3 | Menjawab Semua Pertanyaan

3.7K 273 13
                                    

- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE PERHARI
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

Tatapan marah Diah belum beralih dari ambang pintu dapur. Laila memberanikan diri untuk menyentuh pundak Diah dengan lembut. Fikri kembali berjalan mendekat, sementara Eman berlari masuk ke rumah karena mendengar suara marah-marahnya Diah.

"Non? Non Diah marah pada siapa? Kenapa Non Diah tiba-tiba marah hanya karena pintu dapur terbanting sendiri?" tanya Laila.

Eman mendengar pertanyaan itu dan kini paham kalau baru saja ada kejadian aneh lagi di dalam rumah itu.

"Itu, Bulik ... aku sedang memarahi kuntilanak tidak tahu diri yang sedang berdiri di ambang pintu dapur. Pintu dapur itu tidak terbanting sendiri, tapi kuntilanak itulah yang membantingnya untuk membuat kita semua merasa tidak nyaman tinggal di rumah ini," jawab Diah, apa adanya.

Kedua mata Laila membola dalam sekejap. Ia langsung menatap ke arah Fikri dan Eman usai mendengar jawaban Diah. Diah sendiri kini meraih gelas berisi air putih yang tadi dibawakan oleh Fikri untuknya, lalu berdiri dari kursinya dengan sangat tenang.

"A'udzubillahi minassyaitanirrajim. Bismillahirrahmanirrahim. Allaahumma faathiras samawaati wal ardhi, 'aalimal ghaibi was syahaadah, rabba kulli syai'in wa maliikah, asyhadu an laa ilaaha illaa anta," bisik Diah, lalu meniup air dalam gelas yang dipegangnya.

Diah beranjak ke arah pintu dapur, lalu menyiram kuntilanak yang dilihatnya. Kuntilanak itu pun menghilang dalam sekejap dan hanya menyisakan bau hangus yang begitu menyengat. Diah kembali berbalik menuju meja makan, karena akan melanjutkan makannya yang tertunda.

"Kuntilanaknya sudah pergi, Bulik. Bulik tenang saja, dia tidak akan kembali lagi ke sini," ujar Diah, benar-benar tenang.

Fikri, Laila, dan Eman menyaksikan semua yang Diah lakukan dengan perasaan kaget. Mereka sama sekali tidak menyangka kalau Diah tidak merasa takut dengan keanehan-keanehan yang terjadi di rumah itu. Diah justru bisa melihat yang tidak bisa mereka lihat dan bahkan menghadapinya dengan santai, seakan sudah benar-benar terbiasa menghadapi makhluk-makhluk halus. Fikri mendekat kembali dan kali ini duduk di samping Diah. Laila biasanya akan menegur jika Fikri sampai berani duduk di kursi meja makan, ketika pemilik rumah sedang makan. Namun kali itu perasaan shock membuat Laila memilih diam dan segera mengambil alat pel untuk mengeringkan lantai yang tadi disiram oleh Diah.

"Non, sejak kapan Non Diah bisa melihat makhluk-makhluk halus? Dan ... bagaimana bisa Non Diah menghadapi makhluk halus tanpa merasa takut seperti yang tadi aku lihat?" tanya Fikri.

Diah kembali meletakkan sendoknya dan menatap ke arah Fikri sesantai biasanya.

"Aku bisa melihat makhluk halus sejak masih kecil, Mas. Hanya saja, aku tidak pernah bilang karena takut disangka gila oleh Almarhum Mas Ardit dan Dek Apri. Kalau sampai mereka tahu, pasti aku akan diadukan pada Ibu dan Ayah. Takutnya aku dikira kesurupan oleh Ayah dan Ibu saat tengah bermain kalau sampai mereka tahu. Makanya aku putuskan untuk diam saja. Tapi pada akhirnya Ayah, Ibu dan kedua saudaraku tahu kok, soal aku yang bisa melihat makhluk halus. Bahkan Almarhum Kakek dan Almarhumah Nenek juga tahu perkara itu. Soalnya sejak kami pindah dari sini, aku terus melihat makhluk-makhluk halus yang sering mendatangi orang sakit di dalam keluargaku. Aku jadi sibuk mengusir makhluk-makhluk halus itu agar tidak mengganggu yang sedang sakit, agar mereka bisa tidur nyenyak. Hal itu aku lakukan setiap kali ikut bersama Ibu untuk menjaga yang sakit di rumah sakit," jawab Diah.

