mendampingi pria itu terus saja diam di tempatnya dan tidak melakukan apa-apa.
Wanita muda yang ada di belakang Raga sejak tadi, kini berusaha melihat ke arah Diah meski dengan cara mengintip pelan-pelan. Wanita muda itu tampak penasaran dengan sosok yang tengah bicara di depan Raga.
"Tapi ... aku serius soal caramu yang kuno demi bisa mendekat padaku. Kamu sebenarnya bisa melakukan hal yang lebih baik, daripada mencoba menunjukkan padaku bahwa kamu adalah sosok pria yang pintar. Karena jujur saja, caramu itu juga melukai harga diriku dan membuat aku merasa seperti seorang wanita yang terlihat bodoh dimatamu. Kemarin, seharusnya kamu bisa langsung saja tanyakan siapa namaku dan berapa nomor teleponku. Dengan begitu, mungkin aku tidak akan membalasmu dengan menunjukkan bahwa aku lebih pintar darimu," jelas Diah.
Raga langsung tersenyum sesaat, sebelum akhirnya memasang ekspresi tidak percaya diri seperti biasanya.
"Jika dengan cara yang kemarin aku gunakan kamu merasa tidak suka, menurutmu aku akan percaya bahwa menanyakan siapa namamu dan berapa nomor teleponmu akan berhasil membuatku mendapat jawaban dari kamu?" tanya Raga.
"Namaku Diah Arasti Prawira. Nomor teleponku 0878 4458 7171," jawab Diah, lalu segera berbalik meninggalkan Raga sambil menahan tawa diam-diam.
Raga kembali terdiam sambil memasang ekspresi tidak percaya di wajahnya. Wanita muda yang ada di belakang Raga sejak tadi, kini tertawa pelan ketika melihat bagaimana ekspresi Raga setelah Diah pergi dari hadapannya. Wanita muda itu segera menarik lengan Raga agar mereka bisa pulang, karena pesanan makanan mereka sudah diserahkan sejak tadi oleh Pak Tarjo.
"Far ... i-itu ... ba-barusan dia memberi tahu aku siapa namanya dan berapa nomor teleponnya, 'kan?"
"Hm ... dia menyebutkan siapa namanya dan berapa nomor teleponnya, hanya untuk Mas Raga seorang," jawab Farah, sengaja menggoda Raga.
Raga kini memikirkan hal itu, seakan baru saja menghadapi sesuatu yang luar biasa dalam hidupnya.
"Wah, tumben sekali aku bisa mendapatkan sesuatu semudah itu. Baru kali ini juga ada wanita yang tidak segan mengucap maaf di hadapanku. Eh ... aku belum catat nomor teleponnya!" panik Raga.
"Sudah aku catat untuk Mas Raga. Ini, salinlah ke ponsel milik Mas," sahut Farah, sambil menyerahkan ponselnya kepada Raga.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
KUTUKAN (SUDAH TERBIT)
Horror[COMPLETED] "Jangan pernah pulang ke sana, jika kamu tidak mau mati sia-sia." Itu adalah pesan terakhir dari Ibunya sebelum meninggal dunia akibat penyakit aneh yang sudah menggerogoti tubuhnya selama bertahun-tahun. Diah ingin sekali menuruti pesan...