- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE PERHARI
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.* * *
"Sudah? Cuma begitu saja?" kaget Fikri.
"Iya, Mas. Cuma begitu saja yang perlu aku lakukan. Jika sudah mendapat sesuatu yang bisa menuntunku pada suatu arah, maka aku tidak perlu berlama-lama berada di sini," jawab Diah.
"Sebenarnya apa yang kamu cari, Di? Apakah sebuah petunjuk?" Farah benar-benar penasaran.
Fikri masih belum juga melepaskan tangan Farah, meski mereka sudah hampir tiba di dekat rumah Keluarga Wardana. Hal itu tentu saja membuat Farah sedikit gelisah, karena takut Ibunya melihat yang sedang terjadi saat itu.
"Aku sedang mencari sumber masalah, Far. Kalau sumber masalahnya sudah kutemukan, maka aku jelas bisa membuat penyelesaian dari semua hal yang sudah menggerogoti keluarga kita masing-masing selama ini."
"Dan jika sumber masalahnya ketemu, artinya Non Diah akan menghadapi masalah yang baru. Benar begitu?" Fikri kembali merasa resah.
Diah pun kembali berbalik, sehingga Farah dan Fikri juga kembali berhenti di tempat seperti tadi.
"Sudah, pegangan tangannya. Nanti kalau sampai dilihat sama Ibunya Farah, bisa-bisa Mas Fikri disuruh menikahi Farah hari ini juga," ujar Diah.
Fikri mendadak melotot usai mendengar yang Diah katakan.
"Non, coba kalau bicara itu jangan asal ceplos saja. Aku pegang tangannya Farah karena tidak mau dia terperosok saat berjalan di jalan setapak tadi. Jangan bicara yang tidak-tidak. Lagipula ... memangnya Ibunya Farah tidak punya standar calon menantu idaman, sehingga akan menikahkan Putri satu-satunya dengan pria manapun hanya karena berani memegang tangannya?" sanggah Fikri.
Diah pun mengerenyitkan keningnya, sementara Farah kini sudah menatap Fikri dengan wajah penuh kebingungan.
"Hah? Standar calon menantu idaman? Setiap orangtua yang mau punya menantu, harus menetapkan standar calon menantu idaman?" Diah tampak tidak bisa mempercayai hal itu.
"Ya ... biasanya orangtua yang berasal dari keluarga terpandang selalu begitu. Hanya beberapa, sih. Tidak semuanya juga," jelas Fikri.
"Terus menurut Mas Fikri, setiap Ibu yang punya anak perempuan di dunia ini wajib punya standar calon menantu idaman? Terus kalau anak perempuan itu memiliki wajah aneh karena ada sebuah tanda seperti yang ada wajahku ini, apakah Ibuku tetap harus memiliki standar calon menantu idaman? Wah ... Mas Fikri sepertinya kurang bisa memperhitungkan sesuatu. Seharusnya Mas Fikri memikirkan dulu soal kekurangan pada diriku, sebelum ...."
"Kamu cantik," puji Fikri, apa adanya. "Kurang cantikmu ada di bagian mana? Kok aku enggak pernah lihat ada kurangnya?"
"Ekhm! Itu pertanyaan atau gombalan, Nak Fikri?" tegur Safira, yang ternyata sudah menunggu di gerbang bersama Rosa.
Rosa berusaha menahan tawa sekuat tenaga, Diah pun demikian. Fikri langsung melepaskan genggaman tangannya dari tangan Farah dengan sangat lembut, agar dirinya tidak kena marah oleh Safira. Farah sendiri hanya bisa meringis pelan, karena baru saja tertangkap basah sedang berpegangan tangan dengan seorang pria oleh Ibu dan Bibinya.
"Sini, Far. Bantuin Bude mengupas kentang dan wortel," panggil Rosa.
Farah pun segera melangkah menuju ke arah gerbang rumahnya, setelah berpamitan dengan Diah melalui bahasa isyarat. Fikri kini menatap Safira dengan perasaan yang tidak karuan.
"Uhm ... maaf soal yang barusan terjadi, Bu. Tadi itu benar-benar tidak seperti yang anda pikirkan," ujar Fikri, mencoba memberi penjelasan.
"Iya, Bulik. Mas Fikri, benar. Yang tadi itu tidak seperti yang Bulik pikirkan. Mas Fikri hanya mencoba menjaga Farah, agar Farah ...."
"Apakah saat ini saya terlihat seperti sedang salah paham?" potong Safira, seraya tersenyum seperti biasanya.
Fikri dan Diah pun terdiam. Safira masih menatap mereka seperti tadi.
