- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE PERHARI
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.* * *
Laila menghentikan kegiatan memasak yang sedang dilakukannya, ketika Eman masuk ke dalam rumah usai menyuruh Fikri menyusul Diah ke rumah Keluarga Wardana. Semur ayam yang sudah mendidih ia biarkan begitu saja dan hanya api kompornya yang ia kecilkan. Laila menatap suaminya yang mendadak termenung pada kursi di meja makan dapur. Ia pun segera mendekat dan ikut duduk di kursi lainnya. Laila selalu memahami kalau Eman sedang memikirkan suatu masalah, jika sudah mulai termenung sendirian. Eman menatap ke arah Laila, saat sadar bahwa Laila sedang memperhatikannya. Menatap wajah istrinya tentu saja membuat Eman merasa tenang perlahan-lahan, meski pikirannya masih sedikit kusut.
"Ada apa, Pak? Tumben sekali Bapak masuk ke rumah dan langsung merenung. Apakah ada masalah?" Laila ingin tahu.
Eman menarik nafas sejenak, lalu mengembuskannya perlahan demi mencari rasa tenang. Laila menyodorkan segalas air kepada pria paruh baya itu agar bisa melepas dahaga. Eman pun menerima dan meminumnya hingga tandas.
"Non Diah tadi bicara langsung pada Pak RT, Bu. Dia mengutarakan semua dengan jujur, karena masih merasa marah pada Deden. Dia bicara pada Pak RT tanpa merasa takut. Dia mengutarakan batasan yang begitu jelas, agar Deden tidak lagi mencampuri urusannya dengan Keluarga Wardana," ujar Eman.
"Oh, ya? Memangnya apa saja yang dikatakan oleh Non Diah kepada Pak RT, Pak?" tanya Laila.
"Awalnya dimulai ketika Non Diah tidak lagi menyebut 'Pakde' saat menjawab pertanyaan dari Pak RT soal lebam di wajahnya. Pak RT mempertanyakan perubahan itu, lalu Non Diah segera memintaku untuk menjauh agar dia bisa bicara berdua dengan Pak RT. Aku menjauh tapi tidak terlalu jauh. Pembicaraan mereka masih bisa aku dengar dengan jelas. Garis besar yang pertama adalah, Non Diah mengutarakan bahwa dia masih merasa marah pada Deden yang hampir memukul Nak Raga kemarin sore. Non Diah juga mengatakan dengan jujur bahwa tindakan Deden sudah sangat keterlaluan dan Non Diah merasa berhak marah atas tindakan tersebut, karena saat Deden hendak melakukan pemukulan tersebut Nak Raga sudah berstatus sebagai kekasihnya. Lalu garis besar yang kedua, dia mengatakan dengan jujur bahwa dirinya tidak wajib memanggil 'Pakde' terhadap Pak RT, karena dia bukan bagian dari Keluarga Prawira. Beda halnya dengan kita berdua, yang sudah dia anggap sebagai keluarganya sendiri. Dia bahkan mengatakan, bahwa dirinya akan dianggap kurang ajar jika berani memanggil kita dengan panggilan yang lain. Tapi kepada Pak RT, tidak akan ada yang menaggapnya kurang ajar jika mengubah panggilan dari 'Pakde' menjadi 'Pak RT' atau 'Pak Rusdi'," jelas Eman.
Laila pun menganggukkan kepalanya, pertanda bahwa ia paham dengan apa yang Diah sampaikan kepada Rusdi.
"Lalu, apa yang Bapak renungkan? Apakah menurut Bapak ada yang salah dari kata-kata Non Diah?"
"Apakah menurut Ibu yang Non Diah katakan sudah seharusnya dikatakan?" Eman bertanya balik.
"Kalau menurut Ibu, menyadarkan orang agar menjadi lebih tahu diri itu jelas sangat penting, Pak. Betul adanya, bahwa Pak RT itu dulunya adalah teman baik Almarhum Tuan Abdi. Tapi membiarkan Deden terus mencampuri urusan Non Diah sampai ke urusan pribadinya, jelas bukan sesuatu yang bisa dibenarkan. Mencoba menghalangi niat Non Diah untuk memperbaiki hubungan antara Keluarga Prawira dan Keluarga Wardana, sudah salah. Mencoba menghalangi urusan perasaan antara Non Diah dan Nak Raga, juga lebih salah. Tidak ada tindakan Deden yang bisa dibenarkan dalam kedua hal itu, Pak. Dan apabila pada akhirnya Non Diah menetapkan batasan kepada Deden serta kepada kedua orangtua Deden, maka itu adalah hak Non Diah sepenuhnya sebagai anggota Keluarga Prawira yang sudah dewasa."
