- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE PERHARI
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.* * *
Mereka tiba kembali di warung makan milik Pak Tarjo. Farah langsung memesan makanan yang tadi lupa dibeli olehnya, sementara Diah, Rida, dan Ayu menunggu dirinya di depan warung tersebut.
"Duduk sini. Jangan berdiri di sana, nanti kamu capek," ajak Rida.
Farah pun mendekat, lalu duduk di antara Ayu dan Diah. Rida sendiri lebih senang berdiri di hadapan ketiga wanita itu ketika menunggu.
"Namamu siapa? Kamu tinggal di Desa ini sudah lama atau masih baru? Kok kami jarang melihatmu, ya?" tanya Ayu.
"Yu, kalau bertanya itu satu-satu. Nanti dia bingung mau jawab yang mana duluan," tegur Diah.
Ayu pun langsung tertawa sumbang sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Rida langsung memperagakan gerakan pencak silat yang diarahkan kepada Ayu, akibat tidak bisa menahan gemas pada wanita itu.
"Lama-lama aku akan betul-betul memberikan satu jurus padamu, Yu. Aku sudah sering bilang, kalau bicara itu jangan pernah lupa ambil jeda. Lah ini boro-boro ambil jeda, ambil nafas pun lupa," omel Rida.
Farah tertawa pelan saat melihat tingkah laku Rida, Diah, dan Ayu. Ketiga wanita yang ia tertawai kini menatap ke arahnya seraya tersenyum.
"Nah, gitu dong. Senyum ... tertawa ... dan jangan murung serta menyembunyikan wajah. Wajahmu cantik begitu, kok, disembunyikan," ujar Diah.
"Iya, benar itu. Jangan menunduk terus kalau jalan. Tegak saja. Tatap ke depan. Kalau ada orang yang berani macam-macam sama kamu, langsung sikat!" saran Rida.
"Hah? Sikat? Kenapa orang itu harus disikat? Bukannya kalau ada orang yang berani macam-macam itu harus diberi pukulan, ya?" heran Ayu.
Tatapan Rida, Diah, dan Farah kini terarah dengan sempurna kepada Ayu yang otaknya sedang tidak terkoneksi dengan otak mereka. Hal itu membuat Rida dan Diah sulit untuk mengatakan apa pun agar Farah memahami kondisi Ayu yang terkadang sering mengalami miskomunikasi dengan orang lain.
"Oke, mari kembali lagi ke topik utama dan abaikan soal sikat. Jadi ... nama kamu siapa?" tanya Rida kepada Farah.
"Farah. Nama lengkapku, Farah Arkadewi Wardana."
Rida dan Ayu jelas langsung bungkam dalam sekejap, ketika mengetahui kalau wanita itu adalah putri Keluarga Wardana. Mereka melirik ke arah Diah, karena tahu soal permusuhan antara Keluarga Prawira dan Keluarga Wardana.
"Wah, namamu cantik sekali. Sesuai dengan wajah yang kami lihat saat ini," puji Diah, apa adanya. "Aku yakin kamu sudah tahu siapa namaku, karena tadi aku memberi tahu namaku pada ... Kakakmu?"
"Iya benar, Mas Raga itu Kakak sepupuku. Aku juga sudah tahu siapa namamu, karena tadi aku mendengar kamu memberi tahu namamu pada Mas Raga. Diah Arasti Prawira, 'kan? Haruskah aku panggil Mbak atau Kakak? Soalnya kamu lebih tua daripada aku," Farah agak ragu-ragu saat bicara dengan Diah.
Rida dan Ayu mulai merasa santai, saat tahu kalau Farah juga sudah tahu kalau Diah adalah putri Keluarga Prawira. Mereka tampaknya tidak perlu menjadi wasit, karena jelas tidak akan ada yang bertengkar di depan umum saat itu.
"Ah, jangan terlalu formal. Panggil saja, Diah, seperti bagaimana orang lain memanggilku. Aku jauh lebih senang kalau tidak dipanggil Mbak atau Kakak, biar terdengar seakan aku masih berusia semuda kamu," ujar Diah, sambil tersenyum malu-malu.
Ayu langsung bangkit dari tempat duduknya dan bergabung dengan Rida untuk mengeluarkan jurus pencak silat lainnya yang kini terarah untuk Diah.
"Apa kamu bilang? Muda? Bagian mananya yang muda kalau usiamu sudah dua puluh lima tahun, hah???" geram Rida.
"Muda? Mari kita lihat seberapa mudanya tulang dan otot-otot pada tubuhmu itu!" tambah Ayu.
Diah dengan sigap segera berlari menuju pohon kelapa di dekat warung makan itu, untuk menghindari kejaran Rida dan Ayu. Farah kali ini tertawa lepas saat melihat ketiga wanita itu saling mengejar mengelilingi pohon kelapa. Ia benar-benar merasa terhibur, karena melihat tingkah gila mereka yang sama sekali tidak berusaha disembunyikan.