"Kalian berdua mau berteman dengan Farah saja, rasanya saya merasa sangat bersyukur. Farah belum pernah punya teman selama ini. Hal itu terjadi karena dia dianggap berwajah aneh, akibat adanya tanda tidak jelas pada sisi kiri wajahnya. Kalian melihat tanda itu, tapi kalian tidak pernah membahasnya. Bahkan saat Farah membahasnya sendiri seperti yang terjadi barusan, kalian mencoba untuk mengalihkan perhatiannya agar tidak memikirkan soal tanda itu," jelas Safira.
"Barusan saya tidak mencoba mengalihkan perhatian Farah, Bu. Saya hanya mengatakan yang sejujurnya. Farah memang cantik, dan saya tidak mau dia merasa buruk rupa hanya karena punya tanda pada wajahnya. Makanya tadi saya bilang begitu, agar Farah paham bahwa tanda itu tidak perlu dia risaukan. Dia hanya perlu tahu, bahwa tidak semua orang menganggapnya aneh atau jelek. Masih banyak orang yang akan menatapnya dengan tulus, tanpa peduli dengan apa yang menjadi kekurangannya. Salah satunya adalah saya," ungkap Fikri, apa adanya.
Diah langsung menyikut lengan Fikri, membuat Fikri segera menoleh ke arah wanita itu.
"Kenapa, Non?" tanya Fikri.
"Apa yang Mas ungkapkan barusan terdengar seperti pernyataan cinta untuk Farah," jawab Diah, mencoba berbisik.
"Mm ... Diah, benar. Apa yang kamu katakan barusan terdengar seperti pernyataan cinta untuk Farah. Mungkin saat ini Farah sudah mendengarnya dari balik gerbang rumah kami," tambah Safira.
"Ha-ha-ha-ha-ha-ha!" tawa Rosa pun terdengar sangat jelas. "Kamu itu gimana, sih, Dek? Cah Ayumu wajahnya saat ini jadi mirip kepiting rebus, gara-gara kamu memberi tahu Fikri bahwa dia mendengarkan dari balik gerbang."
Fikri meringis pelan sambil mencoba menutupi wajahnya. Wajah pria itu juga sudah memerah dengan sempurna, membuat Diah segera merangkul lengannya dan berupaya untuk menyeretnya pulang.
"Mari, Bulik Safira. Sebaiknya Mas Fikri aku bawa pulang sebelum mulutnya semakin banyak mengeluarkan kata-kata manis untuk Farah," ujar Diah.
"Iya, Nak Diah. Sebaiknya memang begitu," balas Safira, sambil menahan tawanya agar tidak meledak.
"Assalamu'alaikum, Bulik."
"Wa'alaikumsalam."
Diah benar-benar menyeret Fikri menuju rumah. Fikri saat ini sedang mengomel pada diri sendiri, karena mulutnya tidak bisa diajak kompromi.
"Makanya, lain kali kalau berniat mengutarakan perasaan cari waktu yang tepat dulu, Mas. Datang ke rumahnya baik-baik, bertamu baik-baik, baru utarakan perasaan. Jangan pada waktu seperti tadi. Mas Fikri akhirnya jadi bahan tertawaan Bulik Rosa. Kalau sudah begitu, sebentar lagi seluruh anggota Keluarga Wardana pasti akan segera tahu mengenai hal tadi," Diah menasehati.
"Siapa yang berniat mengutarakan perasaan, Non? Aku enggak ada niatan begitu sama sekali, meski memang tidak bisa aku pungkiri kalau diriku suka pada Farah. Tapi 'kan Non Diah tahu sendiri kalau aku ini siapa dan Farah itu siapa. Mana mungkinlah aku punya niatan senekat itu? Aku juga tahu diri, Non. Aku enggak setara sama dia, enggak sekasta. Aku enggak pantas untuk menyukai Farah dan rasa sukaku sama dia hanya sebatas suka saja, tanpa ada kelanjutannya. Sekarang lebih baik Non Diah bantu aku untuk jelaskan pada Ibunya Farah agar tidak salah paham mengenai hal tadi. Ya? Mau 'kan, Non Diah membantuku menjelaskan?" mohon Fikri.
Diah pun menggelengkan kepalanya tanpa tersenyum.
"Siapa yang bilang kalau Mas Fikri tidak boleh menyukai seorang wanita yang berasal dari keluarga terpandang? Pemahaman bodoh macam apa yang ada di dalam pikiran Mas Fikri itu? Kok rasanya aku merasa marah karena mendengar pikiran bodoh macam itu, ya?" ungkap Diah, kemudian segera meninggalkan Fikri sendirian di halaman.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
KUTUKAN (SUDAH TERBIT)
Horror[COMPLETED] "Jangan pernah pulang ke sana, jika kamu tidak mau mati sia-sia." Itu adalah pesan terakhir dari Ibunya sebelum meninggal dunia akibat penyakit aneh yang sudah menggerogoti tubuhnya selama bertahun-tahun. Diah ingin sekali menuruti pesan...