Apa yang Laila katakan jelas benar. Diah tidak mungkin akan bertindak sampai sejauh itu, jika Deden tidak melewati batas. Apa yang Deden perbuat sudah sangat keterlaluan, terlebih niatannya memukul kemarin tertuju pada Raga yang notabene adalah putra dari Keluarga Wardana.
"Non Diah itu tidak pernah bersikap keterlaluan, Pak. Dia bersikap seadanya dan sesuai dengan adab yang sudah sering diajarkan oleh Almarhumah Nyonya Suri. Bahkan saat tahu bahwa Keluarga Wardana adalah keluarga yang membenci Keluarga Prawira pun, dia sama sekali tidak menunjukkan kemarahan. Nak Zain yang cerita sendiri pada Fikri, ketika Fikri menanyakan apakah Nak Zain menceritakan soal hubungan buruk antara Keluarga Wardana dan Keluarga Prawira. Menurut Nak Zain, Non Diah tampaknya tidak peduli dengan permusuhan itu. Dia bahkan tidak pernah mengungkitnya setelah tahu. Bapak bisa lihat sendiri, dia bahkan tidak segan ingin berteman dengan Nak Farah meski tahu bahwa Nak Farah adalah Putri dari Keluarga Wardana. Deden saja yang keterlaluan, Pak. Dan bagi Ibu, Deden tidak bisa dibela dari sudut pandang mana pun."
Eman pun akhirnya paham, bahwa Diah memang sudah melakukan hal yang benar. Yang mana artinya, tidak perlu ada lagi yang dibahas setelah Diah menetapkan demikian untuk Deden dan keluarganya.
"Tapi masih ada yang terasa mengganjal dalam pikiran Bapak, Bu."
"Apa lagi yang mengganjal, Pak? Apakah ada ucapan Pak RT yang Bapak pikir-pikirkan sampai sekarang?" tanya Laila.
"Pak RT tidak mengatakan apa-apa setelah Non Diah bicara padanya, Bu. Dia langsung pergi begitu saja dan Non Diah pun segera kembali mendekat pada Bapak, lalu meminta izin agar diizinkan pergi ke rumah Keluarga Wardana. Hanya saja, Bapak masih ingat betul bagaimana raut wajah Pak RT ketika Non Diah masih bicara di hadapannya. Pak RT seperti menyimpan amarah yang tidak biasa, Bu. Padahal selama ini, Bapak belum pernah melihat dia marah satu kali pun, meski ada orang di Desa ini yang membuatnya merasa kesal. Baru kali ini Bapak melihatnya seperti itu. Meski dia tidak mengungkapkan amarahnya, tapi entah kenapa Bapak merasa takut kalau nantinya dia akan melakukan sesuatu pada Non Diah. Bapak tidak tenang karena hal itu, Bu," jelas Eman.
"Kalau begitu, beri tahu Fikri untuk tidak jauh-jauh dari Non Diah. Biarkan Fikri menjaga Non Diah lebih dari biasanya," saran Laila.
Di rumahnya, Yunita merasa sangat tidak tenang sejak suaminya pergi dengan wajah penuh amarah. Ia terus saja mondar-mandir tidak jelas, karena dadanya seakan sesak tanpa alasan. Ia sudah menghubungi kantor tempat Deden bekerja agar diberikan izin bicara dengan Deden. Deden memutuskan untuk pulang lebih cepat setelah meminta izin pada atasannya. Kini Yunita masih menunggu kedatangan Deden, sambil terus mencoba menghubungi ponsel suaminya yang tidak pernah aktif.
"Aduh ... kenapa perasaanku tidak tenang seperti ini, sih? Pergi ke mana Mas Rusdi sebenarnya? Kenapa tadi wajahnya terlihat begitu marah sebelum pergi? Kenapa juga ponselnya harus dimatikan?" gumam Yunita, sambil menatap keluar jendela berulang-ulang.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
KUTUKAN (SUDAH TERBIT)
رعب[COMPLETED] "Jangan pernah pulang ke sana, jika kamu tidak mau mati sia-sia." Itu adalah pesan terakhir dari Ibunya sebelum meninggal dunia akibat penyakit aneh yang sudah menggerogoti tubuhnya selama bertahun-tahun. Diah ingin sekali menuruti pesan...