"Hei ... sudah main kejar-kejarannya! Pesananku sudah jadi!" panggil Farah, setelah menerima pesanan makanan dari Pak Tarjo.
Ketiga wanita itu pun segera mendekat kembali pada Farah. Diah kembali merangkul Farah seperti tadi, lalu mengajaknya berjalan bersama. Rida dan Ayu ada di belakang mereka. Tampaknya kedua wanita itu masih ingin melanjutkan perkara tadi dengan Diah, jika sudah mengantar Farah sampai ke rumahnya. Diah segera disingkirkan oleh Rida dan Ayu dari sisi Farah, sehingga kini mereka berdua yang ada di sisi wanita itu.
"Mana ponselmu?" tanya Ayu.
Farah pun segera mengeluarkan ponselnya dari saku, lalu memberikannya pada Ayu.
"Namaku Rida Savitri dan yang itu namanya Ayu Rahayu. Panggil saja nama depan kami. Jangan ditambah Mbak atau Kakak," ujar Rida.
"Nomor ponsel kami sudah ada di ponselmu. Aku sudah membuat grup WhatsApp dan kamu sudah ada di dalam daftar grup tersebut. Jadi ... kalau kamu mendadak ingin curhat tapi tidak bisa bertemu kami, bukalah grup itu dan bicara sepuasmu di sana. Insya Allah kami akan menanggapi curhatanmu secepat yang kami bisa," jelas Ayu, seraya menyerahkan kembali ponsel itu ke tangan Farah.
"Tapi kamu juga jangan kaget ya, Far, kalau ada yang mendadak curhat tidak jelas tengah malam. Abaikan saja. Biasanya itu adalah Ayu, karena dia adalah admin grup. Dia akan mengeluarkan semua keluh kesahnya soal perasaan yang dia pendam-pendam terus sejak SMP terhadap Mas Crush," Diah memberi peringatan.
Ayu langsung melepas rangkulannya dari lengan Farah, lalu mencoba mengejar Diah seperti yang tadi terjadi. Farah kembali tertawa, lalu menatap layar ponselnya yang masih memperlihatkan papan chat di dalam grup buatan Ayu. Entah mengapa ia merasa senang dengan hal itu. Karena untuk pertama kalinya ada orang yang mau menjadi temannya, meski dirinya terlihat sangat buruk. Apa yang Diah katakan soal wajahnya yang cantik tentu bukanlah hal yang sebenarnya. Ia tidak cantik, karena ada sebuah tanda yang begitu jelas terlihat pada sisi kiri wajahnya. Semua orang yang melihat tanda itu pada wajah Farah selalu saja akan merasa risih dan kemudian menjauhinya. Namun Diah, Rida, dan Ayu sama sekali tidak begitu. Mereka sama sekali tidak mengungkit soal tanda di wajah Farah, seakan mereka merasa tidak perlu mengungkitnya sedikit pun.
Rumah Keluarga Wardana sudah terlihat di depan mata. Diah tetap melangkah dengan tenang. Ia tidak merasa perlu memikirkan masalah yang pernah terjadi dimasa lalu. Ia mengantar Farah sampai di depan pintu rumah wanita itu bersama Rida dan Ayu. Seseorang dari dalam rumah hampir membukakan pintu namun mengurungkan niatnya, akibat merasa kaget karena Farah tidak pulang sendiri.
"Kalau begitu kami pulang dulu, ya, Far," pamit Diah.
"Iya. Terima kasih, karena sudah menemani dan bahkan mengantarku pulang," balas Farah.
"Sama-sama, Far. Jangan terlalu dipikirkan, nanti kangen," Rida mengatakannya dengan kalem.
Hal itu membuat Diah dan Ayu segera merangkulnya dengan penuh kasih sayang, alias mengelitik lehernya diam-diam. Farah kembali tertawa, karena kali ini Rida-lah yang mengalami penderitaan.
"Jangan lupa balas chat, ya, Far!" Ayu mengingatkan.
"Maksud Ayu, jangan lupa tanggapi curhatannya," Diah menerjemahkan.
"Iya ... iya ... pasti akan aku tanggapi," sahut Farah.
Setelah ketiga wanita itu pergi dari halaman rumah dan tidak lagi terlihat, Farah pun berbalik untuk mengetuk pintu rumahnya. Namun ternyata, Ibunya sudah berdiri di belakangnya dan tersenyum lembut ke arah Farah.
"Siapa mereka, Sayang? Mereka teman kamu?" tanya Safira.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
KUTUKAN (SUDAH TERBIT)
Ужасы[COMPLETED] "Jangan pernah pulang ke sana, jika kamu tidak mau mati sia-sia." Itu adalah pesan terakhir dari Ibunya sebelum meninggal dunia akibat penyakit aneh yang sudah menggerogoti tubuhnya selama bertahun-tahun. Diah ingin sekali menuruti pesan...