Fikri tampak tak bisa mempercayai yang baru saja ia dengar dari mulut Diah. Pria itu langsung menatap ke arah Laila dan Eman yang sejak tadi tidak mengatakan apa-apa. Kedua orangtua Fikri juga hanya bisa saling menatap satu sama lain, tanpa tahu harus mengatakan apa.

"Makhluk-makhluk halus itu selalu mendatangi yang sakit, karena merasa senang ketika melihat mereka tidak bisa tidur sambil mengerang kesakitan. Aku akhirnya tidak pernah menghabiskan waktu untuk bermain lagi setelah pulang sekolah, demi membantu Ibu menjaga yang sakit. Aku merasa kasihan pada Ibu karena selalu kelelahan dan tetap memaksakan diri. Pertama kali mereka mengetahui hal itu adalah pada saat Kakek sakit. Awalnya tidak ada yang percaya padaku dan beranggapan bahwa aku hanya bermain-main. Tapi ketika aku sering mengusir makhluk halus yang mendatangi Kakekku, lalu setelahnya Kakekku berhenti mengerang dari rasa sakit dan tertidur pulas, barulah mereka percaya bahwa aku benar-benar bisa melihat makhluk-makhluk halus."

Diah pun kembali tersenyum dan Fikri bisa melihat bahwa itu adalah senyum penuh keresahan dari dalam diri wanita itu.

"Dan begitulah seterusnya, Mas. Aku selalu mengusir makhluk halus ketika Nenek, Ayah, Mas Ardit, Dek Apri, dan bahkan Ibu sedang mengalami sakit. Sampai terkadang aku bertanya pada diriku sendiri, siapa nanti yang akan mengusir makhluk-makhluk halus itu jika akhirnya akulah yang akan sakit? Apakah nanti aku akan ...."

"Non Diah enggak akan sakit," potong Fikri dengan cepat.

Diah menatapnya kembali seperti tadi.

"Kami akan membantu Non Diah menjaga kesehatan sebisa yang kami mampu. Non Diah tidak perlu mengkhawatirkan hal yang belum terjadi. Sekarang, lanjutkan saja makannya. Habiskan," titah Fikri.

Diah pun mengangguk, lalu segera kembali fokus menatap piring miliknya yang masih terisi makanan. Fikri bangkit dari kursi dan berjalan menuju ke arah Bapaknya berada.

"Ayo, Pak. Aku bantu kerja di luar," ajak Fikri, yang sebenarnya akan pergi menemui Deden.

Eman setuju saja dan segera mengikuti langkah Fikri. Laila kembali ke dapur untuk mencuci peralatan masak yang tadi ia pakai. Diah segera membawa piringnya ke dapur setelah selesai makan, kemudian disambut dengan senyuman oleh Laila seperti biasanya.

"Biar aku bantu, ya, Bulik," ujar Diah.

"Jangan, Non. Non Diah istirahat saja. Non Diah pasti capek setelah menempuh perjalanan jauh," Laila melarang.

"Enggak kok, Bulik. Aku enggak capek. Biar aku bantuin pekerjaan Bulik, ya. Boleh, 'kan? Bilang boleh, ya, Bulik," bujuk Diah, sambil merangkul lengan Laila dengan manja seperti dulu.

Laila pun tertawa pelan sambil terus menggosok peralatan masak.

BRUAKKHHH!!!

Suara benda berat terjatuh di lantai atas terdengar sangat keras, hingga membuat Laila dan Diah terlonjak di dapur. Diah dan Laila pun kini saling menatap satu sama lain di tengah keheningan yang tiba-tiba meraja di dalam rumah itu.

"Paklik dan Mas Fikri sedang berada di luar. Jadi sudah jelas itu bukanlah suara mereka. Aku ke atas dulu, Bulik. Bulik di sini saja dan jangan ikut," ujar Diah, yang kemudian langsung beranjak meninggalkan dapur.

"Non! Jangan pergi ke atas, Non! Biarkan saja! Non Diah!" panggil Laila, panik.

* * *

KUTUKAN (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang